"Ah, mukjizat masih ada!" Aku bersorak dalam hati ketika artikel pertama masuk di WAG tanggal 28 Juni. Setelah itu yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya sampai 12 artikel -- 3 orang tidak mengirim tulisan. Ternyata, di sela-sela kegiatan liburan pulang kampung, para seminaris itu tetap memenuhi janjinya untuk menulis.
Dari sudut pandangku, itu memang semacam mukjizat. Tadinya aku berpikir paling juga anak-anak seminari itu akan larut dalam liburannya, sehingga tugas menulis akan terlupakan. Ternyata aku salah perkiraan.
Jibaku Perbaikan Tulisan
Aku berusaha sesegera mungkin membaca dan memberi catatan untuk tulisan-tulisan itu. Juga berdiskusi dengan penulisnya untuk mencoba memahami apa sebenarnya yang hendak dia kisahkan.
Semua tulisan berkisah tentang aktivitas liburan sekolah di kampung masing-masing. Cerita kegiatan bersama anggota keluarga, teman-teman sepermainan, dan komunitas orang muda Katolik. Kecuali, ya, kecuali satu tulisan tentang kegiatan semester pendek, tidak pulang tapi ikut program pembinaan di asrama.Â
Sesuai dugaan, aku segera mendeteksi sejumlah kelemahan dasar pada semua tulisan para seminaris muda itu. Khas kelemahan tulisan para pemula yang belum pernah menulis sebelumnya. Hal itu sudah kuketahui saat pendampingan literasi sebelumnya.Â
Biarkan kurinci di sini sebagai bahan pelajaran untuk siapasaja.
Pertama, fokus tulisan tak jelas. Ke sana ke mari cerita macam-macam. Tak jelas mau cerita apa sebenarnya.
Kedua, miskin pengembangan gagasan. Ini akibat kurang baca dan kurang pengamatan. Jadi tak mampu mengaitkan satu fakta dan fakta lain yang relevan. Akibatnya tulisan menjadi kering, macam gabah hampa, cuma cangkangnya. Atau lebih mirip garis besar (extended outline) sebuah tulisan.
Ketiga, sistematika kacau. Tidak ada pembagian paragraf atau, jika ada, kaitan antar paragraf tidak jelas. Ini kelemahan aspek logika pada tulisan. Antara lain karena pemindahan bahasa lisan begitu saja ke bahasa tulisan.
Keempat, tata bahasa kacau. Ini mencakup kesalahan struktur kalimat, diksi, ejaan, dan ekonomi kata. Ada kecenderungan penceritaan yang berbelit dan bertele-tele, sehingga bikin pening pembaca.
Kata-kataku tadi benar belaka. Mustahil para seminaris itu langsung jadi jago tulis hanya dengan bekal catatan dari ceramahku dan pelajaran Bahasa Indonesia di kelas. Mereka butuh latihan "tujuh puluh dikali tujuh" kali.