Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Menertawakan Diri Lewat Kencing Bermartabat dan Perut Buncit

8 Juli 2024   16:38 Diperbarui: 13 Juli 2024   15:33 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toilet Mister Loo di Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang Banten (Dokumentasi Pribadi)

"Konyol itu kocak, tertawalah."-Felix Tani

Hidup waras lurus seumur hidup itu membosankan. Itu semacam berkendara di jalan tol lurus mulus dengan jejeran pohon-pohon bintaro di kiri dan kanannya. Bikin ngantuk.

Hidup itu, ya, sekurangnya macam lewat jalan tol layang MBZ-lah. Turun naik gronjalan walau "melayang di udara". Tol konyol itu.

Konyol itu kocak. Macam mobil meluncur di tol MBZ, jalannya kocak.

Karena itu suatu peristiwa konyol, sememalukan apapun itu, layak dianggit dan diagihkan kepada khalayak. 

Banyak gunanya. Sekurangnya dia menjadi satu cara menertawakan diri. Syukur-syukur merangsang syaraf geli pembaca juga. Kalau pun, misalnya, gagal menjadi bahan pelajaran.

Itulah yang kulakukan baru-baru ini. Menulis dan membagikan kekonyolan pribadi ke ruang publik. 

Bukan untuk membanggakannya -- lha, konyol kok bangga. Tapi semata untuk bahan refleksi sambil tertawa saja. 

Toilet Mister Loo di Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang Banten (Dokumentasi Pribadi)
Toilet Mister Loo di Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang Banten (Dokumentasi Pribadi)

Kencing yang Bermartabat

Ketika aku menulis "Pengalaman Kencing yang Bermartabat di Bumi Serpong Damai" (Kompasiana, 24/6/2024), niatku jauh dari pamer telah kencing di 22 provinsi Indonesia. Buat apa pamer. Toh ada orang yang lebih hebat telah kencing di 23 provinsi tapi diam-diam saja.

Lagi pula jangan mudah terpana oleh angka tanpa menyibak makna di baliknya. Sebab jika ada laki paruh-baya mengaku telah kencing 1,000 kali dalam setahun di tempat yang sama, maka kita perlu curiga dia seorang tawanan istri.

Begitulah, ikhwal pengalamanku kencing satu kali di toilet "Mister Loo" di Pasar Modern Bumi Serpong Damai (Pasmod BSD), Tangerang Banten itu sejatinya lebih pada soal makna. Intinya di balik frasa "kencing yang bermartabat" itu sesungguhnya terkandung makna gagap budaya (cultural shock).

Gagap itu bersumber pada senjang budaya (cultural lag) yang kualami dalam status sebagai warga Generasi Baby Boomers (Gen BB). Inovasi digitalisasi tiket masuk toilet "Mister Loo" oleh Generasi YZ itu telah membuatku tergagap-gagap. 

Sejujurnya aku bukanlah warga Gen BB yang tuna-digital. Sekurangnya aku punya aplikasi m-banking di ponsel. Bukti aku terbiasa atau sedikitnya bisa melakukan transaksi berbasis digital, termasuk via aplikasi QRIS.

Juga aku tak buta amatlah soal mesin tiket otomatis (ticket vending machine). Aku sudah biasa menggunakannya di bandara dan stasiun kereta api.

Begitu pun dengan pintu tripod turnstile. Itu bukan hal baru untukku. Aku selalu melewati "tiga batang besi berputar" itu setiap kali masuk stasiun-stasiun kereta komuter, mass rapid transportation (MRT), dan bus transjakarta.

Tapi ketika dalam situasi kebelet kencing level 10 mendadak harus berhadapan dengan mesin tiket digital dan pintu otomatis tripod turnstile di depan toilet Mister Loo Pasmod BSD, aku benar-benar menjadi dungu kondisional. 

Aku harus bertanya kepada nona penjaga untuk memastikan bangunan itu benar toilet umum. Sebab prosedur masuknya beda benar dari yang berlaku umum: langsung masuk, kencing, lalu bayar Rp 2,000.

Harus pakai QRIS! Di luar imajinasiku untuk kencing saja harus pakai aplikasi transaksi digital itu. Untung ada solusi menggunakan selembar uang kertas Rp 5,000, walau harus nukar uang Rp 10,000 dulu. 

Bayangkan jika orang yang kebelet kencing adalah perempuan lansia sarungan 80-an tahun yang buta QRIS dan hanya punya uang Rp 2,000. Akan dikemanakan itu air seni. 

Betul, tahun 1960-an di kampungku di Toba sana lazim ibu-ibu trampil kencing berdiri di balik sarungnya. Tapi masa iya cara itu yang akan menjadi pilihan di sebuah lingkungan (pasar) modern?

Suatu tiket digital mengandaikan layanan (jasa) kelas premium, semacam kereta komuter, MRT, dan bus transjakarta. Itu benar untuk kasus toilet Mister Loo Pasmod BSD: dingin, harum, apik, dan resik.

Aku merasa dihargai saat menuntaskan hasrat buang air seni. Maka kusebut itu pengalaman kencing yang bermartabat. 

Tapi lebih dari itu, sebagai gejala sosiologis peristiwa itu penting didokumentasikan. Itu ilustrasi kecil pertemuan dua representasi sub-kultur, Gen BB dan Gen YZ. Keduanya terpisah jauh di dua ujung garis masa namun, kendati diwarnai oleh gagap budaya, pada akhirnya bertemu jua di "toilet digital". 

Jalan mendaki menuju Gua Maria Kerep Ambarawa (Dokumentasi Pribadi)
Jalan mendaki menuju Gua Maria Kerep Ambarawa (Dokumentasi Pribadi)

Perut Buncit

Ikhwal perut buncit kusinggung dalam tulisan "Bunda Maria dan Pecel Yu Jum di Gua Kerep Ambarawa" (Kompasiana, 4/7/2024). Bukan tentang perut orang lain tapi perut sendiri.

Perut buncitku itu bukan buah revolusi melainkan evolusi. Maksudku dia tidak terjadi begitu saja; malam tidur dengan perut six packs, pagi bangun dengan perut single round. 

Perutku membuncit secara perlahan sejak hari pertama perkawinan, berkat pola makan dan pergerakan yang berarturan. Tentu dengan asumsi perkawinan bukan sebuah revolusi dalam pola hubungan lelaki dan perempuan jomlo.

Sebenarnya perut buncitku sejauh ini bukan masalah yang teramat serius. Tak ada soal kecuali celana-celana dan baju-baju semakin banyak yang mendadak undersize. Atau gerakanku tak selincah dulu lagi. Tapi, ya, untuk apa pula seorang lansia lincah. Pecicilan namanya itu.

Lagi pula dalam kultur Batak perut membuncit itu simbol kemakmuran. Banyak duit untuk makan dan minum enak dan berlimpah. Jika si perut buncit masuk ke warung kopi, maka semua orang senang karena berharap ditraktir.

Sampai kemudian pada suatu pagi aku berjalan kaki mendaki ke Gua Maria Kerep di Ambarawa, barulah terasakan perut buncitku sebagai suatu beban berat. Dia menjadi semacam "salib" yang harus kupanggul ke atas bukit. 

Tapi jelas pula aku terlalu nista untuk menganggap perut buncitku sebuah "salib". Lebih tepat, menurut pikiranku, itu semacam "batu beban". 

Jadi kuibaratkan saja diriku sebagai Sisyphus, raja penipu nan licik, yang dihukum Dewa Zeus mengangkut sebongkah batu besar ke atas bukit. Tapi dia dan batunya selalu menggelinding ke bawah sebelum mencapai puncak. Sebuah lakon sia-sia.

Begitupun diriku. Buat apa sebenarnya susah payah membawa sebongkah perut buncit naik ke Gua Maria Kerep kalau toh dia nanti harus dibawa turun lagi. Itu persis seperti seekor ikan buntal yang mondar-mandir tanpa ide di dalam akuarium. Konyol sekali!

Tapi tentu saja itu sebuah pengingat bahwa, bagi seorang lelaki lansia, berperut buncit itu adalah suatu kesia-siaan. Sungguh tak ada yang bisa dibanggakan dengan perut buncit. 

Perut semacam itu jelas bukan sebuah cita-cita sehingga layak dan sepantasnya dikempiskan lewat diet dan olahraga sebelum menjadi sumber dari segala kesukaran dan penyakit.

Tapi manalah aku berpikir seperti itu waktu terengah-engah mendaki ke Gua Maria Kerep. Sebaliknya aku merutuki Gen YZ Ambarawa yang menurutku tidak kreatif. Kenapa sih tak ada satu pun di antara mereka yang terpikir bikin start up penitipan perut buncit di pangkal jalan menuju Gua Maria Kerep? Kalaupun harus bayar pakai QRIS, aku lansia BB ini siaplah!

Yah, tabiat manusia. Selalu berupaya menemukan kebenarannya sendiri pada kesalahan orang lain. Aku banget, tuh.

Wasana Kata

Jika berpikir sesuatu yang layak dibagikan kepada khalayak mestilah cerita hebat, maka kita mungkin tidak akan pernah menganggit dan mengagihkan apapun tentang pengalaman kita kepada orang lain. 

Sebabnya, di atas langit ada langit, sehingga kita mungkin akan terjebak dalam pikiran bahwa "pengalamanku biasa-biasa saja". Atau bila kita menuliskannya, mungkin akan ada teguran pula dari sanubari "Jangan sombong kamu!"

Solusinya menurutku adalah menulis dan membagikan pengalaman-pengalaman konyol kita. Manfaatnya ganda. Sebagai terapi psikis "penertawaan diri" untuk penyadaran demi perbaikan ke depan; sebagai kebajikan mengajak orang lain ikut tertawa demi kesehatan jiwa-raganya; sebagai pelajaran bagi sesama agar terhindar dari kekonyolan serupa.

Jadi jangan pernah mengutuki kekonyolan. Itu semacam karunia juga. Tulis dan bagikan saja dia ke khalayak sebagai kenangan, hiburan, dan pelajaran.

(eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun