Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menulis Itu Hak Setiap Orang: Catatan Penguatan Literasi Digital di Seminari Siantar

18 Juni 2024   11:21 Diperbarui: 19 Juni 2024   10:30 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para seminaris SMCS Siantar sedang berdiskusi dalam kelompok untuk merancang disain, isi, dan tata-letak E-Magazine (Dokumentasi Pribadi)

Setiap orang harus bisa menulis tapi tidak setiap orang harus menjadi penulis. -Felix Tani

Lantas bagaimana dengan orang yang buta huruf? Seseorang mungkin bertanya begitu. Ah, kalau soal itu, tanyakan dulu kepada pemerintah mengapa di era Internet of Things (IoT) ini masih ada warga buta huruf.

Lupakan saja pertanyaan itu. Sebab aku sedang bercerita tentang sekelompok Generasi Z (Gen Z) yang melek huruf. Lebih dari itu mereka dikenal sebagai warga digital (digital netizen). Mereka sudah bersentuhan dengan internet sejak usia balita.

Bagi Gen Z itu aktivitas menulis -- entah itu fiksi atau non-fiksi, mulai dari sekadar cuitan sampai artikel -- adalah bagian dari literasi digital. Bagi mereka melek digital dengan sendirinya adalah melek huruf. 

Aku, seorang warga Generasi Baby Boomers, selama tiga hari (31 Mei-2 Juni 2024) hadir di tengah sekumpulan warga Gen Z itu. Mereka adalah seminaris, siswa SMA Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS) Pematang Siantar. Jumlahnya 132 orang: 85 orang Grammatika (1 SMA), dan 47 orang Syntaksis (2 SMA). 

Itu suatu kehadiran yang tak mudah. Dalam kerangka penguatan literasi digital, aku bertugas membantu para seminaris menyadari dan mengembangkan potensi menulis pada dirinya.

Bukan menulis sekadar menulis. Semisal menulis dan membagikan ujaran pendek yang cenderung sensaional dan dangkal di media sosial (medsos), semisal di platform X dan Instagram. 

Bukan seperti itu. Ini soal menganggit artikel populer yang bersifat esensial dan relatif mendalam (bernas) tentang sesuatu isu. Lalu mengagihkannya di media sosial atau media massa daring.

Hal tersebut terakhir menjelaskan mengapa penguatan kemampuan menulis masuk ke ranah literasi digital. Tak lain karena kegiatan menulis itu dilakukan di ajang komunikasi digital berbasis internet.

Para seminaris SMCS Pematang Siantar tekun mengikuti kegiatan penguatan literasi digital (Dokumentasi Pribadi)
Para seminaris SMCS Pematang Siantar tekun mengikuti kegiatan penguatan literasi digital (Dokumentasi Pribadi)

Talenta dari Tuhan

Di kalangan Paguyuban Gembala Utama (PGU), komunitas eks-seminari se-Indonesia yang mengutusku ke SMCS Siantar, jelas aku bukan yang terbaik di bidang tulis-menulis. Aku memang terbiasa lalu bisa menulis. Namun itu tak berarti aku seorang penulis seperti rekan-rekan jurnalis dan pengarang.

Tapi itu mungkin justru bagus. Kemampuanku menulis jadinya tak jauh-jauh amat di atas para seminaris Gen Z itu. Sehingga mereka berani memotivasi diri: "Kalau cuma macam tulisan Felix Tani, aku juga bisalah." Itu motif yang bagus, bukan?

Fakta bahwa aku warga Baby Boomers dan mereka Gen Z mestinya tak membuat perbedaan signifikan dalam pengalaman dan pengetahuan, modal utama penulisan.

Berkat jaringan internet, Gen Z itu sudah bisa meringkas ruang dan waktu dengan modal ponselnya. Tempat-tempat yang dulu kukunjungi, kini bisa mereka jelajahi sambil rebahan di bawah pohon. Buku-buku yang dulu kubaca, kini bisa mereka baca setiap saat dalam format e-book.

Berpikir seperti itu maka, pada kesempatan pertama bicara, aku tinggal meyakinkan para seminaris itu bahwa kemampuan menulis itu adalah talenta dari Tuhan untuk setiap orang. 

Tuhan itu Maha Adil maka setiap orang diberi talenta yang berbeda-beda. (Matius 25: 14-30). Demikian pun dengan talenta menulis. Sebesar atau sekecil apapun itu, setiap orang wajib mensyukuri dan mempertanggung-jawabkannya. Caranya sederhana: menulis, menulis, dan menulislah.

Dengan menyebut frasa "talenta dari Tuhan", aku bermaksud membangunkan kesadaran yang tidur di alam pikir para seminaris itu. Kesadaran bahwa setiap orang harus bisa menulis, walau tak setiap orang harus menjadi penulis. Serta kesadaran bahwa menulis itu adalah hak individu yang diberikan Tuhan secara langsung.

Untuk lebih meyakinkan, lima hari sebelum kegiatan penguatan, aku sudah minta setiap seminaris menuliskan refleksi atas panggilannya masuk seminaris. Dari 132 tulisan, 30 judul telah dipilih secara acak dan dikirimkan via WA untuk kubaca.

Fakta adanya 132 tulisan sudah cukup sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa para seminaris itu berani dan mampu menyampaikan pikiran reflektifnya secara tertulis.

Itu modal dasar terpenting. Kemampuan menulis dalam diri seseorang hanya mungkin bekembang apabila dia berani mulai menulis. Terlepas dari macam apapun hasilnya.

Tak ada yang sempurna di awal bahkan juga di akhir, kecuali Tuhan sebagai Alpha dan Omega. Begitupun dengan tulisan-tulisan refleksi pangilan para seminaris itu.

Dengan cepat bisa dikenali sejumlah kelemahan pada tulisan-tulisan itu. Judulnya tak menggoda rasa ingin tahu; kalimat dan paragraf pertama tak memikat perhatian; kalimat-kalimatnya redundan dan melenceng dari kaidah logika SPOK; miskin pilihan diksi dan gaya bahasa.

Tapi itu kelemahan-kelemahan yang umum, bukan. Tak hanya pada tulisan-tulisan seminaris (1 dan 2 SMA) itu, tapi bahkan pada artikel-artikel yang bertebar luas di media massa daring dan media sosial. 

Hal itu menimbulkan tanda tanya juga. Sebenarnya apa sih yang diajarkan oleh para guru Bahasa Indonesia 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SMA, dan 1 tahun di PT? Mengapa talenta menulis dalam diri para siswa/mahasiswa tak bisa bangkit?

Aku bertanya begitu sebab bila pelajaran Bahasa Indonesia ditargetkan pada kemampuan menulis, maka kehadiranku di SMCS mungkin bisa untuk keperluan lain yang lebih berguna ketimbang sekadar penguatan literasi.

Para seminaris SMCS menyimak paparan Damar Juniarto tentang website. Mereka ditargetkan membangun e-magazine sebagai wahana kegiatan menulis (Dokumentasi Pribadi)
Para seminaris SMCS menyimak paparan Damar Juniarto tentang website. Mereka ditargetkan membangun e-magazine sebagai wahana kegiatan menulis (Dokumentasi Pribadi)

Tiga Nilai Utama

Aku menghindari berbagi tip dan trik menulis artikel dengan para seminaris. Bukan saja karena resep instan semacam itu berjibun di jagad maya tapi, lebih dari itu, tip dan trik mencegah seseorang menemukan cara khas pribadinya dalam menulis.

Sebab bukankah kemampuan menulis itu talenta spesifik individu dari Tuhan? Bila demikian halnya maka aktualisasi talenta itu dalam wujud tulisan mestinya bersifat khas pula.

Kekhasan pada tulisan itulah yang disebut sebagai signature, pembeda dengan tulisan orang lain. Bisa dikatakan sebagai karakteristik penulis yang diterakan pada tulisannya.

Di atas sudah kusebutkan sejumlah masalah atau kekurangan pada tulisan-tulisan para seminaris. Aku menganggapnya sebagai persoalan teknis. Hal-hal itu pasti akan teratasi dengan sendirinya bila kegiatan menulis itu dialami sebagai proses belajar yang sinambung.

Karena itu, ketimbang mencekoki hal-hal teknis, secara sadar aku memilih untuk mendiskusikan tiga nilai dasar yang harus menjadi acuan dalam menulis. Itulah logika, etika, dan estetika.

Mengapa harus tiga nilai itu? Alasannya sederhana. Sebab tulisan tanpa logika adalah sesat, tanpa etika adalah jahat, dan tapa estetika adalah cacat.

Nilai logika mesti terbaca pada kalimat-kalimat dan paragraf-paragraf yang membentuk sebuah tulisan. Sebab kalimat adalah rangkaian kata yang membentuk makna. Paragraf adalah rangkaian kalimat yang membentuk penjelasan konsisten tentang satu ide kecil. Lalu tulisan adalah rangkaian paragraf yang membangun narasi sistenatis dan masuk akal tentang suatu isu pokok. 

Satu dari sekian banyak cara untuk memastikan nilai logika pada tulisan adalah ketersediaan data pendukung. Entah itu data primer atau sekunder, kualitatif atapun kuantitatif. Sebab tanpa dasar data (ataupun fakta), sebuah tulisan berisiko jatuh menjadi omong kosong, kalau bukan bohong.

Tapi logika saja tak cukup. Suatu tulisan juga harus etis. Dasarnya kemampuan menulis itu adalah talenta dari Tuhan. Sesuatu yang berasal dari Tuhan baik adanya (Yakobus 1:17). Karena itu setiap orang punya kewajiban moral menggunakannya untuk kebaikan bagi sesama (bonum commune).

Menulis janganlah menjadi tindak kejahatan kepada sesama manusia dan dunia. Gamblangnya, menulisa dan tulisan mesti bersih dari motif-motif rasisme, diskriminasi, penistaan, penindasan, fitnah, dan hoaks. 

Juga, sebuah tulisan harus bersih dari unsur plagiat, kejahatan pencurian hak cipta penulis lain. Menulis sebagai laku berbagi kebaikan, mesti dilakukan dengan cara yang baik juga.

Tak hanya dengan cara yang baik, tapi sedapat mungkin juga secara indah. Di sini nilai estetika dikedepankan.

Estetika, dari segi kebahasaan, tentu menyangkut tata bahasa, atau khususnya pilihan diksi dan gaya bahasa. Itu hal-hal yang bisa dipelajari dalam proses menulis, menulis, dan menulis.

Penekanannya adalah pada sisi estetika eksistensi ala Foucault. Bahwa membagikan yang terindah dari diri kita pada sesama, bermakna penghargaan pada diri sendiri juga. Tulisan adalah sesuatu yang indah, cermin karakter, yang layak dibagiksn pada orang lain. 

Demikianlah, dapat diringkaskan, sebuah tulisan haruslah memuat argumen-argumen logis (berbasis data), menebar kebaikan untuk sesama (bonum commune), dan mencerminkan keindahan diri sebagai umat Tuhan (estetika ekstinsensi). 

Salah satu rancangan sampul e-magazine buatan para seminaris SMCS saat penguatan literasi digital (Dokumentasi Pribadi)
Salah satu rancangan sampul e-magazine buatan para seminaris SMCS saat penguatan literasi digital (Dokumentasi Pribadi)

Tulis, Tulis, dan Tulislah

Saat berdiskusi dengan seminaris Gen Z di SMCS itu, aku bertanya kepada mereka apakah membaca kisah-kisah anggitan H.C. Andersen dan Karl May? Tak ada yang angkat telunjuk, semua melongo. 

Ya Tuhan, untuk pertama kalinya aku merasa diriku semacam fosil dari era Kitab Perjanjian Lama yang terlempar ke tengah sekelompok Gen Z. Atau mungkin para seminaris itu melihatku seperti mummi yang meracau kacau sambil mondar-mandir di aula mereka.

Mendadak aku tersadar sedang berhadapan dengan suatu Generasi pembaca chats and threads, penonton YouTube dan TikTok. Generasi dengan pola pikir algoritmik, yang percaya bisa bikin apa saja, termasuk tulisan, dengan bantuan aplikasi"Akal Instan" alias Artificial Intelligence (AI).

Kehadiranku di tengah seminaris itu sejatinya memang untuk mengajak mereka menulis dari kedalaman hati. Dengan begitu mereka akan menghasilkan tulisan yang otentik, reflektif, dan bermakna (voice not noise).

Sebagai calon pastor, dalam pandanganku, mereka memerlukan itu bila kelak dipilih Tuhan menjadi imam. Mereka harus membagikan sesuatu yang asli, mendalam, dan sarat makna kepada umatnya, antara lain lewat tulisan.

Tentu aku secara sadar telah menghindar untuk membayangkan format Gereja masa depan. Dengan kemajuan teknilogi informasi dan komunikasi, khususnya AI, sangat mungkin gereja akan bersifat individual dalam ponsel di genggaman, dengan pastor-pastor AI tampan dan cerdas, yang bisa diminta berkotbah sesuai selera, suasana hati, dan keinginan umat individual. 

"Baiklah," kataku pada akhirnya, "kalian menulislah menurut caramu sendiri. Itu talentamu, hak langsung dari Tuhan. Kalian boleh pakai cara apa saja. Tapi jangan pernah keluar dari koridor tiga nilai ini. Logika, etika, dan estetika."

"Ingat," lanjutku setelah jeda sejenak, "aku tak minta kalian menjadi penulis, hanya berharap kalian semua bisa dan terbiasa menulis."

Aku berkata demikian sambil membayangkan Roh Kudus turun dalam rupa lidah-lidah api di atas kepala para seminaris yang selalu tampil bersemangat itu. 

Bayangan atau mungkin khayalku itu berangkat dari keyakinan bahwa apa yang dilakukan dengan "iman, harapan, dan kasih" (1 Korintus 13:13) pada akhirnya akan menghasilkan kebaikan. Harapanku kepada para seminaris itu sederhana saja. Dengan terang Roh Kudus, biarlah mereka setia menulis, menulis, dan menulis dari lubuk hati terdalam.

Juga, saat mereka menulis, jangan pernah melupakan tiga nilai yang dinasihatkan si fosil tua ini: logika, etika, dan estetika. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun