Aku adalah wanita tua yang duduk lesu di sebuah ruangan menghadap teras yang berdebu. Dibalik kaca ruanganku, aku hanya melihat orang lalu lalang di kejauhan pandanganku. Tak ada yang menatapku di luar sini hari ini, bahkan di sini tak ada yang mengurusku karena sifatku yang membuat diriku sendiri bingung.
Aku yang tahu sifatku, tapi tak tahu sebab akibatnya. Inikah buah dosaku, Tuhan ? akan terlenanya aku yang dulu seorang gadis ?
Tiga puluh tahun yang lalu, aku adalah gadis elok dan sangat dikenal sebagai pesolek. Aku adalah anak dari seorang duda meneer yang kaya raya. Ya... aku adalah gadis yang tajir, cantik dengan tubuh yang mungil dari kebanyakan wanita eropa, namun bermata tajam bagaikan lelaki eropa yang sudah banyak mengecap pahitnya peluru di medan perang.Â
Di rumahku dulu dan kini, aku adalah anak yang paling dimanjakan oleh ayahku karena ibuku meninggal akibat penyakit malaria yang sempat menyerang pinggiran Batavia.
24 Oktober 1912, Rumahku
"Anakku sayang, maukah kau berkenalan dengan Johansen ? dia adalah seorang nahkoda muda dari Denmark dan sangat fasih berbahasa belanda" Ayahku datang membawa lelaki tegap dan kekar dan dari parasnya kira-kira dia berumur mendekati 30 tahun.
"Salam, Meijster Johansen", aku mengangkat gaun jingga kesukaanku sedikit, dan aku senang melakukannya karena orang-orang memperhatikan perilaku baikku.
"Salam nonaku yang cantik", dia lalu mencium tanganku.
"Sepertinya kalian mulai akrab, dan keakraban mungkin akan semakin kuat bila ayah mundur dulu" Ayahku memberikan tanda untuk memberikan waktu pada kami berdua.
"Terima kasih, Tuan Raadjke"
Kami berbincang sangat akrab, dan kami sangat dekat untuk beberapa waktu kedepan. Selama dua tahun kami bercengkrama dan bepergian dengan ria ke berbagai tempat mewah di Batavia.Â
Meskipun aku selalu berdandan dan membeli pakaian dengan harga mahal, dia tetap memperhatikanku dan tidak membiarkan sepeser uang pun meluncur keluar dari tas kecilku. Sampai pada suatu hari...
31 Desember 1916, Pemakaman di pinggiran pantai Batavia
Cincin tunangan yang kami saling tukarkan tahun lalu tetap aku pakai, bahkan hingga kini. Hujan hadir pada senja yang begitu mengoyak hati. Seseorang yang perhatian padaku hilang dari pandanganku karena tertutup gundukan tanah.
Ya, dia adalah Johansen, tunanganku.
Tanggal 27 Desember 1916, seorang pelaut pribumi datang membawa surat dan hal ini aneh karena yang membawa bukanlah seorang tukang pos. Kami menyadari bahwa artinya surat ini benar-benar penting dan harus dibaca segera.Â
Tetapi kebingungan kami tetap ada karena keluarga kami tidak punya kenalan seorangpun yang bekerjasama dengan keluarga yang punya pengaruh di kelautan, kecuali dia... Johansen... orang yang selalu memperhatikanku.
Setelah membaca suratnya, aku sering sekali pingsan. Tak bisa menerima kenyataan bahwa Johansen, yang menjadi penulis surat yang dibawa pelaut tersebut, menulis surat kepadaku bahwa dia akan pulang dari pelayarannya di Indochina.Â
Dia benar-benar pulang, namun dengan peti mati di pinggir dermaga besar. Ya... itu Johansen... mayat yang bernama Johansen, seorang pelaut berkebangsaan Denmark yang tenggelam dekat Borneo bersama dengan kapalnya yang karam karena badai ganas.
Ayahku mencoba menenangkan daku bahwa aku takut kehilangan perhatian dari orang yang aku sayangi. Tapi ayah akhirnya membuat sebuah keputusan yang mengejutkan, dia pensiun dini sebagai pegawai terhormat di kota.Â
Ia lakukan itu agar aku terus diperhatikan. Bodohnya lagi, aku senang karena ada yang menggantikan Johansen untuk memperhatikanku. Aku memang sayang Johansen, tapi tanpa dia yang kusayang, aku tidak begitu tertarik lagi dengan pernikahan yang berakhir dengan kerja keras mengurus keluarga. Selama ayah sayang, aku akan selalu diperhatikan.
