Hal semacam itu juga lazim dilakukan orang tua terhadap anaknya yang sakit. Anak diberi seekor ihan natinombur, dibakar dengan bumbu tombur (andaliman, kemiri bakar, cabai, garam, bawang merah dan putih, kecombrang, jeruk nipis). Setelah memakannya, anak yang sakit biasanya sembuh. Aku pernah mengalaminya.
Sebegitu pentingnya peran ihan dalam adat Batak, sehingga jumlah permintaannya sangat tinggi. Di lain sisi pasokan ihan sangat terbatas, sehingga harga pasarnya membubung. Tergantung ukurannya, harganya berkisar ratusan ribu sampai jutaan rupiah per ekor.
Harga tinggi itu memicu penangkapan ihan secara gila-gilaan. Warga menangkapnya dengan cara-cara anti-pelestarian, antara lain menggunakan racun tuba dan setrum. Cara ini membunuh juga anakan ihan yang belum layak konsumsi -- ukuran di bawah 15 cm.
Di lain sisi, pada saat bersamaan, pertumbuhan populasi ihan juga merosot akibat kerusakan habitatnya.
Penebangan hutan, pencemaran air sungai dan danau oleh limbah pertanian, perikanan, rumahtangga, pasar, dan industri, dan pemanasan global telah mengotori, menyrunkan kadar oksiken, dan menaikkan suhu badan air sungai dan danau.
Ditambah lagi dengan cekaman spesies ikan ekspansif baru di danau, seperti mujair, nila, dan ikan setan merah. Itu semua menekan perkembang-biakan ihan.
Kelangkaan ihan itu mendorong orang Batak beralih ke jenis ikan lain yaitu jurung-jurung (Tor spp) sebagai ikan adat. Tapi ketersedian jurung-jurung juga semakin terbatas. Hal itu akhirnya mendorong penggunaan ikan mas sebagai ikan adat.
Urgensi Konservasi Ihan
Orang Batak di Kaldera Toba kini mengeluh ihan langka dan mahal. Tapi kebanyakan hanya mengeluh dan menyesali saja. Sambil menyalahkan berbagai pihak atas keadaan itu. Lupa memeriksa diri sendiri.
Jika merujuk status "terancam punah" ihan dari IUCN (2020), sebenarnya tidak ada pilihan sekarang kecuali mengambil langkah konservasi secara spartan.
Untuk itu empat langkah berikut selayaknya dipertimbangkan.