Karena dianggap tempat sakral, warga setempat menggunakan lokasi air terjun itu sebagai tempat berdoa kepada roh leluhur. Di pinggir dasar air terjun Sitapigagan dibangun sebuah joro, pondok doa khas religi asli Batak.
Ada saja orang yang datang ke situ untuk berdoa, menyampaikan permohonan kepada roh leluhurnya. Dalam religi asli Batak, roh leluhur dipercaya dapat memberi rahmat kesehatan, keselamatan, dan kemakmuran bagi keturunannya.
Jika berkunjung ke joro itu, atau satu joro lain agak ke hilirnya, dan melihat daun sirih dan jeruk purut terletak di atas batu, maka itu tandanya ada warga yang baru berdoa kepada roh leluhurnya di situ.
Bukan hanya penganut agama asli, penganut agama Kristiani juga ada yang berdoa di joro itu. Sebagaimana umumnya di Tanah Batak, ada semacam dualisme kepercayaan di Bonandolok. Warga percaya kepada Allah Tritunggal Maha Kudus dan mengakui sahala, kuasa roh leluhur sekaligus.Â
Tegaknya joro di bawah air terjun dan gereja HKBP di hilirnya, di tepi sungai, mencerminkan dualisme itu. Sebuah dualusme yang telah dipelihara lebh dari separo abad.
Sakralisasi air terjun itu bukan tanpa maksud. Di satu sisi sakralisasi mengikat komunitas atas dasar kepentingan sada homban, satu sumber air. Ini mennjadi dasar integrasi sosial komunitas.
Lalu di lain sisi, sakralisasi itu juga berimplikasi aksi pelestarian sumber air. Mulai dari mata air di hulu, hutan di daerah aliran sungai, air terjun, sampai badan sungai Sitapigagan yang mengalir ke danau. Air sungai itu adalah sumber irigasi bagi persawahan, sandaran utama ekonomi Bonandolok.
Bahkan ihan, ikan Batak (Neolissochilus thienemanni) yang terdapat di sungai Sitapigagan juga dilestarikan. Hanya boleh ditangkap untuk keperluan pengobatan. Itupun harus didahului upacara mohon izin kepada roh penunggu lubuk tempat ikan itu berada.
Waktu Berhenti Berlari
Apakah Bonandolok sungguh semacam Shangri-La yang hilang? Tempat warga hidup damai, bahagia, dan panjang umur?