"Nilai capaian pemelajar itu diukur dari titik kemampuan awalnya, bukan dari titik ekspektasi hasil akhir." -Prof. Sayogyo
Rabu 24 Agustus 2024, menjelang sore, ada pesan masuk di WAG SMCS Menulis. Poli, pengurus OSIS SMCS mengirimkan file PDF dokumen draft final nomor perdana e-magazine Surat, terbitan SMCS Pematang Siantar. Tak berapa lama Yohan, Ketua Redaksi Surat, e-magazine mengirimkan file yang sama dalam format buku Canva.Â
"Bagus sekali. Silahkan minta persetujuan Pastor Venan untuk diterbitkan dalam medsos resmi SMCS." Aku membalas, segera setelah membaca cepat dokumen itu.
Pastor Venan, lengkapnya Venantius Sitohang, OFM Cap adalah Koordinator Prefek SMCS sekaligus ex-officio Pendamping Redaktur majalah Surat. Dialah yang dengan tabah selalu menyemangati para seminaris sepanjang proses penulisan artikel dan penerbitan majalah Surat.
"Terimakasih atas bantuan bapak sekalian selama ini." Poli membalas pesanku. Terasakan nada syukur dan bangga dalam ucapannya.Â
Ya, Poli dan Yohan serta anggota tim redaksi dan penulis Surat untuk nomor perdana itu sepantasnyalah bersyukur dan berbangga. Penerbitan majalah daring itu adalah sesuatu yang sebelumnya tak direncanakan. Bahkan terpikirkan pun tidak oleh mereka.
Karena itu, aku ingin mengisahkan perjuangan para seminaris muda itu dalam proses penerbitan Surat. Begitu caraku memberi apresiasi, sekaligus dorongan untuk semakin baik ke depan.
Bermula dari Pendampingan LiterasiÂ
Pada mulanya adalah pendampingan literasi digital untuk siswa SMCS, sekolah calon pastor Katolik. Kegiatan ini adalah kerjasama SMCS dan Paguyuban Gembala Utama (PGU) -- kelompok eks-seminari yang membantu pengembangan seminari.
Target pendampingan itu adalah pembangkitan minat dan ketrampilan dasar menulis artikel dalam media berbasis internet. Kemampuan menulis dianggap sebagai "ilmu hidup" (life skill) yang kelak diperlukan seminaris untuk mendukung profesinya, entah dia nanti menjadi pastor atau tidak.
"Saya ingin majalah Lembaga dihidupkan lagi." Pastor Venan menyampaikan harapannya dalam rapat persiapan. Majalah kebanggaan SMCS itu sudah "mati". Terakhir terbit tahun 2017 dalam format daring via laman website SMCS.
Sebuah tim kecil PGU kemudian melakukan pendampingan literasi selama tiga hari bagi 132 orang seminaris SMCS (31 Mei - 2 Juni 2024). Fokusnya kemampuan dasar menganggit tulisan dan merancang majalah daring sebagai wahana agihannya. Fasilitatornya Mas Damar Juniarto, pendiri Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan aku sendiri, blogger amatir Kompasiana.com.
Hanya Yesus yang dengan satu kalimat mampu mengubah air menjadi anggur. Berharap para seminaris langsung jago tulis dan bikin majalah setelah diceramahi "ilmu tulis" beberapa jam adalah bentuk kesombongan, menantang Tuhan.
Intinya, aku hanya berusaha meyakinkan para seminaris itu bahwa kemampuan menulis itu talenta dari Tuhan bagi setiap orang. Dosa bila tak dikembangkan di jalan logika, etika, dan estetika. Lalu Mas Damar, lewat praktek, berusaha membuktikan bahwa mereka bisa,merancang dan menerbitkan majalah daring sendiri.
