Suatu tiket digital mengandaikan layanan (jasa) kelas premium, semacam kereta komuter, MRT, dan bus transjakarta. Itu benar untuk kasus toilet Mister Loo Pasmod BSD: dingin, harum, apik, dan resik.
Aku merasa dihargai saat menuntaskan hasrat buang air seni. Maka kusebut itu pengalaman kencing yang bermartabat.Â
Tapi lebih dari itu, sebagai gejala sosiologis peristiwa itu penting didokumentasikan. Itu ilustrasi kecil pertemuan dua representasi sub-kultur, Gen BB dan Gen YZ. Keduanya terpisah jauh di dua ujung garis masa namun, kendati diwarnai oleh gagap budaya, pada akhirnya bertemu jua di "toilet digital".Â
Perut Buncit
Ikhwal perut buncit kusinggung dalam tulisan "Bunda Maria dan Pecel Yu Jum di Gua Kerep Ambarawa" (Kompasiana, 4/7/2024). Bukan tentang perut orang lain tapi perut sendiri.
Perut buncitku itu bukan buah revolusi melainkan evolusi. Maksudku dia tidak terjadi begitu saja; malam tidur dengan perut six packs, pagi bangun dengan perut single round.Â
Perutku membuncit secara perlahan sejak hari pertama perkawinan, berkat pola makan dan pergerakan yang berarturan. Tentu dengan asumsi perkawinan bukan sebuah revolusi dalam pola hubungan lelaki dan perempuan jomlo.
Sebenarnya perut buncitku sejauh ini bukan masalah yang teramat serius. Tak ada soal kecuali celana-celana dan baju-baju semakin banyak yang mendadak undersize. Atau gerakanku tak selincah dulu lagi. Tapi, ya, untuk apa pula seorang lansia lincah. Pecicilan namanya itu.
Lagi pula dalam kultur Batak perut membuncit itu simbol kemakmuran. Banyak duit untuk makan dan minum enak dan berlimpah. Jika si perut buncit masuk ke warung kopi, maka semua orang senang karena berharap ditraktir.
Sampai kemudian pada suatu pagi aku berjalan kaki mendaki ke Gua Maria Kerep di Ambarawa, barulah terasakan perut buncitku sebagai suatu beban berat. Dia menjadi semacam "salib" yang harus kupanggul ke atas bukit.Â
Tapi jelas pula aku terlalu nista untuk menganggap perut buncitku sebuah "salib". Lebih tepat, menurut pikiranku, itu semacam "batu beban".Â