Usia tua menggerogoti ayahku dan ia sekarang tidak bisa apa-apa untuk mengajakku jalan-jalan di Batavia. Sekarang diriku adalah wanita yang punya wajah dewasa dan cocok sebagai nyonya seorang meneer ketimbang anaknya. Tapi aku tidak peduli, aku akan mengurus ayahku meskipun tidak ada lagi yang memperhatikan kami.Â
Setiap hari, aku selalu mengenakan gaun biru berbalut korset berwarna hijau muda cerah yang melingkar di pinggangku. Aku tidak pernah menggantinya karena tidak pernah ada seseorang yang membelikanku yang baru, ditambah lagi gaun ini adalah gaun yang terakhir dibelikan ayah ketika dia masih bugar, sebelum dirinya tiba-tiba terbaring lemah di ranjangnya.
4 April 1942, Rumahku, tanpa ayah dan siapapun kecuali diriku sendiri.
Aku mulai lesu untuk mengangkat badanku dari kursi nyaman yang biasa diduduki ayahku sehabis bekerja di kantor pemerintahan kota Batavia dulu. Kini yang ku tahu adalah aku adalah nyonya Raadjke, 'julukan' yang diberikan oleh para warga pribumi yang tinggal disekitarku.Â
Dan nyonya ini akhirnya didatangi oleh sekelompok pribumi yang marah dan tidak memandang penasaran seperti biasa mereka lakukan terhadapku.
"Hey nenek tua ! Penjajah !"
"Kau mau apa ?"
"Jepang datang ke Jawa !, Belanda kalah !, dan ini saatnya kami kuras harta yang pernah kau rampas dulu !"
"Ambil semua ! tidak ada yang mau memperhatikanku lagi dengan  kasih sayang"
"Ini kasih sayangmu ! hahahah" salah seorang dari mereka membalikan kursi yang aku duduki sehingga diriku terpental ke belakang.
Keadaan tergeletak diriku, aku melihat dengan keadaan segala terbalik. Gaun-gaun milikku yang diberikan Johansen dan ayah dibawa, segala perabotan hingga perhiasanku pun dibawa. Aku ingin melawan, inginku teriak, tapi tak berdaya. Tetap. Aku sudah lesu.