1 Juli 1930, dirumahku.
Usia tua menggerogoti ayahku dan ia sekarang tidak bisa apa-apa untuk mengajakku jalan-jalan di Batavia. Sekarang diriku adalah wanita yang punya wajah dewasa dan cocok sebagai nyonya seorang meneer ketimbang anaknya. Tapi aku tidak peduli, aku akan mengurus ayahku meskipun tidak ada lagi yang memperhatikan kami.Â
Setiap hari, aku selalu mengenakan gaun biru berbalut korset berwarna hijau muda cerah yang melingkar di pinggangku. Aku tidak pernah menggantinya karena tidak pernah ada seseorang yang membelikanku yang baru, ditambah lagi gaun ini adalah gaun yang terakhir dibelikan ayah ketika dia masih bugar, sebelum dirinya tiba-tiba terbaring lemah di ranjangnya.
4 April 1942, Rumahku, tanpa ayah dan siapapun kecuali diriku sendiri.
Aku mulai lesu untuk mengangkat badanku dari kursi nyaman yang biasa diduduki ayahku sehabis bekerja di kantor pemerintahan kota Batavia dulu. Kini yang ku tahu adalah aku adalah nyonya Raadjke, 'julukan' yang diberikan oleh para warga pribumi yang tinggal disekitarku.Â
Dan nyonya ini akhirnya didatangi oleh sekelompok pribumi yang marah dan tidak memandang penasaran seperti biasa mereka lakukan terhadapku.
"Hey nenek tua ! Penjajah !"
"Kau mau apa ?"
"Jepang datang ke Jawa !, Belanda kalah !, dan ini saatnya kami kuras harta yang pernah kau rampas dulu !"
"Ambil semua ! tidak ada yang mau memperhatikanku lagi dengan  kasih sayang"
"Ini kasih sayangmu ! hahahah" salah seorang dari mereka membalikan kursi yang aku duduki sehingga diriku terpental ke belakang.
Keadaan tergeletak diriku, aku melihat dengan keadaan segala terbalik. Gaun-gaun milikku yang diberikan Johansen dan ayah dibawa, segala perabotan hingga perhiasanku pun dibawa. Aku ingin melawan, inginku teriak, tapi tak berdaya. Tetap. Aku sudah lesu.
Pribumi-pribumi itu pergi dan aku masih tergeletak. Namun selang berapa lama, aku mendengar derap kaki tentara. Tentara Belanda kah ? kurasa tidak karena pribumi bang**t itu bilang Belanda kalah di Jawa.Â
Tapi tak sampai habis kutemukan jawabannya dalam pikiranku, tubuhku sudah segera diangkat oleh tentara lain, namun bermata sipit.
"Anda bisa melihat saya ?!" Tentara sipit itu menatapku serius.
Aku hanya menganggukan kepala.
"Saya akan menginterogasi anda untuk memberitahukan lokasi tawanan perang sekitar sini" Tentara sipit itu memperhatikanku, dia ingin mendapatkan sesuatu dariku.
Aku terlalu lemah untuk membuka mulut, napas pun terasa habis rasanya. Namun aku melihat sesuatu yang ingin kulihat dan tak ingin kulihat di akhir perjuanganku untuk hidup. Aku melihat perhatian, ah indahnya.Â
Namun aku tak ingin melihat pertanggungjawaban atas lalainya diriku kehilangan perhatian itu. Tapi aku seakan mendapat kesempatan untuk melihat perhatian lagi, meski dari seorang yang pertama kali kulihat. Ah, lelah sekali, aku ingin menutup mata sebentar selagi dia memegang bahuku.
-----
Seorang perwira datang
"Prajurit, kenapa kamu memegang dia ?"
"Siap, Pak !" Prajurit itu lalu melepaskan bahu wanita tersebut dan memberi hormat pada sersan tersebut.
"Aku ingin bertanya kepada wanita ini dimana lokasi tawanan perang di sekitar sini. Setidaknya dia tahu mengingat dari rumahnya yang lumayan besar jadi ssetidaknya dia tahu tentang lokasi tersebut"
"Kau tidak akan mendapat apa-apa disini, biarkan dia. Kita bergerak ke pusat kota ini"
"Baik, sersan !"
Semua orang bergerak meninggalkan rumah meneer itu, dan wanita itu tergeletak sendirian, dengan senyuman, dan tak bangkit lagi tanpa ada yang menyadarinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H