Anehnya lagi, atau mungkin sebenarnya untung, di SMA aku justru masuk IPA. Karena nilai rapor terbilang "tiga besar", aku mendapat undangan Perintis II, masuk Perguruan Tinggi Negeri zonder ujian seleksi. Diundang baik-baik, ya, terimalah. Sombong banget kalau ditolak. Sejak itu rencana kuliah di ASRI terlupakan. Cita-cita menjadi pelukis pun menguap begitu saja.
Menjadi Penulis Amatiran
Sebenarnya kebiasanku menggambar tidak benar-benar pupus. Sewaktu kuliah, juga setelah lulus, aku terkadang masih orat-oret sketsa di ruang kuliah, ruang seminar, atau ruang rapat. Itu kulakukan untuk mengusir rasa bosan, jenuh, atau kantuk. Kadang kubuatkan sketsa pembicara seminar atau rapat yang paparannya membosankan.
Beberapa kali ada juga kawan yang minta dibuatkan potret dirinya. Ya, kubuatkan, lumayan dapat sedikit imbalan untuk nonton bioskop atau jajan bakso.Â
Kegiatan sebagai dosen dan peneliti sosial kemudian mengantarku pada kebiasaan baru. Menulis bahan kuliah, laporan penelitian, paper/artikel ilmiah, dan artikel ilmiah populer. Jenis tulisan tersebut terakhir diterbitkan di koran, tabloid, dan majalah berita.
Belakangan hari, setelah pensiun, sebagai strategi belajar seumur hidup aku memusatkan perhatian pada penulisan artikel ilmiah populer. Tapi kini dengan pendekatan anarkis yang kurang disukai media massa konvensional. Tidak jadi soal. Sebab sudah tersedia berbagai platform media sosial yang mengakomodasi artikel-artikel anarkis, sepanjang substansi dan penyajiannya nya logis, etis, dan estetis.
Karena jodoh yang baik, akhirnya aku berlabuh di Kompasiana.com. Blog kroyokan ini betul-betul mengakomodasi karakter anarkis artikel-artikel ilmiah populer anggitanku. Admin Kompasiana tak mempersoalkan "metoda tanpa metoda", gaya anarkis, yang kuterapkan dalam proses penulisan artikel.Â
Kini aku telah bertransformasi dari "penggambar" menjadi "penulis", dengan predikat amatiran. Tapi sejatinya transformasi itu dalam bentuk saja, dari "gambar" ke "tulisan". Filosofinya tetap sama, "penggambaran mendalam" melalui prinsip "Nulla dies sine linea."
Kegiatan menggambar itu pada dasarnya adalah proses penafsiran mendalam terhadap suatu fakta. Dengan demikian suatu gambar atau lukisan sejatinya adalah buah penafsiran.Â
Tafsir itu subyektif. Karena itu dua orang yang melukis obyek yang sama akan menghasilkan gambar atau lukisan yang berbeda. Benar kedua orang itu memulai dengan satu garis, tapi itu tak pernah merupakan garis yang sama.
Kegiatan menulis artikel ilmiah populer, sepanjang pengalamanku sendiri, juga begitu juga. Aku menafsir data atau fakta obyektif menurut subyektivitasku. Subyektivitas itu menjadi signature, penanda khas pada setiap artikel yang kutulis untuk Kompasiana.