Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

30 Menit Mengintip Dapur Seminari Menengah Siantar

23 Desember 2024   10:16 Diperbarui: 23 Desember 2024   13:27 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suster Yovita Situmorang  dan staf dapur sedang menyiapkan makan siang untuk seminaris SMCS (7/12/2924) (Dokumentasi pribadi)

"Hargai orang yang telah berjuang menyiapkan makanan kalian. Barang siapa tidak makan sayur basi ini, maka dia tidak akan diobati jika sakit" -Pastor Markus Looman OFM Cap., 1974

Aku tak pernah lupa ancaman mujarab Pastor Markus Looman itu sampai hari ini, 50 tahun sejak diujarkan pada suatu makan malam tahun 1974 di Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS), Pematang Siantar.  Waktu itu semua seminaris, kelas kecil (SMP) dan besar (SMA), mendapati sayur bayam yang disajikan di meja makan telah basi.

Tidak ada seminaris yang mau makan sayur bayam basi.  Tidak, sampai kemudian Pastor Looman yang saat itu bertugas mengawasi makan malam seminaris mengeluarkan ancamannya.

Maka sambil menahan nafas di hidung, atau dengan lain cara, semua seminaris berhasil memasukkan sayur basi itu ke dalam perut masing-masing. Ajaibnya, tak seorang seminaris pun menderita sakit perut karenanya. Sehingga Pastor Looman, waktu itu bertugas sebagai "mantri kesehatan" seminari juga, tidak perlu repot mengobati seminaris yang sakit perut.

Selama 3 tahun di seminari (1974-1976) peristiwa sayur basi itu satu-satunya insiden meja makan yang pernah terjadi. Cerita yang beredar kemudian, sayur itu dimasak terlalu siang dan disimpan kurang baik sehingga menjadi basi. Ada kesilapan dalam detail praktek penanganan pangan yang baik (good food handling practices). Hal yang bisa saja terjadi dalam proses penyiapan dan penyediaan makanan skala besar.

Sejak insiden kecil itu, aku selalu bertanya-tanya bagaimana sebenarnya proses penyiapan dan penyediaan makanan sehari-hari untuk para seminaris di asrama SMCS. Ingin mengintip ke dapur. Tapi waktu itu dapur adalah "ruang sakral" yang terlarang bagi seminaris.

Barulah pada Sabtu 7 Desember 2024 lalu, di sela-sela kesibukan pelatihan musik liturgi gereja yang dihelat Paguyuban Gembala Utama (PGU) bagi seminaris, aku sempat mampir 30 menit ke dapur SMCS. Itu 50 tahun berselang sejak insiden sayur kangkung basi.

Ribet dengan mixer di dapur (Dokumentasi pribadi)
Ribet dengan mixer di dapur (Dokumentasi pribadi)

Bukan Koki tapi Pintar Masak

"Boleh, silakan, Pak," Suster Yovita Situmorang KSSY, kepala dapur SMCS membolehkan aku mengamati kesibukan di dapurnya. 

Jarum pendek arlojiku menunjuk angka 09.15 WIB. Suster Yovita, dibantu enam orang staf dapur, sedang menyiapkan menu makan siang para seminaris. 

Sebenarnya, kata Suster Yovita, ada sembilan orang staf dapur. Semuanya perempuan, usianya bervariasi dari muda sampai tua.

Hebatnya, Suster Yovita dan para staf dapur itu bukanlah chef, bahkan juga bukan koki profesional. Mereka adalah perempuan-perempuan otodidak yang tadinya belajar memasak dari ibundanya di rumah. 

"Itu boru Panjaitan, dari Palipi Samosir. Pintar masak dia itu," Suster Yovita menunjuk pada seorang gadis muda yang sedang mengiris-iris cabai.

"Pernah belajar tata boga?" tanyaku, menduga dia lulusan SMK jurusan tata boga.

"Tidak pernah, Pak." Nah, betul, kan? Seratus persen kepandaiannya memasak adalah hasil asuhan ibunda.

Dari segi usia, para staf dapur itu mencakup gadis muda sampai perempuan tua. Usia mencerminkan senioritas, pengalaman masak. Staf senior, termasuk Suster Yovita, membimbing junior.

Begitulah caranya setiap staf dapur menjadi pintar memasak. Sosialisasi keahlian dari yang tua kepada yang muda, seperti dalam keluarga.

Seminari memang seperti sebuah keluarga besar. Ada para seminaris, jumlahnya 200 orang di asrama SMCS. Ada para pastor, rektor dan staf, yang menjalankan fungsi "bapak". Lalu ada para suster yang menjalsnkan fungsi "ibu", khususnya penyiapan makanan sehari-hari.

Menu harian di SMCS juga serupa menu rumahan. Jauhlah dari menu restoran, apa lagi hotel. Tapi dipastikan menu makan pagi, siang, dan malam untuk para seminaris itu sehat dan bergizi lengkap. 

Polanya "4 sehat 5 sempurna". Ada karbohidrat (nasi), protein hewani (daging, ikan, telur, susu), dan protein nabati dan vitamin (sayuran, buah, tempe/tahu). Lauk daging dan susu dihatah dua kali dalam seminggu.

Aku ingat benar dampak makanan sehat dan bergizi itu. Mayoritas seminaris angkatanku tahun 1974, termasuk aku, berasal dari desa. Tubuh kami terbilang kurus dan kulit kami kusam. Setelah 6 bulan di seminari, tubuh kami mulai berisi dan kulit wajah kami cerah berseri. Kami tampak tambah cakep semua. Itulah dampak makan cukup, teratur, sehat, dan bergizi.

Menyiapkan bumbu masakan (Dokumentasi pribadi)
Menyiapkan bumbu masakan (Dokumentasi pribadi)

Memasak Skala Besar

Memasak makanan untuk para seminaris terbilang kegiatan skala besar. Tiga kali sehari Suster Yovita dan stafnya harus memasak untuk 200 orang seminaris, belum terhitung pastor, bruder, suster, dan staf dapur. 

Itu seperti memasak makanan untuk sebuah pesta sebenarnya. Nasi misalnya, sekali masak 30 kg. Atau 40 kg khusus pada hari Kamis dan Minggu. "Sebab lauknya daging, enak, sehingga seminaris makan nasi lebih banyak," kata Suster Yovita.

Heavy duty rice cooker di dapur SMCS (Dokumentasi pribadi)
Heavy duty rice cooker di dapur SMCS (Dokumentasi pribadi)

Nasi sudah tanak (Dokumentasi pribadi)
Nasi sudah tanak (Dokumentasi pribadi)

Dulu nasi ditanak menggunakan dua dandang besar dengan api gas. Sekarang sudah lebih modern, menggunakan heavy duty rice cooker berbahan bakar gas merek Zeppelin. Tinggal mengisikan beras dan air pada susunan nampan (tray), lalu nyalakan listrik rice cooker, maka nasi akan tanak terkukus dalam waktu 40-60 menit.

Untuk memasak lauk dan sayur, dapur SMCS masih mengandalkan kuali besar dengan api gas. Sedemikian besar kuali itu sehingga cukup sekali masak lauk atau sayur daja untuk konsumsi 200 orang.

Kuali baja besar untuk memasak lauk dan sayur (Dokumentasi pribadi)
Kuali baja besar untuk memasak lauk dan sayur (Dokumentasi pribadi)

Pembagian kerja di dapur SMCS itu sangat ketat. Sudah jelas siapa yang bertanggung-jawab menanak nasi, memasak lauk, memasak sayur, menyiapkan bumbu, menyiapkan buah, dan menyajikan makanan di ruang makan. Tentu semua itu di bawah dirigensi Suster Yovita sebagai kepala dapur. 

Staf dapur hanya merdeka dari urusan cuci piring. Itu tugas seminaris. Secara bergilir dalam kelompok, seminaris wajib cuci piring, mangkuk, dan sendok-garpu setiap kali selesai makan (pagi, siang, malam). 

Dapur adalah tempat yang paling sibuk di SMCS. Kegiatan memasak di situ sudah dimulai sejak subuh untuk menyiapkan sarapan pagi pukul 07.00 WIB. Menunya sederhana: nasi, sayur, dan olahan tahu/tempe atau ikan teri. Pukul 09.00 WIB mulai lagi memasak untuk makan siang pukul 13.00 WIB. Lalu pukul 16.00 WIB mulai lagi menyiapkan makan malam pukul 19.00 WIB. Jadwal makan sudah paten macam itu, tak boleh telat.

Hebatnya, sejauh pengamatanku, tak ada kepanikan di dapur SMCS. Para staf dapur dan Suster Yovita bekerja sewajarnya saja, jauh dari kata stres. Kuncinya, pertama, sudah ada pembagian tugas yang tegas du antara staf dapur.  Kedua, kusaksikan sendiri, para juru masak itu bekerja dengan hati senang.

Ruang penyimpanan bahan makanan. Ada cold storage (kiri) (Dokumentasi pribadi)
Ruang penyimpanan bahan makanan. Ada cold storage (kiri) (Dokumentasi pribadi)

Belanja Besar

Saat aku melangkah menuju dapur tadi, di pelataran baru saja berhenti sebuah truk pick up (bak terbuka) kecil. Baknya sarat muatan sayur-mayur, buah-buahan, daging, ikan, telur, dan bumbu dapur. Suster Yovita baru saja pulang belanja bahan makanan dari Pajak Horas Siantar. 

