Jakarta Selatan pada suatu Sabtu siang yang cerah. Di sebuah kedai makan khas Batak Toba, aku bergabung dengan sejumlah teman sesama lelaki Batak. Kami berbincang tentang nasib almamater di Tanah Batak sana.
Syarat-syarat kondisional berbahasa Batak lengkap sudah. Sejumlah lelaki Batak dari generasi Baby Boomers dan Gen X; kedai Batak; kuliner khas Batak; topik diskusi tentang masalah di Tanah Batak.
Tapi itu tak terjadi. Maksudku obrolan dalam bahasa Batak (Toba). Ada sih terkadang selingan kata dan frasa Batak. Sekadar penegas makna atau maksud. Selebihnya kami berbincang dalam bahasa Indonesia.
Aku termenung. Merenungkan pengalamanku berbahasa Indonesia dengan sesama Batak itu. Cermin gejala apa sesungguhnya itu.
Dari Bangso Batak ke Bangsa Indonesia
Bahasa Indonesia itu bahasa persatuan. Dia menggoreskan rasa satu antara beragam suku bangsa nusantara.Â
Bahasa kita satu, Bahasa Indonesia yang sama. Maka kita adalah satu, satu bangsa. Kira-kira begitu inti pesan Sumpah Pemuda.
Tapi Bahasa Indonesia kini rupanya tak hanya menjadi pemersatu antar suku bangsa yang berbeda. Melainkan juga pemersatu antara orang-orang sesuku beda generasi di perantauan.
Rada aneh, sebenarnya. Tahun 1980-an, kalau aku bertemu dengan sesama Batak rantau di Jakarta, kami langsung ngobrol pakai bahasa Batak, bahasa persatuan suku bangsa. Seakan kami berada di kampung halaman sana.
Sekarang, kalau ketemu dengan sesama Batak Jakarta, sapaan "Horas" masih dilontarkan di awal. Selanjutnya bahasa Indonesialah yang meraja. Walau itu dengan logat Batak.
Kok bisa begitu?
Aku pikir, orang Batak khususnya di Jakarta tanpa disadari telah mengalami semacam "transformasi kebangsaan". Dari bangso Batak menjadi bangsa Indonesia. Dari nasionalisme etnis ke nasionalisme supra-etnis.
Sekurangnya ada tiga faktor besar pendorong "transformasi kebangsaan" itu.
Pertama, interaksi sosial di dunia pendidikan. Untuk sebagian cukup besar, orang Batak generasi BB dan X merantau ke Jakarta atau Jawa umumnya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Perguruan tinggi di Jawa umumnya adalah arena kemajemukan. Civitas akademika terdiri dari ragam suku bangsa yang datang dari berbagai daerah. Orang Batak adalah minoritas di situ.Â
Karena kemajemukan itu, Bahasa Indonesia kemudian tampil sebagai bahasa utama dalam interaksi sosial di dalam dan luar kampus. Bahasa etnik, terutama luar-Jawa seperti Batak, menjadi periferal.Â
Bisa dikatakan bahasa Indonesia berfungsi sebagai "bahasa pendidikan". Hal itu berlaku di semua jenjang pendidikan. Tapi terutama di perguruan tinggi yang menetapkan bahasa Indonesia sebagai "bahasa ilmiah" juga.
Penggunaan Bahasa Indonesia kemudian menjadi kelaziman bagi mahasiswa Batak, bahkan saat berbincang dengan sesama mereka. Penggunaan bahasa Batak, apalagi di lingkungan kampus, dinilai "kampungan". Kalau ketahuan oleh orang Jawa, kadang diingatkan agar berbahasa Indonesia --padahal dia sendiri tak sungkan berbahasa Jawa di kampus.
Kedua, interaksi sosial di dunia kerja. Dunia kerja umumnya juga arena kemajemukan. Orang-orang dari beragam etnis berinteraksi dan berkomunikasi dalam suatu kantor atau gedung perkantoran.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai "bahasa kerja". Semua golongan etnis di tempat kerja menggunakannya dalam komunikasi kerja. Mulai dari tegur-sapa, obrolan personal, sampai rapat-rapat kerja.
Orang-orang Batak juga mau tak mau terbawa untuk berbahasa Indonesia di tempat kerja. Bahkan di tempat kerja yang pegawainya banyak orang Batak. Juga di sektor informal seperti percaloan di terminal bus. Soalnya pelanggannya kan mayoritas non-Batak.
Sekadar contoh tipologis, di lapo khas Batak semisal di Senayan, Blok M, dan Tebet, bahasa Indonesia lazim digunakan sebagai bahasa pengantar. Pesan saksang, arsik, tombur, dan lain-lain pakai bahasa Indonesia.
Ketiga, interaksi orangtua dan anak di lingkungan keluarga batih. Anak-anak Batak kelahiran Jakarta, khususnya Generasi Y, Z dan Alfa lebih terbiasa berbahasa Indonesia ketimbang berbahasa Batak. Sebabnya sehari-hari mereka menggunakan bahasa Indonesia logat Jakarta baik di sekolah maupun di lingkungan sepergaulan.
Di lain pihak orangtua juga terbiasa berbahasa Indonesia dalam kesehariannya. Entah itu di tempat kerja atau dalam berbagai aktivitas lain di luar rumah.Â
Dengan latar- belakang seperti itu tak heran jika bahasa Indonesia kemudian berfungsi sebagai "bahasa keluarga". Sekurangnya penggunaan bahasa Indonesia dalam lingkup keluarga batih lebih dominan, ketimbang bahasa Batak.Â
Anak-anak Batak Jakarta sendiri juga tak terlalu fasih berbahasa Batak. Istilahnya "bahasa Bataknya marpasir-pasir". Macam "beras" (bahasa Batak) yang banyak campuran "pasir"-nya (bahasa Indonesia).
Begitulah proses "transformasi kebangsaan" terjadi pada komunitas Batak Jakarta. Memang yang tampak di permukaan hanya pergeseran dalam unsur budaya bahasa, dari bahasa Batak ke bahasa Indonesia. Tapi dalam kenyataannya, perubahan terjadi juga pada unsur budaya lain, semisal teknologi, kesenian, organisasi sosial, dan mata pencaharian. Tapi itu pembahasan lainlah.
Jakarta Kuburan Bahasa Batak?
Adalah fakta bahwa penggunaan bahasa Batak (Toba) semakin memudar dalam keseharian orang Batak di Jakarta. Entah itu dalam lingkungan kerja, pendidikan, dan keluarga batih.
Apakah itu berarti bahwa, katakanlah dalam dua tiga dekade ke depan, bahasa Batak akan mati di Jakarta dan terkubur di kota ini?
Barangkali begitu. Terutama jika bicara tentang bahasa pengantar dalam interaksi formal dan non-formal sehari-hari. Orang Batak Jakarta sudah jauh dalam proses nasionalisasinya, sehingga habangsoon Batak sudah benar-benar tunduk di bawah kebangsaan Indonesia.
Tidak saja dalam komunikasi primer, tatap muka, tapi juga komunikasi sekunder, lewat media, penggunaan bahasa Indonesia di kalangan orang Batak sudah meraja. Media sosial semacam WAG yang beranggotakan orang Batak misalnya diwarnai oleh dominasi bahasa Indonesia.
Barangkali memang begitulah konsekuensi transformasi kebangsaan dari etnisitas ke nasionalitas. Atau barangkali itu sesuatu yang perlu dikoreksi? Bahwa nasionalisme itu pantang membunuh etnisitas. Agar semboyan bhinneka tunggal ika tetap relevan.
Tapi tesis "Jakarta kuburan bahasa Batak" mungkin sedikit berlebihan. Sebab masih ada sedikitnya tiga institusi kebatakan yang mempertahankan penggunaan bahasa Batak di Jakarta.
Pertama, upacara adat Batak. Entah itu upacara adat kelahiran, perkawinan, ataupun kematian. Semuanya masih menggunakan bahasa Batak sebagai bahasa pengantar.Â
Sekaligus upacara adat itu mempertahankan Dalihan Natolu, tatanan sosial asli orang Batak: hula-hula (pemberi istri), dongan tubu (saudara sedarah), dan boru (penerima istri).
Kedua, perkumpulan semarga. Di Jakarta eksis begitu banyak punguan marga anu dohot boru/bere --Â perkumpulan marga anu dengan boru/bere (bere, keturunan boru).
Perkumpulan-perkumpulan Batak semarga itu kerap mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan-pertemuan itu bahasa Batak lazim digunakan sebagai bahasa pengantar.
Ketiga, gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Salah satu kekhasan HKBP adalah penggunaan bahasa Batak Toba sebagai bahasa ibadah/liturgi. Memang di Jakarta kini ada juga gereja HKBP yang memberi layanan ibadah berbahasa Indonesia. Tapi ibadah dalam bahasa Batak tetap yang pertama dan utama.
Tiga institusi khas Batak Toba itu boleh dibilang sebagai benteng terakhir bahasa Batak di parserahan, tanah rantau, termasuk di Jakarta secara khusus.
Hasahatan
Lantas apa yang bisa disimpulkan?
Di kalangan orang Batak Jakarta, eksistensi bahasa Batak sebagai bahasa kerja, pergaulan, dan keluarga batih cenderung melemah atau memudar.
Namun, berkat kehadiran institusi-institusi kebatakan, bahasa Batak masih tetap bertahan sebagai bahasa adat dan ibadat.
Bagaimanapun, kesimpulan di atas harus dianggap sebagai hipotesis. Masih perlu diuji lewat sebuah riset sosial saintifik.
Juga, hipotesis itu terbuka untuk dikritik, dalam konteks upaya mencari kebenaran. Sebab suatu hipotesa memang dilontarkan untuk mendapat kritik.
Namun perlu pula diingat nasihat khas orang Batak: "Jangan terlalu apa kali mengapakan apa itu, sebab kalau terlalu diapakan, takutnya apa-apa pula nanti."
Yo opo iki, rek. Horas be ma hita! (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H