Sebenarnya, kata Suster Yovita, ada sembilan orang staf dapur. Semuanya perempuan, usianya bervariasi dari muda sampai tua.
Hebatnya, Suster Yovita dan para staf dapur itu bukanlah chef, bahkan juga bukan koki profesional. Mereka adalah perempuan-perempuan otodidak yang tadinya belajar memasak dari ibundanya di rumah.Â
"Itu boru Panjaitan, dari Palipi Samosir. Pintar masak dia itu," Suster Yovita menunjuk pada seorang gadis muda yang sedang mengiris-iris cabai.
"Pernah belajar tata boga?" tanyaku, menduga dia lulusan SMK jurusan tata boga.
"Tidak pernah, Pak." Nah, betul, kan? Seratus persen kepandaiannya memasak adalah hasil asuhan ibunda.
Dari segi usia, para staf dapur itu mencakup gadis muda sampai perempuan tua. Usia mencerminkan senioritas, pengalaman masak. Staf senior, termasuk Suster Yovita, membimbing junior.
Begitulah caranya setiap staf dapur menjadi pintar memasak. Sosialisasi keahlian dari yang tua kepada yang muda, seperti dalam keluarga.
Seminari memang seperti sebuah keluarga besar. Ada para seminaris, jumlahnya 200 orang di asrama SMCS. Ada para pastor, rektor dan staf, yang menjalankan fungsi "bapak". Lalu ada para suster yang menjalsnkan fungsi "ibu", khususnya penyiapan makanan sehari-hari.
Menu harian di SMCS juga serupa menu rumahan. Jauhlah dari menu restoran, apa lagi hotel. Tapi dipastikan menu makan pagi, siang, dan malam untuk para seminaris itu sehat dan bergizi lengkap.Â
Polanya "4 sehat 5 sempurna". Ada karbohidrat (nasi), protein hewani (daging, ikan, telur, susu), dan protein nabati dan vitamin (sayuran, buah, tempe/tahu). Lauk daging dan susu dihatah dua kali dalam seminggu.
Aku ingat benar dampak makanan sehat dan bergizi itu. Mayoritas seminaris angkatanku tahun 1974, termasuk aku, berasal dari desa. Tubuh kami terbilang kurus dan kulit kami kusam. Setelah 6 bulan di seminari, tubuh kami mulai berisi dan kulit wajah kami cerah berseri. Kami tampak tambah cakep semua. Itulah dampak makan cukup, teratur, sehat, dan bergizi.