Suster baru belanja besar. Besok, hari Minggu, seminaris makan besar. Hari makan pakai lauk daging, nasi pasti tamhah melulu. 

Belanja besar seperti itu mesti dilakukan sedikitnya dua kali seminggu. Dengan begitu stok bahan makanan sepanjang minggu tetap tersedia. 

Bahan-bahan makanan itu disimpan di satu ruangan khusus berpendingin. Ada cold storage khusus untuk sayuran. Lalu chiller dan freezer box untuk daging dan ikan. Buah-buahan cukup diletakkan dalam wadah di lantai ruangan berpendingin itu.

Pisang barangan untuk buah penutup makan siang (Dokumentasi pribadi)
Pisang barangan untuk buah penutup makan siang (Dokumentasi pribadi)

Saat mengamati isi ruangan, aku berpikir betapa makanan menjadi komponen biaya besar di SMCS. Sulit juga untuk menekan anggaran makanan. Standar minimum kuantitas pangan  dan kualitas gizi dan kesehatan makanan harus dipenuhi. Jika tidak maka seminaris, para calon pastor itu, bisa menderita kurang pangan dan gizi. 

"Harga bahan makanan di pajak mahal," keluh Suster Yovita. "Karena itu kadang-kadang pastor pergi belanja sayuran ke Saribudolok." Di sana, di tepi jalan, banyak petani menjual sayur-mayur.

"Apakah lebih murah di sana?" selidikku.

"Jauh lebih murah. Kalau di pajak harga sayur putih delapan ribu rupiah per kilo, di Saribudolok bisa dapat tiga ribu."

Begitulah cara Suster Yovita, penguasa dapur SMCS, menyiasati keterbatasan anggaran makanan. Selisih harga bisa digunakan untuk membeli makanan tambahan.  Orang dapur wajib cerdas.

Sebenarnya SMCS punya kebun di belakang susteran. Di sana seminaris menanam aneka sayuran, antara lain kangkung, bayam, daun singkong, dan terung. Hasilnya lumayan untuk menambah stok sayur-mayur di dapur.

Ada juga kandang babi. Sumber ternak untuk dipotong pada peristiwa istimewa, misalnya pada hari Pesta Santo Yosef Pekerja (19 Maret). Atau pada momen Dies Natalis SMCS tiap tanggal 1 September. 

Tahun 1974-1976 aku bertugas bekerja di kebun seminari itu, mulai dari status buruh sampai mandor. Jadi aku cukup tahu dulu sumbangan kebun itu untuk dapur seminari. Tak hanya sayuran tapi juga buah-buahan antara lain pisang, pepaya, dan manggis. 

Aku sempat mengamati kebun itu selintas. Masih dikelola secara tradisional. Sejak dulu begitu. Aku berpikir seandainya ada alumni SMCS yang sudi membangun green house atau net house sayur-mayur hidroponik di situ. Dirancang untuk bisa panen harian, mingguan, dan bulanan. Pasti hasilnya akan sangat membantu persediaan sayuran untuk seminaris.

Menggoreng telur bulat untuk menu balado telur (Dokumentasi pribadi)
Menggoreng telur bulat untuk menu balado telur (Dokumentasi pribadi)

Hasahatan

"Mauliate. Suster." Aku berterimakasih saat pamit keluar dari dapur. Suster Yovita telah berbaik hati mengizinkanku memuaskan rasa penasaranku tentang dapur SMCS.

Aku melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Jarum pendeknya menunjuk posisi pukul 09.45 WIB. Tigapuluh menit lamanya aku belajar tentang dapur SMCS.

Saat melangkah kembali menuju aula Alverna, tempat pelatihan musik liturgi berlangsung, aku teringat kembali insiden sayur bayam basi 50 tahun lalu. Setelah mengamati cara kerja para staf dapur, aku yakin itu insiden itu benar-benar murni kelalaian manusiawi saja. Bahkan perusahaan catering besar juga bisa mengalaminya.

Suster Yovita dan para stafnya, jago-jago masak otodidak asuhan ibunda itu, adalah orang-orang hebat. Mereka penjaga denyut jantung seminari, dapur. Tanpa dapur yang selalu berasap, seminaris padti kabur.

Jujur, aku sangat takjub pada mereka, perempuan-perempuan gembira di antara api dan pisau di dapur SMCS itu. Mereka memasak seperti ibu memasak untuk anak-anaknya, atau kakak perempuan memasak untuk adik-adiknya. 

Mereka memasak tidak dengan api saja melainkan terutama dengan hati. [eFTe]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun