Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

15 Jam Membangun Suara Indah di Seminari Menengah Siantar

7 Januari 2025   11:43 Diperbarui: 7 Januari 2025   16:00 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana rehearsal peserta pelatihan musik liturgi SMCS di kapel (7/12/2024), persiapan tampil dalam Misa Kudus esok hari (Dokpri)

"Seekor burung terlahir dengan suaranya dan dia tak pernah mencoba memaksanya, kalau tidak dia akan kehilangannya." -Luciano Pavarotti, Gramophone, 5 September 2017.

Maka bernyanyilah seperti burung berkicau. Dia tak memperbesar ukuran lubang tenggorokan, tempat suara itu dibentuk. Dia hanya menyempitkan dan melebarkan bukaan tenggorokan sesuai rentang kapasitasnya.

"Suara itu bisa dibangun," kata Jay Wijayanto, pelatih vokal/koor cum konduktor profesional. Caranya, kata Lae Jay -- begitu aku memanggilnya -- dengan mengoptimalkan kapasitas tenggorokan, tempat kotak (laring) dan pita suara berada untuk menghasilkan suara. Itulah prinsip dasar bernyanyi yang baik dan benar.

"Suara itu dihasilkan di tenggorokan bukan di bibir," tegas Lae Jay lagi. Itu nasihatnya kepada 60 orang siswa Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS), Pematang Siantar, peserta pelatihan musik liturgi. 

Diprakarsai Paguyuban Gembala Utama (PGU), Lae Jay menjadi pelatih tunggal dalam Pelatihan Musik Liturgi Gereja Katolik di seminari itu tanggal 6-8 Desember 2024. Hadirku hanya sebagai penunjuk jalan baginya. 

"Tak ada koor jelek. Yang ada pelatih buruk," tambahnya. Dia hendak membuktikan kebenaran adagium itu di SMCS. Dalam tempo 15 jam, seturut skedul kegiatan dalam 3 hari pelatihan itu.

Lae Jay sedang mengoreksi teknik vokal para peserta pelatihan musik liturgi SMCS (Dokpri)
Lae Jay sedang mengoreksi teknik vokal para peserta pelatihan musik liturgi SMCS (Dokpri)

Musik Liturgi Membangun Sakralitas

Kedudukan musik liturgi Gereja Katolik diatur dalam Dokumen Sacrosantum Concilium No. 112-121 hasil Konsili Vatikan II. Dokumen itu menegaskan musik liturgi adalah bagian integral yang sangat penting dalam liturgi meriah Katolik. 

Disebutkan musik liturgi memiliki tiga dimensi. Dimensi liturgis yaitu ritus peribadahan; eklesiologis yaitu pewartaan iman umat Katolik; dan kristologis yaitu pengakuan akan Kristus Juru Selamat.

Tiga dimensi itu menunjukkan bahwa, dalam ibadah Gereja Katolik, musik liturgi merupakan salah satu unsur pokok pembangun sakralitas, magnum misterium atau misteri keagungan iman.

Kedudukan dan peran musik liturgi dalam Gereja Katolik, karena itu, bukanlah sekadar selingan, tambahan, atau dekorasi untuk memeriahkan liturgi. 

Karena itu pelantunan musik liturgi Katolik mempersyaratkan keterampilan baku tertentu. Secara khusus musik vokal, inti musik liturgi, mempersyaratkan penguasaan teknik bel canto, teknik bernyanyi indah khas Italia. 

Teknik bel canto populer di Italia atau Eropa umumnya sejak abad ke-18. Sempat ia memudar di akhir abad ke-19. Tapi bangkit kembali pada pertengahan abad ke-20, sebagaimana selalu ditampilkan dalam pertunjukan opera Italia.

Dalam prakteknya di lingkungan Gereja Katolik Indonesia, musik liturgi diperkaya dengan unsur-unsur musik lain khususnya dari genre pop dan tradisi. Dalam konteks Gereja Katolik inkulturatif, hal semacam itu memang dianjurkan oleh Vatikan.

Namun dalam kenyataan, bukannya memperkaya, ada gejala unsur-unsur musik pop dan tradisi itu justru mencemari musik liturgi. Menjauh dari teknik bel canto, musik liturgi jadinya menyerempet musik pop dan tradisi. Suasana liturgi pun mengalami desakralisasi, alih-alih magnum magisterium.

Kenyataan itu mengundang keprihatinan Lae Jay. Secara sporadis dia lantas mencoba membantu memperbaiki teknik vokal kelompok paduan suara dan pemazmur di gereja-gereja Katolik sekitarnya.

Tapi dia sadar aksi proaktif semacam itu tidaklah cukup. Perlu program aksi yang lebih mendasar untuk kembali ke garis patokan Vatikan.

Secara informal Lae Jay dan aku kemudian mendiskusikan masalah itu. Lalu muncullah gagasan mendukung seminari menengah -- sekolah calon pastor Katolik -- untuk menjadi center of excellence praksis musik liturgi Gereja Katolik.

Lewat jalan itu para seminaris diharapkan menjadi agen diseminasi praktek musik liturgi yang baik dan benar di lingkungan Gereja Katolik. Kelak entah mereka terpilih atau tidak menjadi pastor.

Lae Jay kemudian menyusun sebuah proposal pelatihan musik liturgi untuk seminari menengah. Aku membantu penulisannya, walau sekadar memperbaiki salah ketik dan letak tanda baca.

Beruntung proposal itu kemudian diadopsi PGU, kumpulan eks-seminari, menjadi salah satu program pelatihannya. Juga mendapat dukungan dari Komisi Seminari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). 

Lebih beruntung lagi SMCS dengan cepat menjadi yang pertama memberi respon positif. Maka jadilah pelatihan musik liturgi yang pertama diadakan di seminari itu. Lae Jay pelatihnya, aku tukang oprak-opraknya.

Suasana pelatihan musik liturgi di Aula Alverna SMCS (Dokpri)
Suasana pelatihan musik liturgi di Aula Alverna SMCS (Dokpri)

Metode Master Class, Durasi Choral Camp

Musik liturgi Katolik merupakan kesatuan unsur-unsur teks, melodi, irama, tangga nada, harmoni, dan iringan. Enam unsur tersebut pertama tercakup dalam musik vokal. Karena itu diputuskan pelatihan terfokus pada teknik vokal atau produksi suara.

Awalnya Lae Jay merancang pelatihan sebagai satu seri workshop tiga jenjangTiap jenjang 10 jam, sehingga total waktu pelatihan 30 jam

Jenjang pertama, teknik vokal tingkat dasar, meliputi konsep suara ideal, penempatan jenis suara, sikap dasar bernyanyi, soft attack, appogio, relaxing jaw, pharyngeal articulation, dan passagio.

Kedua, teknik vokal tingkat madya, mencakup konsistensi artikulasi, appogio tingkat lanjut, mezza di voce, dan legato singing.

Ketiga, pemantapan penguasaan satu set lagu Misa (acapella dan iringan organ) suara sejenis laki (TTBB, Tenor 1 - Tenor 2 - Bas 1 - Bas 2) dan penampilan dalam Perayaan Misa Kudus. 

Ketika kami tiba di SMCS, segera nyata bahwa rencana ideal itu terlalu sulit dijalankan. "Soalnya Siantar terlalu jauh dari Jakarta. Pelatihan tak mungkin intensif," kata Lae Jay. Dia dan aku tinggal di Jakarta. Ke Siantar perlu kesiapan waktu dan biaya yang ekstra besar. 

"Kita butuh solusi kreatif, Lae" kataku sok bijak. Lalu Lae Jay dan aku memutuskan pelatihan cukup satu kali saja. Durasinya dipangkas dari 30 jam menjadi 15 jam dalam rentang 3 hari. 

Kelanjutannya nanti akan diserahkan pada pelatih mitra, Pak Pasaribu dan Pak Sinaga. Keduanya adalah guru SMCS yang memiliki passion pada musik liturgi.

Konsekuensinya materi pelatihan mesti dipadatkan pula. Dengan catatan harus tetap terpusat pada teknik bel canto, bernyanyi indah ala Italia itu.

Lae Jay, sesuai kompetensinya, kemudian berjibaku memadatkan materi pelatihan. Ringkasnya jadi begini: 

  • Soft attack, menyanyi dengan pita suara rileks – tergolong placement suara.
  • Low larynx, pita suara meluncur ke bawah setiap kali intonasi dan tidak ditegangkan.
  • Gola aperta, membuka rongga tenggorokan pada setiap intonasi.
  • Pharyngeal articulation, artikulasi pada tenggorokan, bukan pada bibir.
  • Appogio, pernafasan diafragma – teknik vital dalam produksi suara.
  • Chiaro scuro, perimbangan gelap terang pada produksi warna suara.
  • Nach unter denken, meletakkan sandaran di bawah dalam imajinasi vertikal pada intonasi; tidak melebar atau horizontal seumumnya penyanyi Batak.
  • Passagio, melicinkan transisi suara dada ke suara kepala.
  • Resonansi, menciptakan resonansi pada semua nada.

"Ini namanya metode Master Class dengan durasi Choral Camp," kata Lae Jay tentang solusi pemadatan pelatihan musik vokal liturgi tersebut.

"Maksudnya?" tanyaku, terdengar rada dungu.

Lae Jay mencoba menjelaskan. "Disebut Master Class karena teknik vokal peserta pelatihan diperbaiki satu per satu. Choral Camp karena waktu pelatihan 15 jam itu setara waktu pemusatan latihan suatu kelompok koor."

"Oh, begitu." Sejujurnya aku tak yakin mengerti penjelasannya. Tapi aku sangat yakin itu pasti sesuatu yang hebat.

Treatment produksi suara indah secara baik dan benar (Dokpri)
Treatment produksi suara indah secara baik dan benar (Dokpri)

Membangun Suara Indah

Sekali lagi, "Suara itu bisa dibangun," kata Lae Jay. Barangkali dia menyitir ucapan Luciano Pavarotti, tenor Italia bersuara indah yang sohor sejagad itu.

Membangun suara indah. Itu pulalah sasaran pelatihan musik vokal liturgi dengan metode Master Class dalam durasi Choral Camp yang difasilitasi Lae Jay. Rangkaian materi pelatihan di atas dimaksudkan untuk itu.

Sejumlah 60 orang peserta pelatihan, kelas Grammatica (1 SMA) dan Syntaxis (2 SMA) akan dipoles teknik produksi vokalnya. Dilatih teknik bel canto sehingga secara keseluruhan mereka menjadi satu kelompok koor bersuara indah.

"Apakah itu mungkin terjadi dalam tempo 15 jam?" tanyaku dalam hati. Pertanyaan yang wajar timbul dalam benak seseorang yang menyanyikan "do-re-mi-fa-sol-la-si-do" saja selalu fals.

Tapi pertanyaan tadi akhirnya kusesali. Sebab apa yang kusaksikan kemudian adalah proses terjadinya suatu mukjizat. Ya, mukjizat!

Beginilah proses yang kusaksikan.

Terlebih dulu 60 orang seminaris peserta pelatihan musik vokal liturgi itu dibagi ke dalam empat kelompok suara sejenis laki. Sebagian Tenor 1, sebagian lagi Tenor 2, lalu Bass 1 dan Bass 2 (TTBB). 

Sebagai pembuka, sekaligus untuk identifikasi masalah, seluruh peserta diminta menyanyikan Mars SMCS, Iuvante Deo Vincimus. Dari situ segera terbuka fakta betapa para peserta belum menguasai teknik produksi suara yang baik dan benar. Tak usahlah dulu bicara soal bel canto

Dalam latihan koor selama ini, para seminaris itu rupanya terfokus hanya pada pembacaan not secara benar, baik nada maupun temponya. Itu saja. Tidak pernah ada latihan produksi suara (vokal) secara baik, benar, dan indah.

Lae Jay kemudian mengajarkan teknik produksi suara yang baik dan benar ala bel canto. Dia meminta per kelompok T1, T2, B1, dan B2 menyanyikan potongan-potongan lagu, antara lain “Somewhere over the rainbow way up high” dan "Na sonang do hita na dua saleleng au rap dohot ho."

Itu maksudnya untuk memastikan peserta memproduksi suara dengan teknik yang benar. Mulai dari membentuk suara di tenggorokan (gola aperta, pharyngeal articultaion), imajinasi suara vertikal (nach unter denken), mengoptimalkan potensi resonansi, menerapkan pernafasan diafragma (appogio), dan melicinkan transisi suara dada ke kepala (passagio).

Untuk lebih memastikan lagi, setiap peserta juga diminta untuk menyanyikan potongan lagu, rangkaian vokal, atau satu nada tunggal. Jika ada peserta yang memproduksi suara di luar standar, maka segera dikoreksi tekniknya. Satu nada sederhana bisa diulang belasan kali sampai diperoleh penempatan suara yang pas.

Sekaligus dikoreksi juga kerileksan otot-otot leher dan diafragma (perut). Intinya menyanyi jangan ngotot sampai pita suara terjepit, urat leher tegang, dan otot perut mengeras. 

Begitulah praktek Master Class. Teknik vokal atau produksi suara 60 orang peserta pelatihan dikoreksi dan diperbaiki satu per satu. Hal itu dilakukan karena hanya lewat teknik yang benar bisa dihasilkan suara yang indah.

Hebat! Dalam tempo dua jam sesi pertama pelatihan pada Jumat sore (6 Desember), para seminaris itu sudah mulai bisa menerapkan teknik produksi suara indah yang baik dan benar. Walau, tentu saja, masih jauh dari sempurna. Setidaknya kini mereka tak lagi bernyanyi dengan cara yang lebih "beradab". Tidak tidak gogo pullang (sekuat tenaga, suara sekerasnya, full hard attack) lagi seperti umumnya penyanyi pop laki Batak.

Lae Jay tak menunggu sampai teknik vokal para peserta pelatihan sempurna. Sesi kedua pelatihan, malam harinya, peserta sudah langsung diminta latihan lagu Misa, membaca partitur lagu. Latihan lagu ini dilanjutkan Sabtu esok harinya (7 Desember), dari pagi sampai sore. 

"Sambil latihan lagu Misa, teknik vokalnya kita perbaiki," kata Lae Jay. Itulah prinsip learning by doing, intensif dan hemat waktu sekaligus.

Ada empat lagu Misa yang dilatihkan. Lagu pembukaan Dengan Gembira (Antonius Soetanta), lagu persembahan Ambillah dan Trimalah (Onggo Lukito), lagu komuni Panis Angelicus (C. Franck), dan lagu penutup Arbab (Bonar Gultom).

Hebatnya, notasi (not angka) masing-masing lagu itu hanya dilatihkan lima kali ulangan. Sekaligus dalam proses itu dilakukan koreksi teknik vokal dan nada per kelompok (T1, T2, B1, B2) dan perorangan. 

Setelah lima kali ulangan, peserta langsung diminta menyanyikan lirik lagu. Lima kali ulangan juga, disertai koreksi teknik vokal atau produksi suara, untuk menghasilkan nada dan artikulasi yang baik, benar, dan indah. 

Sesi latihan malam hari sekalian berfungsi rehearsal, persiapan tampil dalam Perayaan Misa pagi esok hari (8 Desember). Dalam dua jam latihan malam itu, dengan segala kekurangan yang segera dikoreksi, nyatalah bahwa 60 peserta pelatihan itu sudah siap tampil sebagai sebuah kelompok koor remaja laki (boys choir).

Sungguh, hal itu terasakan sebagai mukjizat. Setidaknya bagi para seminaris itu dan aku sendiri. Mereka mengakui selama ini butuh waktu latihan seminggu untuk menguasai sebuah lagu. Kini empat lagu, dengan teknik vokal yang sudah tergolong baik dan benar, hanya dalam bilangan belasan jam.

Begitulah Lae Jay memfasilitasi proses terjadinya sebuah mukjizat penampilan musik vokal liturgi Gereja Katolik di SMCS. Sungguh, itu terbilang mukjizat.

Tampil sebagai paduan suara dalam Perayaan Misa Kudus di kapel SMCS (Dokpri)
Tampil sebagai paduan suara dalam Perayaan Misa Kudus di kapel SMCS (Dokpri)

Lahirnya "Bayi" Paduan Suara SMCS

Minggu, 8 Desember 2024 tepat pukul 08.00 WIB. Aku sudah duduk manis di kapel seminari. Tepat di belakang para seminaris peserta pelatihan yang duduk di bangku- bangku baris depan. 

Tadi pagi pukul 06.00-07.00 WIB mereka sudah melakukan rehearsal lagi. Menyanyikan lagi empat lagu misa yang telah dilatihkan. Juga Ordinarium dan Mazmur. Pemazmur telah dilatih khusus kemarin sore.

"Semoga Roh Kudus menolong ansk-anak ini tampil bagus," aku berdoa dalam hati.

Dan benarlah demikian. 

Sepanjang Misa, 60 orang seminaris peserta pelatihan melambungkan ordinarium dan lagu-lagu Misa yang telah dilatihkan dengan teknik vokal yang baik dan benar. Lagu-lagu Misa menjadi terdengar lebih indah, khidmad. Suasana sakral terasa menyelimuti atmosfer kapel.

Lagu persembahan Amblilah dan Trimalah dinyanyikan secara acapella, tanpa iringan musik. Jadinya terasakan lebih murni dan khidmad, membangun suasana berserah diri. 

Pada lagu komuni Panis Angelicus, Lae Jay tampil sebagai tenor solois. Pak Pasaribu tampil sebagai dirigen memimpin koor para seminaris. Lagu ini berhasil dinyanyikan dengan cukup indah, walau iringan musik diambilkan dari internet. Organis SMCS tidak menguasai lagu ini. 

Ketika lagu penutup Misa, Arbab dilambungkan, maka sadarlah aku bahwa "bayi" Paduan Suara SMCS telah lahir. Dibanding penampilan para peserta saat menyanyikan Mars SMCS di awal pelatihan, penampilan mereka dalam Misa sudah jauh, jauh sekali lebih bagus. Dilihat dari segi teknik vokal, kualitas suara, nada dan irama, serta dan harmonisasi suara TTBB.

"Limabelas jam membangun suara indah. Ini benar-benar mukjizat, Lae," kataku pada Lae Jay, takjub. Tapi reaksinya cuma senyum-senyum saja. Mungkin itu hal biasa saja baginya, entahlah.

Sekali lagi, "bayi" paduan suara SMCS telah terbentuk. Tinggal bagaimana membesarkan dan mengasuhnya menjadi lebih baik lagi. Tugas itu secara khusus dipercayakan pada Pak Pasaribu dan Pak Sinaga, mitra lokal yang akan menangani pelatihan lanjut. Tentu di bawah arahan dan pantauan Lae Jay dari Jakarta.

Aku pikir 60 orang seminaris itu memang bukanlah sekelompok burung penyanyi. Tapi, seperti diingatkan Pavarotti, mereka sudah mulai bernyanyi dengan teknik burung berkicau. 

"Aku ingin melihat kelompok paduan suara ini tampil prima dalam perayaan Jubileum 75 tahun SMCS bulan September 2025 nanti." Aku mengungkapkan obsesiku pada Pastor John Rufinus Saragih OFM Cap, Rektor SMCS.

"Tentu saja. Harus itu," Pastor John mengamini, antusias. Dia pastor, aku percaya pada kata-katanya. [eFTe]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun