Lagi pula jangan mudah terpana oleh angka tanpa menyibak makna di baliknya. Sebab jika ada laki paruh-baya mengaku telah kencing 1,000 kali dalam setahun di tempat yang sama, maka kita perlu curiga dia seorang tawanan istri.
Begitulah, ikhwal pengalamanku kencing satu kali di toilet "Mister Loo" di Pasar Modern Bumi Serpong Damai (Pasmod BSD), Tangerang Banten itu sejatinya lebih pada soal makna. Intinya di balik frasa "kencing yang bermartabat" itu sesungguhnya terkandung makna gagap budaya (cultural shock).
Gagap itu bersumber pada senjang budaya (cultural lag) yang kualami dalam status sebagai warga Generasi Baby Boomers (Gen BB). Inovasi digitalisasi tiket masuk toilet "Mister Loo" oleh Generasi YZ itu telah membuatku tergagap-gagap.Â
Sejujurnya aku bukanlah warga Gen BB yang tuna-digital. Sekurangnya aku punya aplikasi m-banking di ponsel. Bukti aku terbiasa atau sedikitnya bisa melakukan transaksi berbasis digital, termasuk via aplikasi QRIS.
Juga aku tak buta amatlah soal mesin tiket otomatis (ticket vending machine). Aku sudah biasa menggunakannya di bandara dan stasiun kereta api.
Begitu pun dengan pintu tripod turnstile. Itu bukan hal baru untukku. Aku selalu melewati "tiga batang besi berputar" itu setiap kali masuk stasiun-stasiun kereta komuter, mass rapid transportation (MRT), dan bus transjakarta.
Tapi ketika dalam situasi kebelet kencing level 10 mendadak harus berhadapan dengan mesin tiket digital dan pintu otomatis tripod turnstile di depan toilet Mister Loo Pasmod BSD, aku benar-benar menjadi dungu kondisional.Â
Aku harus bertanya kepada nona penjaga untuk memastikan bangunan itu benar toilet umum. Sebab prosedur masuknya beda benar dari yang berlaku umum: langsung masuk, kencing, lalu bayar Rp 2,000.
Harus pakai QRIS! Di luar imajinasiku untuk kencing saja harus pakai aplikasi transaksi digital itu. Untung ada solusi menggunakan selembar uang kertas Rp 5,000, walau harus nukar uang Rp 10,000 dulu.Â
Bayangkan jika orang yang kebelet kencing adalah perempuan lansia sarungan 80-an tahun yang buta QRIS dan hanya punya uang Rp 2,000. Akan dikemanakan itu air seni.Â
Betul, tahun 1960-an di kampungku di Toba sana lazim ibu-ibu trampil kencing berdiri di balik sarungnya. Tapi masa iya cara itu yang akan menjadi pilihan di sebuah lingkungan (pasar) modern?