Tapi kini tidak lagi. "Shangri-La" Kaldera Toba ini tak mungkin lagi menghindar dari pandangan mataku.
Sebuah Desa Tua
Bonandolok itu sebuah desa tua. Dia termasuk desa mula-mula komunitas Batak di lembah-lembah lingkar kaki Gunung Pusukbuhit, gunung sakral orang Batak.
Umur desa itu mungkin bisa diduga dari sejarah leluhur dua marga utama di sana. Marga Sagala dari belahan Tateabulan dan Siboro dari belahan Isumbaon atau Sumba.Â
Jika Sagala yang pertama membuka kampung di situ, maka usia Bonandolok mungkin sudah sekitar 800 tahun. Itu dengan asumsi eksistensi orang Batak sudah 1,000 tahun dan jarak per generasi adalah 25 tahun.Â
Sagalaraja adalah generasi ke-3 orang Batak. Keturunannya diasumsikan bermigrasi dari lembah Sianjurmula-mula ke Bonandolok pada abad ke 13, atau sekitar 800 tahun lalu.
Tapi jika Siboro yang lebih dulu bermukim di sana, maka usia desa itu mungkin baru sekitar 500-an tahun lalu. Siboro itu generasi ke-13 orang Batak, atau baru lahir sekitar abad ke-14 atau tahun 1300-an. Pertama marga Siboro bermukim di Desa Siboro. Keturunannya kemudian bermigrasi ke Bonandolok, mungkin sekitar akhir abad ke-15 atau atau awal abad ke-16.
Siapapun yang lebih dulu bermukim di sana, Sagala ataukah Siboro, hal itu tak mengingkari fakta Bonandolok sebagai desa tua. Cikal-bakal desa itu termasuk dalam bilangan kampung-kampung pertama orang Batak yang berdiri di lembah-lembah lingkar kaki Pusukbuhit.
Satu hal yang menarik, setelah melalui proses migrasi komunitas-komunitas Batak di masa lalu, Bonandolok kini dihuni warga dari dua belahan (moiety) Batak, Tateabulan dan Sumba. Bonandolok adalah titik temu antara "timur" (wilayah Sumba) dan "barat" (wilayah Tateabulan) Pusukbuhit.
Kedua belahan Batak itu hidup serasi di sana. Bukan baru seabad lalu. Tapi sekurangnya sejak lima abad lalu.