Mohon tunggu...
Muammar Irsyad Kadir
Muammar Irsyad Kadir Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

(maha) siswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kampus Merdeka dan Secangkir Kopi

25 Agustus 2020   17:52 Diperbarui: 25 Agustus 2020   17:39 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim meluncurkan sebuah program kerja baru yang dinamakannya "Merdeka Belajar". Bahkan program ini dikemas dengan sangat epik, dimana program ini diperkenalkan kepada masyarakat melalui berbagai platform media digital termasuk youtube. 

Melalui kanal Kemendikbud RI, program ini dikemas menjadi beberapa episode utama yang berfokus untuk menjelaskan arah pendidikan nasional Indonesia ke depannya.Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim meluncurkan sebuah program kerja baru yang dinamakannya "Merdeka Belajar". 

Bahkan program ini dikemas dengan sangat epik, dimana program ini diperkenalkan kepada masyarakat melalui berbagai platform media digital termasuk youtube. Melalui kanal Kemendikbud RI, program ini dikemas menjadi beberapa episode utama yang berfokus untuk menjelaskan arah pendidikan nasional Indonesia ke depannya.

Dengan mengangkat tema utama yaitu "Merdeka Belajar", Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memberikan sebuah gebrakan baru terhadap sistem pendidikan Indonesia, dimana salah satu programnya diberi julukan "Kampus Merdeka". 

Lantas, masyarakat yang mendengar konsep tersebut akan bertanya-tanya "Apakah selama ini pendidikan kita belum merdeka? Atau bahkan bertanya "Ada apa dengan pendidikan Indonesia selama ini?".

Untuk menjawab semua pertanyaan itu, mari kita mulai menggali dari awal mengenai makna sesungguhnya dari kampus merdeka. 

Konsep merdeka belajar dalam perguruan tinggi atau yang disebut sebagai kampus merdeka merupakan sebuah konsep yang memberikan kebebasan berekspresi kepada sivitas akademika untuk mengembangkan proses pengajaran, penelitian, dan bahkan pengelolaan dana dari pihak luar (AKerlind dan Kayrooz, 2003).

Di sisi lain, Nadiem Makarim mengatakan bahwa kampus merdeka merupakan perwujudan dari sistem pendidikan di perguruan tinggi yang otonom dan fleksibel sehingga mampu menciptakan budaya belajar yang lebih inovatif, tidak mengekang serta sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.  

Kesimpulannya jelas bahwa konsep merdeka belajar yang ingin disajikan oleh pemerintah adalah sebuah konsep yang memberikan kebebasan terhadap perguruan tinggi untuk melakukan berbagai inovasi yang akan menjawab segala tantangan yang dihadapi oleh perguruan tinggi.

Kemudian yang menjadi pertanyaan "Apakah yang selalu menjadi tantangan yang harus dihadapi perguruan tinggi sejak dahulu?". 

Tantangan yang harus dihadapi oleh setiap perguruan tinggi dari dahulu hingga kini, yaitu tantangan untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusianya, pemenuhan sarana dan prasarana yang berkualitas, serta menghasilkan lulusan yang berkualitas.

Pada kenyataannya, mahasiswa yang memilih suatu perguruan tinggi tentu saja berharap bahwa perguruan tinggi akan mampu membuatnya menjadi individu yang memiliki daya saing yang berkualitas, dimana untuk menunjang hal tersebut dibutuhkan tenaga pengajar yang memiliki kompetensi yang berkualitas serta sarana dan prasarana yang memadai.

Hal ini juga sejalan dengan survei yang dilakukan oleh QS World Ranking University, dimana terdapat 6 poin utama dalam menentukan perguruan tinggi yang berkualitas yaitu reputasi akademik (40%), rasio fakultas dan mahasiswa (20%), kutipan jurnal ilmiah (20%), reputasi lulusan (10%), fakultas internasional (5%), dan mahasiswa internasional (5%). 

Bahkan jika menelisik lebih dalam lagi, ternyata hanya terdapat 8 perguruan tinggi Indonesia yang masuk ke dalam QS World Ranking University 2021, dimana peringkat tertinggi berada pada 254 dengan poin 37.4. Melihat kenyataan ini mungkin kita masih bisa bersyukur namun ini merupakan ironi yang sedang dihadapi oleh seluruh perguruan tinggi di Indonesia.

Sungguh sebuah ironi yang harus dihadapi oleh perguruan tinggi, yang mana masih saja belum bisa meningkatkan kualitasnya secara maksimal. 

Padahal, negara telah menyediakan anggaran sebesar 20% dari APBN 2020 untuk dana pendidikan, dan berbagai sumber dana yang telah diterima oleh perguruan tinggi.  

Belum lagi, mahasiswa akan merasa bahwa mereka telah dijajah oleh perguruan tinggi dikarenakan mahasiswa telah mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk dapat menempuh pendidikan sedangkan perguruan tinggi tersebut tidak mampu menyajikan sebuah sistem pendidikan yang lebih berkualitas.

Situasi tersebut akan berakhir dengan keadaan dimana mahasiswa di beberapa perguruan tinggi akan melakukan protes dan meminta transparansi dari perguruan tinggi tersebut. 

Bahkan belum lama ini, mahasiswa seluruh Indonesia melakukan sebuah protes di media sosial hingga membuat tagar #MendikbudDicariMahasiswa menjadi trending topic, dimana mahasiswa merasa bahwa mereka harus menggelontorkan biaya pendidikan yang begitu mahal di situasi pandemi COVID-19 ini, namun mereka tidak menggunakan sarana dan prasarana kampus.

Sebenarnya telah ada beberapa solusi yang dibuat oleh pemerintah, kalangan akademisi, dan atau pakar yang ahli dibidangnya, tetapi solusi itu belum bisa menyelesaikan semua permasalahan tersebut. 

Hal itu dikarenakan, setiap masalah yang terjadi di dunia pendidikan, khususnya di perguruan tinggi tidak bisa diselesaikan hanya dengan solusi yang sama untuk menyelesaikan masalah yang serupa di setiap perguruan. Perbedaan kondisi dan situasi internal yang dimiliki oleh setiap perguruan tinggi menjadi penyebab utamanya.

Situasi inilah yang membuat setiap perguruan tinggi harus bisa berinovasi untuk memecahkan setiap permasalahan yang dihadapinya. Sebuah metode untuk mencari solusi yang efektif dan adil bagi seluruh pihak di dalam perguruan tinggi adalah dengan cara bermusyawarah.

Bagaikan meminum secangkir kopi, dimana para penikmat kopi biasanya meminum kopi bersama-sama, sembari merasakan wangi harum yang tercipta dari uap kopi tersebut. 

Lalu ketika meminumnya akan terasa kepahitan yang begitu pekat. Namun rasa pahit tersebut tidak membuatnya berhenti untuk meminum kopi tersebut, tapi mereka akan merasakan sebuah kenikmatan yang tidak bisa didapatkan dari minuman lainnya.

Begitu pula proses musyawarah yang dilalui setiap perguruan tinggi untuk menemukan solusi yang efektif. Proses bermusyawarah harus dilakukan secara bersama-sama dengan mengajak seluruh perwakilan sivitas akademika dan atau bahkan melibatkan pihak tertentu yang ahli di bidangnya. 

Hal itu dikarenakan, pihak internal yang ada di perguruan tinggi merupakan pihak yang lebih mengetahui permasalahan yang sedang dihadapi sehingga akan membantu mereka untuk dapat menemukan solusi yang lebih efektif.

Sayangnya saat proses bermusyawarah, seluruh pihak akan merasakan sebuah kepahitan yang lahir dari perbedaan pendapat, namun perbedaan tersebut tidak akan membuat proses ini berhenti, dikarenakan seluruh pihak menyadari bahwa perbedaan tersebut bertujuan untuk memajukan perguruan tinggi dan inilah kenikmatan yang sesungguhnya ketika proses ini dapat diakhiri dengan hasil yang memuaskan.

Bahkan ideologi negara Indonesia, yaitu Pancasila pada sila keempat yang berbunyi "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan" telah diwariskan kepada bangsa kita untuk selalu melakukan musyawarah dalam kehidupan sehari-hari. 

Lebih lanjut lagi, nilai-nilai musyawarah telah ditanamkan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional, salah satunya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, dimana salah satu pasalnya menjelaskan mengenai pembentukan Majelis Wali Amanat yang terdiri dari unsur pemerintah, unsur dosen, unsur masyarakat, dan unsur lainnya yang bertugas untuk menetapkan, memberikan pertimbangan mengenai kebijakan umum dan nonakademik.

Oleh karena itu, perumusan suatu kebijakan di dalam lingkup perguruan tinggi harus menggunakan sistem musyawarah yang melibatkan seluruh perwakilan dari sivitas akademika dan atau pihak yang ahli di bidangnya sehingga akan dihasilkan kebijakan yang lebih adil.

Catatan penting untuk pendidikan Indonesia bahwa Sustainable Development Goals 2030 pada bidang pendidikan menargetkan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, serta memastikan akses yang setara bagi semua orang terhadap pendidikan tinggi yang berkualitas dan terjangkau. 

Selain itu, tantangan yang akan dihadapi akan terus bermunculan, sehingga berbagai kebijakan akan terus diciptakan. Oleh karena itu, kebijakan yang dibentuk haruslah dapat memberikan kemerdekaan bagi seluruh pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun