Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pengalaman Kencing yang Bermartabat di Bumi Serpong Damai

24 Juni 2024   06:51 Diperbarui: 24 Juni 2024   17:03 1230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pintu masuk toilet umum Mister Loo di Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang Banten (Dokumentasi Pribadi)

Aku sudah kencing di 22 provinsi Indonesia tapi barulah di Pasar Modern Bumi Serpong Damai untuk pertama kalinya aku mengalami kencing sebagai peristiwa yang bermartabat.

Pasar Modern Bumi Serpong Damai (Pasmod BSD), Tangerang Banten pada hari Minggu, 12 Mei 2024, lepas tengah hari yang masih terik.

Aku duduk gelisah mengatupkan dengkul di bangku sebuah kedai kebab, menunggu pesanan yang sedang disiapkan. Air kemih rasanya sudah tiba di ujung lubang saluran. Satu senggolan ringan di bokong cukuplah untuk membuatnya muncrat.

"Kebelet kencing," sahutku pendek menjawab istri yang mempertanyakan gaya dudukku yang tak lazim.

Aku menggeleng saat istriku menyarankan buang air seni di toilet umum pasar. Ingatanku masih tentang kakus umum di sudut barat laut Pasmod BSD itu suatu hari bertahun-tahun lalu.

Jorok, terlalu jorok bahkan untuk tempat pembuangan air kencing dan tinja. Bau pesing dan busuk menusuk tajam ke rongga hidung. Membuat air seni, yang waktu itu sudah berada di ujung saluran, naik kembali ke kantung kemih.

Andai ada pilihan lain waktu itu, sekalipun itu peluang kencing di balik bak sampah, maka itulah yang akan kupilih. Atau di balik pohon besar, juga di balik semak atau perdu. Itu pernah menjadi keahlianku di momen-momen darurat.

Bahkan ada yang lebih kreatif di situasi maha genting: di balik pintu mobil di bahu jalan tol. Caranya, berhenti di titik sepi, di ruas jalan yang koridornya nihil rumah dan jalan setapak. Buka pintu depan dan belakang pada sisi kiri mobil. Lalu kencinglah di antaranya mengarah ke alam terbuka. Aaah, leganya.

Hei, jangan ketawa. Itu lebih beradab ketimbang sopir truk yang mengencingi roda truknya. Itu mengingatkanku pada seekor Canis lupus familiaris yang rajin benar mengencingi roda mobilku saat parkir di depan rumah seorang kerabat. Bukan apa-apa, aku takut kalau air kencingnya mengandung asam sulfat.

"Ke toilet sana!" Istriku memotivasi, setengah geli separuh kasihan.

Aku tak kuat menahan lagi. Ujung saluran sudah semutan tak terkira. Daripada kencing di celana macam Doyok ketanggor pocong, maka dengan gaya atlit jalan cepat, aku terbirit ke pojok barat-laut pasar.

Interior toilet umum Mister Loo di Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang Banten (Dokumentasi Pribadi) 
Interior toilet umum Mister Loo di Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang Banten (Dokumentasi Pribadi) 

QRIS, AC dan Pewangi

Astaga, apakah ini pintu peron stasiun kereta komuter atau mass rapid transportation (MRT)? Sejenak aku terhenti di depan pintu toilet umum Pasmod BSD. Itu jelas bukan kakus busuk yang kudatangi tempo dulu. 

Di depanku berdiri siap tegak mesin tiket masuk toilet. Di sampingnya terdapat dua pintu tripod turnstile yang akan berputar membuka setelah barcode tiket ditempelkan pada mesin pemindainya.

"Ini toilet umum, ya, mbak?" Aku bertanya ragu, lugu, kepada nona penjaga. Dia menatapku sambil, tampaknya, menahan tawa geli. Sebegitu "rusa-masuk-kampus" agaknya rupaku di matanya.

"Bisa pakai qris, bisa juga pakai uang limaribuan, Pak," jawab nona penjaga itu ramah menjawab pertanyaanku tentang cara masuk toilet.

Aku pilih memasukkan selembar uang lima-ribuan ke mesin tiket. Dengan QRIS, aku punya sedikit trauma. Karena beberapa kali gagal bayar. Mungkin karena aku gagap teknologi. Di saat genting kebelet kencing, kemungkinan gagal bayar macam itu mesti dinolkan.

Betapapun, inovasi QRIS untuk pembayaran tiket masuk toilet, berikut pintu tripod turnstile itu, adalah inovasi keren. Setidaknya dari segi cara masuk, kini toilet umum sudah sekelas dengan stasiun kereta komuter dan MRT.

Tampilan wastafel toilet umum Mister Loo di Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang Banten (Dokumentasi Pribadi)
Tampilan wastafel toilet umum Mister Loo di Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang Banten (Dokumentasi Pribadi)

Setelah melewati pintu digital itu, aku berbelok ke sisi kiri toilet. Itu belahan yang diperuntukkan bagi laki-laki. Entah kenapa pula ruang laki di toilet umum lazim berada di sebelah kiri. Mungkin itu terbawa urutan simbol penandanya: M|W atau P|W.

Seketika terasa semburan hawa sejuk dari perangkat Air Conditioner (AC) yang menempel di dinding. Kontras benar dengan udara twrik dan berdebu di luar. 

Lalu, melengkapi kesejukan itu, aroma harum menyeruak ke lubang hidung dari pewangi yang tepasang di ruang buang air itu. Tak ada lagi itu bau pesing dan busuk seperti yang dulu.

Dalam kesejukan udara wangi, air seni meluncur lancar, menerpa dasar putih kakus, menimbulkan derai butir-butir air berkilauan ditimpa sinar lampu, serupa hamburan butir-butir mutiara kecil.

Sungguh, itu suatu peristiwa kencing yang amat puitis. Rasanya ingin sedikit berlama-lama di situ menikmati puisi dalam lakon kencing itu.

Tidak saja puitis, itu bahkan sebuah pengalaman kecing yang bermartabat. Sepanjang usiaku, aku sudah pernah kencing di beragam tipe kakus umum di berbagai kota, pulau, dan negeri. Tapi baru di toilet umum Pasmod BSD itulah, untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar dimanusiakan.

Intinya di situ penghargaan terhadap martabatku sebagai manusia konsumen. Aku kencing bayar ongkos, tidak gratisan. Karena itu aku berhak atas kenyamanan dan keamanan kencing. 

Itulah yang disajikan dan kunikmati di toilet umum di Pasmod BSD itu. Bagiku kencing di toilet itu menjadi semacam oase, relung healing tipis-tipis dari cekaman panas udara BSD. Atau, untuk sedikit lebay, itu semacam me time yang bersifat random.

Bangunan toilet umum Mister Loo di Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang Banten (Dokumentasi Pribadi)
Bangunan toilet umum Mister Loo di Pasar Modern Bumi Serpong Damai, Tangerang Banten (Dokumentasi Pribadi)

Kencing Itu Sehat, Nikmatilah

"Toilet umum apa ini? Kok ada bau-bau partikelirnya?" Aku bertanya-tanya sambil berbalik melangkah ke arah pintu keluar. 

Di situlah terjawab pertanyaanku. Mister Loo nama perusahaan penyedia jasa toilet umum modern kelas premium itu.

Selidik punya selidik, dia ternyata perusahaan start up spesialis saniter toilet umum dari Swiss. Bekerjasama dengan Toto Indonesia (PT Surya Toto Indonesia Tbk), perusahaan saniter nasional, dan sejumlah pusat perbelanjaan, terminal, dan wisata dia membangun toilet-toilet premiun di berbagai penjuru Jakarta. Bahkan kini juga melebar ke tempat-tempat wisata di sekitar Kaldera Toba. , 

Sambil melangkah kembali ke kedai kebab, aku tersadar bahwa toilet umum itu sejatinya jenis usaha kreatif. Dia muncul sebagai jawaban terhadap kebutuhan setiap orang untuk bersembunyi buang hajat saat berada di ruang publik. Lalu muncullah toilet umum di terminal, pusat perbelanjaan, pasar tradisional, rest area tol, dan tempat-tempat wisata atau rekreasi. 

Timbul sebuah pertanyaan. Mengapa pebisnis start up lokal, khususnya warga millenial dan Gen Z, tidak ada yang berpikir kreatif menciptakan bisnis toilet umum kelas premium? Mengapa harus perusahaan dari Swiss yang perduli tentang kebutuhan warga Indonesia akan kencing yang bermartabat?

Entahlah, atau mungkin itu ada kaitannya dengan orientasi pendidikan di negeri ini. Lulusan sekolah dan kampus kita diformat untuk pintar menjawab pertanyaan. Tapi mereka angkat tangan saat diminta menciptakan jenis bisnis kreatif untuk pemenuhan kebutuhan riil warga.

Soal toilet umum ini konteksnya simpel saja. Sudah menjadi karakter kelas menengah untuk lebih menghargai dirinya. Termasuk dalam urusan buang hajat, seperti buang air seni. Mereka cenderung jijikan dan enggan jika menggunakan toilet umum jorok, sekalipun dorongan buang hajat sudah semacam situasi telur di ujung tanduk.

Mereka tahu, dan mestinya setiap orang juga sadar, kencing itu misalnya adalah peristiwa kesehatan maha penting. Itu adalah penanda metabolisme tubuh masih berjalan normal. Sebab jika seseorang tak lagi bisa buang air kecil, berarti kesehatannya dalam masalah besar.

Karena kencing itu sehat, maka peristiwa itu layak dinikmati secara benar. Harus nyaman, aman, tenang, dan karena itu tuntas. Kencing terburu-buru berisiko tak tuntas. Sisa air kemih akan menimbulkan rasa tak nyaman bahkan bisa mengganggu kesehatan tubuh.

Hal serupa bisa dikatakan tentang kencing penuh perjuangan, mungkin semacam nightmare juga, sambil terpontal-pontal di toilet kereta jarak jauh atau di bus malam transjawa yang kebut-kebutan di jalan tol.

Bahkan kencing di udara, di toilet kelas ekonomi pesawat terbang, juga bukan pengalaman yang nyaman walau sudah bayar sangat mahal. Itu sebabnya penumpang lebih rela menunggu pesawat mendarat, untuk kemudian antre buang hajat di toilet bandara.

Tentu kencing yang bermartabat itu sesuai konteks ruang, waktu, dan budaya juga. Kencing di balik pohon di tempat sepi, atau di kakus cemplung balong, bisa juga menjadi sesuatu yang bermartabat, kecuali di bawah guyuran hujan lebat; martabatmu luntur terbawa aliran kuyub tubuhmu.

Tapi jelas warga perkotaan kini, seiring dengan peningkatan status ekonomi, semakin memerlukan pengalaman kencing yang bermartabat, sesuai dengan gaya hidup (life style) dan simbol statusnya (status symbol). Mereka butuh dihargai atau dimanjakan sampai untuk urusan yang sangat pribadi, semacam urusan kencing di ruang-ruang publik.

Kelas menengah itu rela membayar mahal untuk keamanan, kenyamanan, dan kenikmatan lahir dan batin. Bahkan untuk urusan kencing, mereka menuntut martabat.

Maka sajikanlah saja martabat itu untuk mereka. Sampai ke toilet umum. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun