Dengan cepat bisa dikenali sejumlah kelemahan pada tulisan-tulisan itu. Judulnya tak menggoda rasa ingin tahu; kalimat dan paragraf pertama tak memikat perhatian; kalimat-kalimatnya redundan dan melenceng dari kaidah logika SPOK; miskin pilihan diksi dan gaya bahasa.
Tapi itu kelemahan-kelemahan yang umum, bukan. Tak hanya pada tulisan-tulisan seminaris (1 dan 2 SMA) itu, tapi bahkan pada artikel-artikel yang bertebar luas di media massa daring dan media sosial.Â
Hal itu menimbulkan tanda tanya juga. Sebenarnya apa sih yang diajarkan oleh para guru Bahasa Indonesia 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SMA, dan 1 tahun di PT? Mengapa talenta menulis dalam diri para siswa/mahasiswa tak bisa bangkit?
Aku bertanya begitu sebab bila pelajaran Bahasa Indonesia ditargetkan pada kemampuan menulis, maka kehadiranku di SMCS mungkin bisa untuk keperluan lain yang lebih berguna ketimbang sekadar penguatan literasi.
Tiga Nilai Utama
Aku menghindari berbagi tip dan trik menulis artikel dengan para seminaris. Bukan saja karena resep instan semacam itu berjibun di jagad maya tapi, lebih dari itu, tip dan trik mencegah seseorang menemukan cara khas pribadinya dalam menulis.
Sebab bukankah kemampuan menulis itu talenta spesifik individu dari Tuhan? Bila demikian halnya maka aktualisasi talenta itu dalam wujud tulisan mestinya bersifat khas pula.
Kekhasan pada tulisan itulah yang disebut sebagai signature, pembeda dengan tulisan orang lain. Bisa dikatakan sebagai karakteristik penulis yang diterakan pada tulisannya.
Di atas sudah kusebutkan sejumlah masalah atau kekurangan pada tulisan-tulisan para seminaris. Aku menganggapnya sebagai persoalan teknis. Hal-hal itu pasti akan teratasi dengan sendirinya bila kegiatan menulis itu dialami sebagai proses belajar yang sinambung.
Karena itu, ketimbang mencekoki hal-hal teknis, secara sadar aku memilih untuk mendiskusikan tiga nilai dasar yang harus menjadi acuan dalam menulis. Itulah logika, etika, dan estetika.
Mengapa harus tiga nilai itu? Alasannya sederhana. Sebab tulisan tanpa logika adalah sesat, tanpa etika adalah jahat, dan tapa estetika adalah cacat.