Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ihan Batak, Ikan Raja yang Nyaris Punah di Kaldera Toba

4 Maret 2024   18:55 Diperbarui: 6 Maret 2024   09:21 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Profil ihan atau ikan Batak (Foto: http://sisinbe.kkp.go via pertanianku.com)

Aku teringat suatu adegan dalam kisah Sipisosomalim yang dipanggungkan kelompok Opera Batak tahun 1960-an. Sipisoaomalim, raja sebuah kampung di Uluan Toba, terbaring sakit. Telah berhari-hari dia seperti itu. Seorang dukun kemudian memeriksa penyakitnya.

Kata dukun itu, "Raja kita tarhirim. Ingin makan sesuatu tapi lupa mengatakan. Itulah ihan Batak sepanjang telapak tangan." 

Tarhirim, suatu terminologi kesehatan Batak, adalah kondisi sakit fisik karena gagal memenuhi keinginan tertentu, lazimnya soal makanan. Gejalanya macam-macam, spesifik individu. Bisa lemah fisik, bengkak tenggorokan, bengkak di area mata, dan lain-lain. Upaya pengobatan ke dokter tidak akan menyembuhkan. Hanya penggenapan faktor penyebab tarhirim yang bisa membuatnya sembuh.

Begitulah, setelah Raja Sipisosomalim diberi makan ihan Batak natinombur -- resep ikan bakar dengan bumbu sambal andaliman -- penyakitnya langsung sirna. Dia otomatis sehat walafiat lagi.

Apakah khasiat ihan Batak itu faktual atau hanya efek plasebo? Entahlah. Tapi umumnya orang Batak yakin ihan punya khasiat penyembuhan penyakit lahir-batin.

Aku pernah mengalaminya waktu kanak-kanak tahun 1960-an di Panatapan (pseudonim), Uluan. Setelah demam selama beberapa hari, pada hari Sabtu aku dibawa nenekku berobat ke mantri kesehatan di Onan Tigaraja, Parapat. Sekalian nenekku membeli seekor ihan seukuran telapak tangan. Pulang dari Tigaraja, ihan dibakar bumbu tombur, jadi lauk makan siangku. Sore harinya demamku hilang.

Pikiran kanak-kanakku mengatakan, aku sembuh berkat makan tombur ihan. Itu kemudian menjadi keyakinanku.

Keyakinan yang membuatku menertawakan diri, ketika kemudian mencoba meyakinkan guruku Prof. Sajogyo -- Sosiolog Pedesaan IPB, Bapak Garis Kemiskinan Indonesia -- bahwa ihan itu berkhasiat dan paling enak dari segala jenis ikan.

Pada suatu hari tahun 1992, saya mengundang Prof. Sajogyo dan Prof. Pudjiwati Sajogyo, istrinya, makan siang di rumah orangtuaku di Panatapan. Waktu itu kami sedang riset desentralisasi pemerintahan di Tapanuli Utara. Kepada beliau berdua, aku minta ibuku menyajikan ihan bakar dengan bumbu tombur.

"Kusus ikan bakarnya, benar-benar sangat istimewa," puji Prof. Sajogyo seusai makan, sambil mengacungkan dua jempol tangan.

"Kubilang juga apa, Prof," sorakku dalam hati. Tak sia-sia rasanya mempromosikan ihan kepada guruku itu.

Aku pikir, semua orang Batak (Toba) yang lahir dan tumbuh di Tanah Batak punya pemikiran yang kurang-lebih serupa denganku. Bahwa ihan itu jenis ikan yang paling istmewa dalam budaya masyarakat Batak. Bukan saja rasanya paling enak dari semua jenis ikan. Dia juga punya khasiat untuk penyembuhan sakit lahiriah dan rohaniah.

Ihan yang ditempatkan sebagai "ikan raja", ditinggikan harkatnya, dalam budaya Batak Toba. Ironisnya ikan tersebut kini terancam punah di Kaldera Toba. Menjadi pertanyaan, jika nilai ikan itu begitu tinggi dalam budaya Batak, lalu mengapa nasibnya kini mengenaskan seperti itu? Lantas bagaimana pula solusinya?

Ihan atau ikan Batak (Neolissochillus thienemanni) dalam perbandingan dengan ikan-ikan dari genus Tor. Mirip tapi tak sama (Foto: endi setiadi kartamihardja/teobisaqua.com)
Ihan atau ikan Batak (Neolissochillus thienemanni) dalam perbandingan dengan ikan-ikan dari genus Tor. Mirip tapi tak sama (Foto: endi setiadi kartamihardja/teobisaqua.com)

Ihan: Ikan Endemik Kaldera Toba

Ihan atau ikan Batak (Neolissochilus thienemanni, Ahl., 1933) itu endemik Danau Kaldera Toba dan sungai-sungai yang bermuara ke sana. Dia satu keluarga (Cyprinidae) dengan ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan semah (Tor spp). Ikan semah dikenal juga dengan nama lokal dengke (ikan) jurung-jurung (Batak)kancra (Sunda) atau tambra (Jawa). 

Sepintas ihan tampak serupa dengan jurung-jurung. Tapi keduanya adalah ikan yang berbeda genus dan spesiesnya. Ihan itu berbadan pipih memanjang dan sisiknya berwarna keperakan dalam usia 6 bulan. Punggungnya cekung dan terdapat 10 sisik di depan sirip punggung. Pada gurat sisi terdapat 26 sisik. Sisik-sisik itu akan berwarna kuning kehijauan sesuai petambahan usia dan ukuran. [1]

Habitat ihan adalah air sungai yang jernih dan mengalir deras dari pegunungan, atau dasar danau bersih berarus deras. Suhu air idealnya 16-26 derajad Celsius. Aslinya itu adalah kualitas air di Kaldera Toba.

Aku punya pengalaman mengenal habitat asli ihan Batak. Kampungku, Panatapan, berada di hulu sebuah sungai yang bermuara di pantai Sionggang, sisi timur danau Kaldera Toba. Tahun 1960-an aku dan teman-teman punya kebiasaan memancing ikan atau memasang bubu di sungai itu. Kalau sangat beruntung, ada kalanya seorang di antara kami berhasil mendapatkan seekor ihan kecil. Itu kami anggap sebuah karunia.

Ihan bisa ditemukan di hulu sungai karena jenis ikan ini naik ke hulu untuk bertelur. Perilakunya seperti ikan salmon. Itu sebabnya ihan yang tertangkap di hulu sungai umumnya ukuran kecil atau anakan.

Tahun 1970-an akhir, saat SMA di Porsea, aku dan beberapa kawan punya kebiasaan berdiri di pinggir jembatan Porsea, memandangi aliran sungai Asahan yang jernih. Kerap kali kulihat di dasar sungai itu serombongan ihan mudur-udur, berenang dalam kawanan menentang arus.

Sekarang ihan di Kaldera Toba sudah sangat langka. Karena itu Kementerian Kelautan dan Perikanan RI menetapkannya sebagai spesies yang dilindungi penuh (Kepmen KKP No. 1/2021).

Keputusan itu merespon laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN, 2020) yang memasukkan ihan ke dalam Red List Status of Threatened Species dengan klasifikasi terancam punah (endangered). Lebih buruk dibanding tahun 1996, saat diklasifikasikan rawan punah (vulnerable).

Fakta memburuknya status ihan dalam Red List menunjuk pada gejala pertumbuhan negatif populasi ikan itu. Jika kondisi itu dibiarkan demikian terus maka, dalam belasan tahun ke depan, populasi ihan bisa kritis (critically endangered) atau bahkan punah dari habitat aslinya (extinc in the wild).

Jika hal itu terjadi, maka salah satu kekayaan biologis (hayati) khas Kaldera Toba hilang. Ihan, ikan kebanggaan orang Batak itu, hanya akan dikenal generasi mendatang dalam rupa narasi.

Hasil tangkapan ihan di danau Kaldera Toba (Foto: TOBA INFO/indonesia.go.id)
Hasil tangkapan ihan di danau Kaldera Toba (Foto: TOBA INFO/indonesia.go.id)

Ihan, Ikan Adat Batak Sejati

Di masa lalu ihan adalah jenis ikan adat, yaitu ikan yang dugunakan untuk keperluan adat dan atau ritual keagamaan asli. Jika tak berhasil menangkapnya, maka penggantinya adalah ikan pora-pora (wader, Barbodes binotatus). Sama-sama keluarga Cyprinidae, ukuran pora-pora jauh lebih kecil dibanding ihan. Di dalam air pora-pora sekilas terlihat seperti anakan ihan.

Dua spesies ikan itu, ihan dan pora-pora, memenuhi kriteria dengke simudur-udur, ikan yang senantiasa bergerak beriringan dalam hidupnya. Jika ikan itu diberikan hula-hula (pemberi istri) kepada boru (penerima istri), maka itu simbol doa dan berkat agar boru hidup seiring sekata.

Ihan, seperti disinggung tadi, terbilang sebagai "ikan raja" dengan nilai sosial, budaya, dan ekonomi paling tinggi dalam masyarakat Batak Toba. Nilai penting ikan itu tercermin dari nama “ihan” yang disematkan padanya. “Ihan” adalah ikan Batak. Ikan lainnya disebut “dengke” (ikan).

Secara sosio-antropologis, posisi ihan memang ditinggikan fungsinya dalam budaya Batak.

Pertama, ihan diposisikan sebagai hidangan raja. Maksudnya hidangan untuk raja huta, raja kampung dalam konteks struktur pemukiman asli Batak. 

Kedua, ihan diposisikan sebagai sajian utama upa-upa, permohonan berkat kepada Mulajadi Nabolon. Dalam upacara adat perkawinan pihak hula-hula (pemberi istri) menyajikan arsik ihan kepada boru (penerima istri). Pemberian itu disertai doa agar boru hidup seiring sejalan, seperti dengke simudur-udur. Sehingga hidupnya bisa mencapai kualitas hamoraon (kekayaan), hagabeon (banyak keturunan), dan hasangapon (kemuliaan).

Upa-upa serupa juga dilakukan hula-hula kepada boru-nya yang baru luput dari musibah. Intensinya paulak tondi, mengembalikan roh (yang sempat "terbang") ke dalam tubuh, sehingga semangat hidupnya pulih kembali.

Hal semacam itu juga lazim dilakukan orang tua terhadap anaknya yang sakit. Anak diberi seekor ihan natinombur, dibakar dengan bumbu tombur (andaliman, kemiri bakar, cabai, garam, bawang merah dan putih, kecombrang, jeruk nipis). Setelah memakannya, anak yang sakit biasanya sembuh. Aku pernah mengalaminya.

Sebegitu pentingnya peran ihan dalam adat Batak, sehingga jumlah permintaannya sangat tinggi. Di lain sisi pasokan ihan sangat terbatas, sehingga harga pasarnya membubung. Tergantung ukurannya, harganya berkisar ratusan ribu sampai jutaan rupiah per ekor.

Harga tinggi itu memicu penangkapan ihan secara gila-gilaan. Warga menangkapnya dengan cara-cara anti-pelestarian, antara lain menggunakan racun tuba dan setrum. Cara ini membunuh juga anakan ihan yang belum layak konsumsi -- ukuran di bawah 15 cm.

Di lain sisi, pada saat bersamaan, pertumbuhan populasi ihan juga merosot akibat kerusakan habitatnya.

Penebangan hutan, pencemaran air sungai dan danau oleh limbah pertanian, perikanan, rumahtangga, pasar, dan industri, dan pemanasan global telah mengotori, menyrunkan kadar oksiken, dan menaikkan suhu badan air sungai dan danau.

Ditambah lagi dengan cekaman spesies ikan ekspansif baru di danau, seperti mujair, nila, dan ikan setan merah. Itu semua menekan perkembang-biakan ihan.

Kelangkaan ihan itu mendorong orang Batak beralih ke jenis ikan lain yaitu jurung-jurung (Tor spp) sebagai ikan adat. Tapi ketersedian jurung-jurung juga semakin terbatas. Hal itu akhirnya mendorong penggunaan ikan mas sebagai ikan adat.

Sungai Sitapigagan di Desa Bonandolok, Sianjurmula-mula, Samosir. Habitat ideal ihan untuk konservasi in situ (Foto: YouTube Samosir Vision)
Sungai Sitapigagan di Desa Bonandolok, Sianjurmula-mula, Samosir. Habitat ideal ihan untuk konservasi in situ (Foto: YouTube Samosir Vision)
Urgensi Konservasi Ihan

Orang Batak di Kaldera Toba kini mengeluh ihan langka dan mahal. Tapi kebanyakan hanya mengeluh dan menyesali saja. Sambil menyalahkan berbagai pihak atas keadaan itu. Lupa memeriksa diri sendiri.

Jika merujuk status "terancam punah" ihan dari IUCN (2020), sebenarnya tidak ada pilihan sekarang kecuali mengambil langkah konservasi secara spartan.

Untuk itu empat langkah berikut selayaknya dipertimbangkan.

Pertama, yang paling mendesak, moratorium penangkapan ihan sampai batas waktu tertentu -- sampai tercapai resiliensi populasi ihan -- di Kaldera Toba. Moratorium ini harus menjadi kesepakatan antara pemerintah, masyarakat adat, dan pengusaha perikanan tangkap setempat. 

Kedua, penetapan ihan (Neolissochilus thienemanni) sebagai “Ikan Adat Batak” yang harus dikelola pelestariannya menurut hukum adat. Implikasinya, masyarakat adat lokal harus merumuskan aturan penangkapan ihan berkelanjutan. Ini menyangkut teknik, waktu, lokasi, dan ukuran ihan laik tangkap. Juga aturan pemulihan dan pelestarisn habitat ihan. Serta sanksi adat atas pelanggaran aturan-aturan itu.

Ketiga, penggalakan budidaya ikan jurung-jurung (Tor spp) sebagai substitusi ihan untuk keperluan adat, pengobatan, dan ritual. Ikan jurung-jurung lebih memungkinkan dibudidayakan karena syarat habitatnya tidak seketat ihan. Beberapa petani sudah melakukan budidaya jurung-jurung di Humbahas dan Dairi.

Keempat, mengembangkan konservasi in situ ihan di habitat aslinya. Habitat ihan adalah sungai dan danau yang jernih (bersih) dan dingin (16-26°C) serta berarus deras di pegunungan. Sekar Larashati, Doktor Limnologi dan Sumberdaya Air dari BRIN mengidentifikasi desa Bonandolok, Sianjurmula-mula, Samosir sebagai lokasi yang ideal. [2]

Sungai Sitapigagan yang mengalir di desa itu cocok untuk konservasi ihan. Ekosistemnya masih terjaga. Arus sungai deras, airnya bersih, bantaran penuh pepohonan sumber pakan, dan di hulu masih ada hutan yang menjamin keajegan debit air.

Tambahan di Desa Bonandolok terdapat aturan adat untuk penangkapan ihan. Jenis ikan itu hanya boleh ditangkap untuk keperluan pengobatan. Penangkapannya pun harus didahului dengan ritual mohon ijin di lokasi ihan itu akan ditangkap. 

Satu hal yang pasti, langkah-langkah konservasi ihan tersebut jelas tak mudah. Tapi juga tak mustahil. Tambahan, penting untuk berkomitmen menegakkan tanggungjawab terhadap lingkungan. 

Tegasnya pemanenan ihan, ikan Batak atau "ikan raja" oleh orang Batak harus diimbangi dengan upaya keras menjaga kelestariannya. Atau ihan itu akan lenyap selamanya dari ekologi budaya Batak di Kaldera Toba? [EFTe]

Catatan Kaki:
[1] "Melindungi Warisan Ikan Batak: Perjuangan Konservasi di Danau Toba", tabloidsinartani.com, 31 Agustus 2023.

[2] "Menolak Ikan Batak Punah, Apa yang Perlu Dilakukan?", mongabay.co.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun