"Kedua orang tuaku sudah meninggal, makanya aku harus kerja untuk membiayai sekolah dan menghidupi adik dan juga kakekku yang sering sakit-sakitan."
"Oh..maaf aku nggak tahu. Mmm..kalau saja kita nggak memakai sistem kerja kontrak, pasti lebih terjamin ya?" Andi tiba-tiba menjadi serius.
"Iya, paling tidak, mendingan lah," jawab Wati lesu.
"Yah..orang kecil kayak kita ini bisanya juga cuma nurut saja," gantian Andi sekarang yang mengeluh.
Gadis itu terdiam, begitu juga Andi. Ditatapnya gadis di depannya itu dari wajah sampai ke kaki. Senyumnya yang begitu manis dan pakaian yang selalu bersih dengan setia membalut tubuh mungil gadis itu, telah membuat Andi terpesona.
"Mas, aku pulang dulu ya," dan seperti biasanya, Wati berlari menuju pintu bis yang telah jadi rebutan penumpang lainnya.
Sepeninggal Wati, Andi terdiam. Pikirannya masih melayang kepada gadis itu. "Kasihan," ucapnya dalam hati. Dia tidak bisa membayangkan gadis seusia Wati harus bekerja membanting tulang demi kelangsungan hidupnya dan juga keluarganya. Keadaan telah merebut kebahagiaan gadis itu.
Tiba-tiba Andi terkejut ketika ada ribut-ribut di belakangnya. Seorang lelaki setengah baya tiba-tiba berteriak sekuat tenaga.
"Copet...copet..!" teriak orang itu.
Orang yang diteriaki langsung berlari sekencang-kencangnya menghindari kejaran beberapa orang yang segera bereaksi oleh teriakan lelaki tadi. Masih remaja tanggung. Dia berlari melompati selokan yang menganga di depannya dan berusaha menyeberang jalan yang sedang padat-padatnya karena sudah jam pulang kerja. Tapi sial baginya, baru beberapa langkah dia berlari, sebuah mobil tiba-tiba menghantam tubuhnya sehingga terlontar beberapa meter di pinggiran jalan. Baru saja ia berusaha bangun, sebuah tendangan keras telah menghantam dadanya yang membuatnya terjengkang ke belakang, dan tanpa dikomando, orang-orang yang tadi ikut mengejarnya, beramai-ramai mengahadiahi pukulan dan tendangan yang membuat mukanya babak belur. Darah telah menetes dari hidung dan mulutnya yang kemudian membasahi beberapa bagian dari baju yang dikenakannya. Keributan itu baru berhenti ketika beberapa orang polisi datang melerai dan menyeret remaja yang sudah tak berdaya itu dan memasukkannya ke mobil.
Kejadian itu membuat angan Andi melayang. Jauh. Sekali ini bukan pada gadis yang telah membuatnya sulit tidur beberapa malam ini. Tapi pada beribu-ribu kanak-kanak yang bergelandangan di sepanjang jalan seluruh kota. Di seluruh Jawa. Di seluruh Indonesia. Mereka telah digiring oleh Sang Lapar ke mana yang berkuasa itu menghendaki. Dan kalau ada keberanian barang sedikit pada mereka itu, mengapa tidak akan mencuri? Mereka adalah korban masa, didikan masa! Mungkin remaja copet tadi terus-menerus mengalami kesusahan sejak ia baru belajar berjalan. Dan dengan sadar atau tidak, manusia berkewajiban memanjangkan umurnya. Barangkali bapaknya dulu adalah pengangguran seumur hidupnya, atau barangkali adalah copet juga, yang untuk hidup harus dikejar-kejar orang terlebih dulu, apalagi untuk menyekolahkan anaknya dengan harapan supaya tidak mengikuti jejaknya. Dan sekolah menjadi tidak mungkin, karena seolah-olah, di negeri ini orang miskin dilarang sekolah, karena biayanya bisa mencekik leher orang-orang seperti itu. Apalagi untuk bekerja, orang membutuhkan ijazah dari sekolahan.