Aku tidak tahu berapa persen paparan Mas Damar dan ceramahku yang nyangkut di benak para seminaris itu. Tapi jelas kulihat gurat semangat dan sukacita menghiasi wajah anak-anak kelas 1 dan 2 SMA itu. Maka aku yakin, Roh Kudus sedang bekerja di dalam kepala mereka.
Mukjizat Liburan Semester
"Selama liburan nanti, sejumlah seminaris akan menulis pengalaman liburan mereka. Bisakah bikin link untuk mendiskusikan tulisan-tulisan itu?" Pesan WA dari Pastor Venan, 16 Juni 2024.Â
Lalu aku membuatkan WAG SMCS MENULIS sebagai wadah diskusi. Anggotanya adalah 15 orang seminaris yang berniat menulis pengalaman libur. Ditambah Pastor Venan, Mas Damar, Mas Fatma (Ketua PGU), dan aku sendiri. Seminaris diminta untuk membagikan tulisannya di situ.
"Bebaskan saja mereka menulis apapun dengan caranya sendiri, Pastor." Aku mengusulkan rambu "tanpa batasan". Sungguh, aku tak ingin otak kreatif seminaris Gen Z itu terpenjara oleh pikiran indoktrinatif Gen Baby Boomers.
Hal itu mengikuti nasihat guruku Prof. Sayogyo (alm.), Sosiolog IPB, "Bebaskan mahasiswa menulis apa yang dia mau. Tapi pastikan dia menulis dalam koridor kaidah ilmiah." Kelak aku tahu kaidah yang dimaksud adalah logika, etika, dan estetika.
Sudah seminggu sejak hari pertama liburan (21 Juni 2024), belum ada satupun draft tulisan yang dibagikan di WAG. Dua mingguan lagi, tepatnya 13 Juli 2024, liburan usai. Lalu kapan lagi para seminaris itu punya waktu menulis.Â
Kecemasanku ada dasarnya. Kalau sudah masuk sekolah, akses seminaris pada ponsel menjadi terbatas. Buka ponsel hanya dibolehkan sekali seminggu, tepatnya pada hari Minggu. Karena mereka menulis pakai perangkat ponsel, otomatis kesempatan menulis menjadi sempit.Â
"Ah, mukjizat masih ada!" Aku bersorak dalam hati ketika artikel pertama masuk di WAG tanggal 28 Juni. Setelah itu yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya sampai 12 artikel -- 3 orang tidak mengirim tulisan. Ternyata, di sela-sela kegiatan liburan pulang kampung, para seminaris itu tetap memenuhi janjinya untuk menulis.
Dari sudut pandangku, itu memang semacam mukjizat. Tadinya aku berpikir paling juga anak-anak seminari itu akan larut dalam liburannya, sehingga tugas menulis akan terlupakan. Ternyata aku salah perkiraan.
Jibaku Perbaikan Tulisan
Aku berusaha sesegera mungkin membaca dan memberi catatan untuk tulisan-tulisan itu. Juga berdiskusi dengan penulisnya untuk mencoba memahami apa sebenarnya yang hendak dia kisahkan.
Semua tulisan berkisah tentang aktivitas liburan sekolah di kampung masing-masing. Cerita kegiatan bersama anggota keluarga, teman-teman sepermainan, dan komunitas orang muda Katolik. Kecuali, ya, kecuali satu tulisan tentang kegiatan semester pendek, tidak pulang tapi ikut program pembinaan di asrama.Â
Sesuai dugaan, aku segera mendeteksi sejumlah kelemahan dasar pada semua tulisan para seminaris muda itu. Khas kelemahan tulisan para pemula yang belum pernah menulis sebelumnya. Hal itu sudah kuketahui saat pendampingan literasi sebelumnya.Â
Biarkan kurinci di sini sebagai bahan pelajaran untuk siapasaja.
Pertama, fokus tulisan tak jelas. Ke sana ke mari cerita macam-macam. Tak jelas mau cerita apa sebenarnya.
Kedua, miskin pengembangan gagasan. Ini akibat kurang baca dan kurang pengamatan. Jadi tak mampu mengaitkan satu fakta dan fakta lain yang relevan. Akibatnya tulisan menjadi kering, macam gabah hampa, cuma cangkangnya. Atau lebih mirip garis besar (extended outline) sebuah tulisan.
Ketiga, sistematika kacau. Tidak ada pembagian paragraf atau, jika ada, kaitan antar paragraf tidak jelas. Ini kelemahan aspek logika pada tulisan. Antara lain karena pemindahan bahasa lisan begitu saja ke bahasa tulisan.
Keempat, tata bahasa kacau. Ini mencakup kesalahan struktur kalimat, diksi, ejaan, dan ekonomi kata. Ada kecenderungan penceritaan yang berbelit dan bertele-tele, sehingga bikin pening pembaca.
Kata-kataku tadi benar belaka. Mustahil para seminaris itu langsung jadi jago tulis hanya dengan bekal catatan dari ceramahku dan pelajaran Bahasa Indonesia di kelas. Mereka butuh latihan "tujuh puluh dikali tujuh" kali.
Tapi tulisan yang disajikan, sekacau-balau apapun itu, selalu lebih baik ketimbang tulisan yang sekadar dijanjikan. Karena tulisan tersaji bisa dikritik, dikoreksi, dan diperbaiki. Sedangkan tulisan terjanji, yah, mau diapain, gak tahulah.
Maka bagiku 12 artikel yang dibagikan para seminaris itu sangat bernilai. Kuhargai sepenuhnya upaya mereka menulis dan kesediaan berdiskusi untuk mendapatkan hasil terbaik.
Maka WAG SMCS MENULIS menjalankan fungsinya sebagai wahana jibaku perbaikan tulisan. Artikel-artikel itu kubaca dan kuberi catatan untuk perbaikan, boleh ditolak atau diterima. Keduabelas tulisan itu mondar-mandir antara tangan para seminaris dan tanganku. Dengan kecenderungan tulisan itu semakin ke sini semakin bagus.
Aku hanya mencoba memastikan agar para seminaris itu pada akhirnya menghasilkan tulisan yang terfokus, kaya (bernas), sistematis, dan taat kaidah tata bahasa -- tanpa mengesampingkan licentia poetica atau kemerdekaan berekspresi. Agar kepala tak terlalu pusing saat membacanya.
Secara sadar aku juga mengukur tingkat perbaikan tulisan itu dari titik target harapan kualitas (expected quality). Aku mengukurnya dari titik awal keberangkatan.
Lagi, dalam hal ini aku merujuk nasihat guruku Prof. Sajogyo, "Nilai capaian pemelajar itu diukur dari titik kemampuan awalnya, bukan dari titik ekspektasi hasil akhir." Ibaratnya, ada 2 gelas, satu kosong dan satu lagi berisi 10 ml air. Kedua gelas itu diisi air, sehingga yang kosong sekarang berisi 50 ml dan yang satu lagi 60 ml air. Nilai capaian keduanya sama, karena sama-sama bertambah 50 ml.
Sudah tanggal 13 Juli, para seminaris sudah kembali ke asrama, perbaikan artikel belum juga usai. Diskusi perbaikan via WAG juga semakin terbatas karena para seminaris hanya boleh pegang ponsel tiap hari Minggu. Praktis kerja perbaikan hanya bisa dilakukan sekali seminggu.Â
Jadinya harus kerja cepat. Begitu draft perbaikan artikel dibagikan di WAG, aku harus baca dan beri masukan secapat mungkin. Lalu kirim balik untuk segera diperbaiki penulisnya. Kalau tidak begitu, harus tunggu waktu seminggu lagi untuk perbaikan.
Aku harus selalu menyemangati pula. Selalu bilang tulisannya sudah bagus dan akan lebih hebat jika begini atau begitu. Frasa "sudah bagus" itu kupelajari dari Tino Sidin (alm.), guru gambar yang sohor lewat siaran TVRI tahun 1980-an.
Hebatnya, para seminaris muda itu cepat kerjanya dan pantang menyerah. Yos, seorang dari mereka, bertekad "Kalau masih ada kesempatan, saya akan usahakan yang terbaik untuk karya tulisku."
Tentu saja selalu terbuka kesempatan untuk orang-orang muda yang penuh semangat itu. Sampai kapan? Sampai mereka tiba pada tenggat waktu yang mereka tentukan sendiri.
Akhirnya Terbit Juga
"Tenggat perbaikan terakhir hari ini, Pak." Sore-sore Poli mengirim pesan lewat WA, jaringan pribadi. Rupanya dia diberi dispensasi menggunakan ponsel di hari kerja, 7-9 Agustus, khusus untuk koordinasi perbaikan tulisan.
Yos mengirimkan 11 draft tulisan yang sudah diperbaiki penulisnya berulang-kali. Satu tulisan gugur karena agak sulit dikembangkan penulisnya.
Lagi aku harus gerak cepat membaca ulang dan memberi masukan seperlunya untuk 11 tulisan itu. Kemudian kukirim balik ke WAG dengan pesan "Sudah layak diterbitkan, silahkan bikin format majalah daringnya."
Rabu, 14Â Agustus 2024, rancangan majalah daring SMCS dibagikan via WAG dengan pesan "Mohon masukan untuk perbaikan." Mereka memilih nama Surat (Suara Hati Terdalam), bukan Lembaga (nama majalah yang telah mati), untuk majalah daring itu. Itu salah satu nama majalah yang dikreasi sewaktu pendampingan literasi.
Segera kuperiksa. "Oh, Bunda Maria, tata-letak dan format artikel masih amburadul." Rupanya pemindahan artikel dari aplikasi Words ke aplikasi Canva, format majalah daring, menyebabkan kekacauan teknis.
Butuh dua kali bolak-balik diskusi untuk perbaikan. Untungnya, untuk mengejar tenggat waktu penerbitan, Pastor Venan memberi dispensasi penggunaan ponsel kepada para penulis dan anggota redaksi di hari-hari kerja.
Rabu, 24 Agustus 2024, akhirnya semua bisa bernafas lega. Rancangan majalah daring Surat disepakati layak diterbitkan via website resmi SMCS Pematang Siantar.
Maka jadilah seperti itu. Minggu, 25 Agustus 2024, nomor perdana majalah daring Surat resmi diterbitkan via website resmi SMCS. Pastor Venan membagikan tautannya, sebagai bukti, sekaligus untuk bisa dibagikan ke khalayak.
Sambil membuka tautan itu, aku berkata dalam hati, "Rabu 24 Agustus 2024 ini boleh dikenang sebagai tonggak sejarah transformasi literasi SMCS Siantar, dari hanya sekadar konsumen tulisan menjadi aktif sebagai produsen tulisan juga di media berbasis internet."
Apakah majalah daring Surat yang diterbitkan seminaris SMCS itu benar-benar sudah bagus?Â
Menjawab pertanyaan itu, harus kukatakan bahwa para seminaris muda itu sudah berupaya memberikan yang terbaik dari diri mereka. Mereka telah berjibaku, mengorbankan waktu, pikiran dan kesenangan, demi bisa menulis artikel dan menerbitkan majalah daring sendiri. Itu proses yang sangat mengharukan dan, karena itu, layak dihargai.
Pada akhirnya aku hanya ingin berpesan kepada para seminaris, "Jika tahun depan kamu menertawakan tulisan-tulisanmu dalam nomor perdana majalah daring Surat, maka tahulah kamu bahwa kemampuanmu menulis artikel sudah meningkat." (eFTe)
Rujukan:
Majalah SURAT: https://online.fliphtml5.com/dlwuh/nfuj/#p=1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H