Sambil melangkah kembali ke kedai kebab, aku tersadar bahwa toilet umum itu sejatinya jenis usaha kreatif. Dia muncul sebagai jawaban terhadap kebutuhan setiap orang untuk bersembunyi buang hajat saat berada di ruang publik. Lalu muncullah toilet umum di terminal, pusat perbelanjaan, pasar tradisional, rest area tol, dan tempat-tempat wisata atau rekreasi.Â
Timbul sebuah pertanyaan. Mengapa pebisnis start up lokal, khususnya warga millenial dan Gen Z, tidak ada yang berpikir kreatif menciptakan bisnis toilet umum kelas premium? Mengapa harus perusahaan dari Swiss yang perduli tentang kebutuhan warga Indonesia akan kencing yang bermartabat?
Entahlah, atau mungkin itu ada kaitannya dengan orientasi pendidikan di negeri ini. Lulusan sekolah dan kampus kita diformat untuk pintar menjawab pertanyaan. Tapi mereka angkat tangan saat diminta menciptakan jenis bisnis kreatif untuk pemenuhan kebutuhan riil warga.
Soal toilet umum ini konteksnya simpel saja. Sudah menjadi karakter kelas menengah untuk lebih menghargai dirinya. Termasuk dalam urusan buang hajat, seperti buang air seni. Mereka cenderung jijikan dan enggan jika menggunakan toilet umum jorok, sekalipun dorongan buang hajat sudah semacam situasi telur di ujung tanduk.
Mereka tahu, dan mestinya setiap orang juga sadar, kencing itu misalnya adalah peristiwa kesehatan maha penting. Itu adalah penanda metabolisme tubuh masih berjalan normal. Sebab jika seseorang tak lagi bisa buang air kecil, berarti kesehatannya dalam masalah besar.
Karena kencing itu sehat, maka peristiwa itu layak dinikmati secara benar. Harus nyaman, aman, tenang, dan karena itu tuntas. Kencing terburu-buru berisiko tak tuntas. Sisa air kemih akan menimbulkan rasa tak nyaman bahkan bisa mengganggu kesehatan tubuh.
Hal serupa bisa dikatakan tentang kencing penuh perjuangan, mungkin semacam nightmare juga, sambil terpontal-pontal di toilet kereta jarak jauh atau di bus malam transjawa yang kebut-kebutan di jalan tol.
Bahkan kencing di udara, di toilet kelas ekonomi pesawat terbang, juga bukan pengalaman yang nyaman walau sudah bayar sangat mahal. Itu sebabnya penumpang lebih rela menunggu pesawat mendarat, untuk kemudian antre buang hajat di toilet bandara.
Tentu kencing yang bermartabat itu sesuai konteks ruang, waktu, dan budaya juga. Kencing di balik pohon di tempat sepi, atau di kakus cemplung balong, bisa juga menjadi sesuatu yang bermartabat, kecuali di bawah guyuran hujan lebat; martabatmu luntur terbawa aliran kuyub tubuhmu.
Tapi jelas warga perkotaan kini, seiring dengan peningkatan status ekonomi, semakin memerlukan pengalaman kencing yang bermartabat, sesuai dengan gaya hidup (life style) dan simbol statusnya (status symbol). Mereka butuh dihargai atau dimanjakan sampai untuk urusan yang sangat pribadi, semacam urusan kencing di ruang-ruang publik.
Kelas menengah itu rela membayar mahal untuk keamanan, kenyamanan, dan kenikmatan lahir dan batin. Bahkan untuk urusan kencing, mereka menuntut martabat.