Kedudukan dan peran musik liturgi dalam Gereja Katolik, karena itu, bukanlah sekadar selingan, tambahan, atau dekorasi untuk memeriahkan liturgi.Â
Karena itu pelantunan musik liturgi Katolik mempersyaratkan keterampilan baku tertentu. Secara khusus musik vokal, inti musik liturgi, mempersyaratkan penguasaan teknik bel canto, teknik bernyanyi indah khas Italia.Â
Teknik bel canto populer di Italia atau Eropa umumnya sejak abad ke-18. Sempat ia memudar di akhir abad ke-19. Tapi bangkit kembali pada pertengahan abad ke-20, sebagaimana selalu ditampilkan dalam pertunjukan opera Italia.
Dalam prakteknya di lingkungan Gereja Katolik Indonesia, musik liturgi diperkaya dengan unsur-unsur musik lain khususnya dari genre pop dan tradisi. Dalam konteks Gereja Katolik inkulturatif, hal semacam itu memang dianjurkan oleh Vatikan.
Namun dalam kenyataan, bukannya memperkaya, ada gejala unsur-unsur musik pop dan tradisi itu justru mencemari musik liturgi. Menjauh dari teknik bel canto, musik liturgi jadinya menyerempet musik pop dan tradisi. Suasana liturgi pun mengalami desakralisasi, alih-alih magnum magisterium.
Kenyataan itu mengundang keprihatinan Lae Jay. Secara sporadis dia lantas mencoba membantu memperbaiki teknik vokal kelompok paduan suara dan pemazmur di gereja-gereja Katolik sekitarnya.
Tapi dia sadar aksi proaktif semacam itu tidaklah cukup. Perlu program aksi yang lebih mendasar untuk kembali ke garis patokan Vatikan.
Secara informal Lae Jay dan aku kemudian mendiskusikan masalah itu. Lalu muncullah gagasan mendukung seminari menengah -- sekolah calon pastor Katolik -- untuk menjadi center of excellence praksis musik liturgi Gereja Katolik.
Lewat jalan itu para seminaris diharapkan menjadi agen diseminasi praktek musik liturgi yang baik dan benar di lingkungan Gereja Katolik. Kelak entah mereka terpilih atau tidak menjadi pastor.
Lae Jay kemudian menyusun sebuah proposal pelatihan musik liturgi untuk seminari menengah. Aku membantu penulisannya, walau sekadar memperbaiki salah ketik dan letak tanda baca.
Beruntung proposal itu kemudian diadopsi PGU, kumpulan eks-seminari, menjadi salah satu program pelatihannya. Juga mendapat dukungan dari Komisi Seminari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).Â