Mohon tunggu...
Muammar Saudi
Muammar Saudi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Long Life Learner | Student at Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada

menyukai aroma kopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Resensi Buku: Ahmad Syafii Maarif, Percaturan Islam dan Politik; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

28 Februari 2023   08:57 Diperbarui: 28 Februari 2023   09:18 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hal tersebut ditandai dengan keluarnya NU sebagai tulang punggung Masyumi. Yang disayangkan adalah pemimpin-pemimpin umat pada waktu itu tidak berusaha keras menciptakan islah politik yang sama dengan semangat November 1945. 

Pada pertengahan tahun 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit presiden, Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara dengan "mengorbankan" dasar Islam. Namun, cita-cita untuk mengimplementasikan ajaran Islam tidak tertutup. Yang tidak dibenarkan adalah menempatkan Islam sebagai dasar negara.

Bagi saya, bab 3 sampai 5 adalah yang paling menarik dalam buku ini karena merupakan inti dari ungkapan "belah bambu" yang diistilahkan oleh penulis. Di mana terjadi proses kristalisasi Islam dalam periode Demokrasi Terpimpin. 

Sistem Demokrasi Terpimpin yang dibangun oleh Soekarno telah membawanya pada puncak kekuasaan yang sudah lama dia banggakan, tapi karena pondasinya tidak kokoh, sistem itu pulalah yang membawanya pada jurang kehancuran politik untuk selamanya. Ia terkubur dalam sistem yang dibuatnya, meski jasanya dalam kemerdekaan dan penciptaan kesatuan bangsa tidak akan pernah dilupakan. Demokrasi Terpimpin dalam prakteknya adalah sistem politik dengan baju demokrasi tetapi minus demokrasi.

Indonesia sebagai negara baru, barangkali harus mengalami jatuh-bangun dalam uji coba sistem demokrasi. Bagi Maarif, Soekarno tidak mau lagi menjadi seorang presiden simbol sebagaimana dalam UUDS 1950 yang menjadi dasar konstitusional pelaksanaan demokrasi parlementer di Indonesia. 

Soekarno ingin merasakan langsung memimpin di pemerintahan. Pada bulan pertama pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, secara makro terlihat jelas proses kristalisasi yang cepat antara pendukung dan penentang terhadap gaya demokrasi baru ini. Siapa yang mendukung dibiarkan hidup, sedangkan yang menentang harus disingkirkan. Secara mikro, di kalangan umat Islam, proses kristalisasi juga menjadi kenyataan. 

Pihak yang ikut dalam sistem Soekarno mendapat jaringan dalam kekuasaan, sekalipun sebagai peserta pinggiran. Sedangkan bagi pihak yang melawan bukan saja disingkirkan dari Lembaga-lembaga politik formal, tetapi partai mereka dibubarkan dan tokoh-tokoh puncak mereka dipenjarakan bertahun-tahun tanpa proses pengadilan.

Secara gamblang Maarif menyebut sistem Demokrasi Terpimpin tidak sesuai dengan hakikat dan karakteristik demokrasi yang sesuai kepribadian bangsa sebagaimana yang diminta oleh Pancasila dan UUD 1945, yang berdasarkan kedaulatan rakyat. 

Propaganda Demokrasi Terpimpin disertai dengan kritikan Soekarno kepada ide dan pelaksanaan demokrasi liberal, singkatnya Soekarno muak melihat pertentangan golongan-golongan politik selama ini dengan biang keladinya tidak lain adalah demokrasi liberal yang Barat itu, padahal Indonesia adalah sebuah negara di dunia Timur. 

Secara garis besar, konsep Demokrasi Terpimpin menurut Soekarno yaitu sistem pemerintahan kepada musyawarah dan mufakat dengan satu kekuasaan sentral di tangan seorang "sesepuh" seorang tetua yang tidak mendiktatori tetapi memimpin, lebih tepatnya mengayomi. Perbedaan visi-misi politik partai-partai Islam dalam menghadapi Demokrasi Terpimpin membawa nasib pada partai-partai bersangkutan. Pertama, Masyumi memandang keikutsertaan dalam sistem otoriter sebagai penyimpangan ajaran Islam. Kedua, Liga Muslimin (NU, PSII dan Perti), berpandangan bahwa turut serta dalam sistem Demokrasi Terpimpin adalah realistis dan pragmatis. Satu hal yang menarik bahwa sangat jelas dalam Apendiks bahwa tujuan PKI bergabung dengan Soekarno untuk melumpuhkan "kepala batu" yaitu Masyumi yang dianggap merintangi penyelesaian revolusi Indonesia. 

Tidak ada jaminan bahwa sesama penganut modernitas Islam akan selalu satu perahu dalam berpolitik. Umat Islam Indonesia belum pernah bersatu secara mantap dalam politik. Dalam sejarah Islam, perpecahan politik ini mempunyai akar yang cukup jauh yaitu sejak masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, khalifah ketiga dalam urutan Khulafaur Rasyidin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun