Tentu saja tidak demikian adanya. Di balik keindahan Bonandolok yang menakjubkan itu, tersembunyi juga setumpuk masalah sosial-ekonomi. Semisal kemiskinan dan ketersisihan pada sebagian warga, perselisihan soal tanah, keterbatasan akses sosionomi, dan persaingan kuasa yang menorehkan luka dan duka.
Di sebelah selatan lembah Bonandolok ada sebuah ceruk kampung bernama Sampuran. Ceruk itu terisolir. Setiap hari anak-anak Sampuran harusbolak-balik mendayung sampan ke Bonandolok untuk bersekolah.Â
Di mata pelancong, anak-anak bersampan itu terlihat indah. Tapi tidak bagi anak-anak ceria itu. Bagi mereka itu adalah derita, buah dari kemiskinan akses transportasi umum.
Tapi masalah-masalah warga Bonandolok tentu saja bukan urusan para pelancong. Mereka datang ke sana untuk mencecap keindahan, keheningan, dan kedamaian yang disajikan alam lembah iru.
Dari sisi itu, Bonandolok mungkin punya kesejajaran dengan Shangri-La yang utopis itu. Di Bonandolok waktu seakan berhenti berlari bagi para pelancong. Mereka seakan masuk ke suatu alam mistis, di mana waktu terasa terlalu singkat, padahal matahari telah terbit dan terbenam tiga kali.Â
Lupa waktu. Begitulah cara keindahan dan serenitas Bonandolok memanjangkan umur para pelancong. Menjadikan mereka merasa awet muda.Â
Mungkinkah itu sihir Bonandolok? Entahlah, buktikan saja sendiri.Â
Pergilah ke sana, walau itu akan membuatmu enggan pulang. [eFTe]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H