Sementara di luar sana ada dunia nyata yang bergerak lamban, masyarakat pedesaan dan kampung-kota. Itu duniaku yang sejatinya. Dunia yang masih diwarnai keterbelakangan dan kemiskinan.Â
Ini sebuah gejala kecepatan di tengah kelambanan. Sebuah absurditas pembangunan. Dan dengan membayar Rp 250.000, untuk 54 menit jarak waktu Halim - Tegalluar, aku menjadi representasi lautan kelambanan di dalam kapsul kecepatan. Pantaslah laki lansia ini tampak kampungan dan gamang.Â
Kesadaran Baru dan Sesalku di Ujung Rel
"Aku mau boker dulu." Iparku, laki, woro-woro. Whoosh baru saja bergerak dari Padalarang menuju Tegalluar, stasiun akhir.
"Emang sempat?" tanyaku. Sebentar lagi kereta tiba di ujung rel.
"Ya, sempat aja." Dia bergegas ke ujung belakang gerbong, tempat toilet berada.
Hanya sekitar 5 menit berlalu, iparku sudah kembali dari toilet.
"Cepat banget." Aku terheran-heran. Iparku ini sebenarnya manusia atau burung, sih?
"Ngapain lama-lama." Ya, tentu saja, dia tak main ponsel di toilet. Tapi bila dipikir-pikir, di dalam Whoosh yang bergerak dangat cepat, segala urusan harus diselesaikan dengan cepat pula, termasuk urusan boker.
"Bersih toiletnya."
"Wow, mewah."