Ketiga, interaksi orangtua dan anak di lingkungan keluarga batih. Anak-anak Batak kelahiran Jakarta, khususnya Generasi Y, Z dan Alfa lebih terbiasa berbahasa Indonesia ketimbang berbahasa Batak. Sebabnya sehari-hari mereka menggunakan bahasa Indonesia logat Jakarta baik di sekolah maupun di lingkungan sepergaulan.
Di lain pihak orangtua juga terbiasa berbahasa Indonesia dalam kesehariannya. Entah itu di tempat kerja atau dalam berbagai aktivitas lain di luar rumah.Â
Dengan latar- belakang seperti itu tak heran jika bahasa Indonesia kemudian berfungsi sebagai "bahasa keluarga". Sekurangnya penggunaan bahasa Indonesia dalam lingkup keluarga batih lebih dominan, ketimbang bahasa Batak.Â
Anak-anak Batak Jakarta sendiri juga tak terlalu fasih berbahasa Batak. Istilahnya "bahasa Bataknya marpasir-pasir". Macam "beras" (bahasa Batak) yang banyak campuran "pasir"-nya (bahasa Indonesia).
Begitulah proses "transformasi kebangsaan" terjadi pada komunitas Batak Jakarta. Memang yang tampak di permukaan hanya pergeseran dalam unsur budaya bahasa, dari bahasa Batak ke bahasa Indonesia. Tapi dalam kenyataannya, perubahan terjadi juga pada unsur budaya lain, semisal teknologi, kesenian, organisasi sosial, dan mata pencaharian. Tapi itu pembahasan lainlah.
Jakarta Kuburan Bahasa Batak?
Adalah fakta bahwa penggunaan bahasa Batak (Toba) semakin memudar dalam keseharian orang Batak di Jakarta. Entah itu dalam lingkungan kerja, pendidikan, dan keluarga batih.
Apakah itu berarti bahwa, katakanlah dalam dua tiga dekade ke depan, bahasa Batak akan mati di Jakarta dan terkubur di kota ini?
Barangkali begitu. Terutama jika bicara tentang bahasa pengantar dalam interaksi formal dan non-formal sehari-hari. Orang Batak Jakarta sudah jauh dalam proses nasionalisasinya, sehingga habangsoon Batak sudah benar-benar tunduk di bawah kebangsaan Indonesia.
Tidak saja dalam komunikasi primer, tatap muka, tapi juga komunikasi sekunder, lewat media, penggunaan bahasa Indonesia di kalangan orang Batak sudah meraja. Media sosial semacam WAG yang beranggotakan orang Batak misalnya diwarnai oleh dominasi bahasa Indonesia.
Barangkali memang begitulah konsekuensi transformasi kebangsaan dari etnisitas ke nasionalitas. Atau barangkali itu sesuatu yang perlu dikoreksi? Bahwa nasionalisme itu pantang membunuh etnisitas. Agar semboyan bhinneka tunggal ika tetap relevan.