Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dolok Partangisan, Saksi Bisu Perbudakan di Tanah Batak Tempo Dulu

17 Februari 2024   16:32 Diperbarui: 19 Februari 2024   06:52 4408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta lokasi Desa Hutajulu, Pollung Humbahas (atas). Dolok Partangisan membentang antara HKBP Hutajulu dan HKBP Hutagalung, dengan vegetasi hutan (bawah) (Sumber: Google Map

"Jangan hanya takut kencing di Dolok Partangisan tapi ingatlah perbudakan sesama orang Batak telah mati dan dikuburkan di situ." -Felix Tani

Jika berkendara ke barat laut dari Doloksanggul, Humbang Hasundutan menuju Sidikalang, Dairi, maka akan terlewati suatu perbukitan dengan jalur berkelok-kelok, kadang ekstrim. Koridor utara jalan itu adalah puncak perbukitan, selatannya alur lembah. Jalur itu sepi, tanpa bangunan rumah di kiri atau kanannya. 

Jalur itu sohor dikenal sebagai Dolok Partangisan (Bukit Ratapan), atau Rura Partangisan (Lembah Ratapan), bila merujuk pada bentang lembah di sisi selatannya. Jika merujuk Peta Google, jalur itu terentang di satu wilayah yang kini secara administratif menjadi Desa Hutajulu, Kecamatan Pollung, Humbahas. 

Tetengernya adalah sebuah jembatan di sebuah tikungan tajam, disebut sebagai Jembatan Rura Partangisan. Jembatan itu adalah "pintu masuk" ke Dolok Partangisan, jika berkendara dari Doloksanggul. Atau "pintu keluar" jika berkendara dari Sidikalang atau Pangururan (Samosir).

Setelah lewat jembatan itu ke arah barat laut, maka hanya ada jalan agak menanjak berkelok-kelok, kiri-kanannya hutan. Orang setempat mengenalinya sebagai jalur angker. Kerap terjadi kecelakaan di situ, lazimnya kendaraan terjun ke jurang. 

Bila seseorang menumpang kendaraan umum lewat jalur itu, lalu kebelet kencing hingga kandung kemihnya akan meletus, supir tak akan menghentikan kendaraan sekalipun tengkuknya ditempeli moncong laras karabin. Kencing di jalur angker itu diyakini akan berujung petaka. Entah kendaraan menghajar dinding tebing atau, lebih sering terjadi, terjun bebas ke dalam lembah.

Pertengahan 1990-an aku pernah berkendara melewati jalur itu. Tapi waktu itu belum tahu kalau jalur Dolok Partangisan itu angker. Walau ada rasa merinding saat lewat jalur sepi itu.

Lalu kenapa daerah perbukitan tersebut dinamai Dolok Partangisan? Atau lembahnya disebut Rura Partangisan?

Ternyata ada sangkut-pautnya dengan gejala parhotobanon, perbudakan dalam masyarakat Batak tempo dulu. Aku coba paparkan di bawah ini.

Peta lokasi Desa Hutajulu, Pollung Humbahas (atas). Dolok Partangisan membentang antara HKBP Hutajulu dan HKBP Hutagalung, dengan vegetasi hutan (bawah) (Sumber: Google Map
Peta lokasi Desa Hutajulu, Pollung Humbahas (atas). Dolok Partangisan membentang antara HKBP Hutajulu dan HKBP Hutagalung, dengan vegetasi hutan (bawah) (Sumber: Google Map
Peta lokasi Desa Hutajulu, Pollung Humbahas (atas). Dolok Partangisan membentang antara HKBP Hutajulu dan HKBP Hutagalung, dengan vegetasi hutan (bawah) (Sumber: Google Map
Peta lokasi Desa Hutajulu, Pollung Humbahas (atas). Dolok Partangisan membentang antara HKBP Hutajulu dan HKBP Hutagalung, dengan vegetasi hutan (bawah) (Sumber: Google Map

Perbudakan di Tanah Batak

Hatoban, budak terakhir di Tanah Batak dibebaskan oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1934 di Samosir. Itulah tonggak waktu formal berakhirnya era perbudakan dalam masyarakat Batak. Bahwa setelah tahun itu masih ada kasus perbudakan, mestinya itu berlangsung secara tersamar.

Jauh sebelum pemerintah kolonial Belanda menaklukkan tanah Batak, dan melarang perbudakan sejak tahun 1876, upaya-upaya penghapusan perbudakan sudah dilakukan oleh dua pihak yang berseberangan. Raja Sisingamangaraja XI dan Zending Protestan. 

Sisingamangaraja XII yang menjadi Pendeta Raja Tanah Batak tahun 1876-1907 dikenal anti perbudakan. Sikap itu diwarisi dari leluhurnya, Sisingamangaraja I -- meraja sekitar tahun 1540-1550 -- yang juga anti-perbudakan.

Dikisahkan jika Sisingamangaraja XII berkeliling Tanah Batak, maka semua hatoban, budak  yang terdapat di kampung-kampung yang disinggahinya harus dibebaskan pada saat itu juga. Hal sedemikian itu terjadi sepanjang masa kekuasaannya.

Sikap anti-perbudakan juga ditunjukkan oleh para pendeta Zending Protestan (Reinische Missionsgesellschaft) dari Jerman sudah melakukan upaya penghapusan perbudakan dalam masyarakat Batak. Tokoh utamanya adalah Pendeta L.I. Nommensen, digelari Apostel Batak, yang mengawali karya penginjilannya di Hutadame, Silindung tahun 1864. 

Seiring dengan keberhasilan Kristenisasi oleh Nommensen di Silindung, tradisi perbudakan juga berangsur dilenyapkan dari masyarakat Batak Silindung. Sebab perbudakan terlarang dalam agama Kristen Protestan yang disebarkan Zending Jerman.

Fakta penghapusan perbudakan di Silindung itu kemudian tersebar ke daerah Humbang, Toba Holbung, dan Samosir. Hal itu menarik minat orang Batak, khususnya lapisan bawah yang rentan menjadi budak, pindah ke Silindung. Di situ mereka dibaptis menjadi Kristen dan, karena itu, menjadi setara dengan para keturunan raja-raja di dalam Gereja.

Seseorang bisa jatuh nasibnya menjadi budak dalam masyarakat Batak karena berbagai alasan berikut:

  • Tawanan perang. Dahulu kerap terjadi perang antar kampung. Raja dari kampung pemenang akan membawa sejumlah warga tawanan dari kampung yang kalah untuk dijadikan hatoban, budak.
  • Utang tak terlunasi. Seorang suami dari keluarga miskin berutang kepada orang kaya. Sebagai jaminan maka anak perempuan atau anak lakinya diserahkan kepada pemberi utang untuk dijadikan budak. Umumnya utang tak terlunasi sehingga anaknya menjadi budak selamanya.
  • Taruhan judi. Kerap terjadi para suami berjudi dengan taruhan istri. Jika seorang suami kalah, maka dia menyerahkan istrinya untuk menjadi budak bagi pemenang.
  • Penculikan. Seseorang diculik dari kampungnya untuk dijadiksn budak atau diperjual-belikan di pasar budak lokal.
  • Solusi kemiskinan. Kemiskinan yang teramat sangat pada keluarga lapis bawah masyarakat Batak tempo dulu menjadi alasan bagi keluarga untuk menjual anak remajanya menjadi budak. Disamping mendapat uang, jumlah tanggungan keluarga juga berkurang.
  • Keturunan. Jika para budak saling-menikan antara mereka, msks anak-anak yang dilahirkannya otomatis menjadi budak.

Oleh pemiliknya, raja atau orang kaya, budak itu adalah hak milik, suatu properti penanda status sosial. Semakin banyak jumlah budaknya, semakin terpandang dia dalam komunitasnya.

Karena merupakan properti, maka pemilik dapat saja memperlakukan budaknya sesuka hatinya. Kalau dia menganggap budaknya kucing, maka akan diikat pada kehetnya dan ditambatkan di samping perapian atau tungku. Untuk minta makan, maka budak itu akan mengeong pada pemiliknya. 

Atau kalau dianggap anjing, maka budak akan diikat pada lehernya dan ditambatkan di bawah tangga rumah. Dia dijadikan sebagai penjaga rumah di situ.

Paling ekstrim, jika pemiliknya mati, maka beberapa orang budaknya dimatikan dan dikuburkan bersama pemiliknya itu. Sampai ke akhirat, para budak itu diharuskan untuk melayani pemiliknya.

Tapi sudah jelas fungsi utama budak dalam masyarakat Batak adalah untuk mengabdi pada pemiliknya. Para budak itu menjadi pekerja, pelayan, dan penjaga bagi keluarga pemiliknya. 

Budak tak menerima upah dari pemiliknya. Mereka hanya diberi makan dan pakaian seadanya, umumnya dalam jumlah dan mutu yang tak memadai.

Sebagian budak, setelah kawin dengan sesama budak, diperbolehkan mendirikan rumah gubuk sendiri di tanah pemiliknya. Syaratnya, jumlah anak tangga rumah harus genap. Itu untuk membedakan dengan rumah milik non-budak yang  jumlah anak tangganya ganjil. Supaya jumlah anak tangga rumahnya genap, maka saat pemiliknya datang, budak itu harus telungkup di bawah tangga untuk menjadi anak tangga pertama.

Memang budak dalam masyarakat tempo dulu itu diperlakukan pemiliknya sangat rendah. Serendah atau bahkan mungkin lebih rendah dari hewan. Hal ini dengan kelompok Dalit di India, suatu kelompok luar kasta, yang dianggap lebih rendah dari hewan juga. 

Salah satu spot ruas jalan di Dolok Partangisan, dilihat dari arah barat. Kiri adalah bukit, kanan lembah (Sumber: YouTube Batak Archieve)
Salah satu spot ruas jalan di Dolok Partangisan, dilihat dari arah barat. Kiri adalah bukit, kanan lembah (Sumber: YouTube Batak Archieve)

Saksi Bisu Perdagangan Budak

Jumlah budak dalam masyarakat Batak di masa lalu, sekurangnya sepanjang tahun 1800-an  terbilang masif. Basyral Hamidi Harahap, seorang budayawan Batak Mandailing menyebut sepertiga jumlah penduduk Mandailing-Natal pada paruh pertama abad ke-19 tergolong lapisan budak.[1] Kendati tak ada perkiraan jumlah, bisa diduga jumlah kelompok sosial hatoban, budak di wilayah Dataran Tinggi Toba juga kurang-lebih sebesar itu.

Dengan jumlah semasif itu bisa disimpulkan bahwa perbudakan adalah gejala sosial ysng lazim dalam masyarakat Batak tempo dulu. Karena budak adalah properti, benda hak milik, maka dengan sendirinya juga berkembang pranata pasar budak, tempat transaksi jual-beli budak.

Di pasar budak itu, budak diperjual-belikan seperti layaknya jual-beli hewan atau ternak. Budak-budak dijejerkan penjualnya. Pembeli datang menaksirnya. Kalau harga cocok, maka budak pindah tangan, atau pindah kepemilikan.  

Salah satu saksi bisu perdagangan budak, terbatas di daerah Tanah Batak saja, adalah Dolok Partangisan. Atau Rura Partangisan jika merujuk lembah-lembah di kaki perbukitan.

Di Dolok Partangisan itu terdapat satu spot area -- yang tak diketahui persis koordinatnya -- yang dijadikan pasar budak di masa lalu. Pemilik budak membawa budak-budaknya ke situ untuk dijual. Lalu calon pembeli dari daerah Humbang, Damosir, dan Toba Holbung datang ke situ membeli budak.

Nama Dolok Partangisan itu merujuk pada tumpahnya air mata kerabat budak, mana kala ada budak yang terjual dan dibawa pemilik baru ke kampung jauh yang entah di mana. Ada ratap perpisahan antara orangtua dan anak, antara saudara sedarah, atau antar sahabat sesama budak di situ. 

Ratap perpisahan di Dolok Partangisan itu adalah keniscayaan. Sebab sekali seorang budak dibawa pemilik baru ke kampung jauh, maka nasibnya tak akan pernah diketahui lagi. Apakah dia akan tetap hidup atau sebaliknya mati karena berbagai alasan.

Pasar budak di Dolok Partangisan itu, juga di tempat lain, sejatinya adalah noktah hitam dalam sejarah budaya Batak. Itu adalah sebuah pasar yang sepenuhnya hewani. Budak diperlalukan sebagai hewan. Tapi penjual dan pembelinya juga sebenarnya dikuasai oleh nafsu atau insting hewani.

Mengutip laporan Asisten Residen T.J. Willer, untuk kasus  Batak Mandailing, Basyral Hamidi Harahap telah menyajikan daftar harga budak dan ternak di pasar Panyabungan pada awal abad ke-19. Pada satuan harga tahil (1 tahil = 37.8 gram emas), berikut ini daftar harganya:

  • Budak gadis remaja = 5/4 tahil
  • Budak perempuan dewasa = 1/12 tahil
  • Budak remaja laki-laki = 1/2 tahil
  • Kerbau jantan = 3/4 tahil
  • Kerbau betina = 5/12 tahil
  • Anak kerbau = 1/6 tahil
  • Sapi dewasa = 1/6 tahil
  • Anak sapi = 1/12 tahil
  • Babi = 1/12 tahil
  • Anak babi = 1/48 tahil
  • Kambing dewasa = 1/12 tahil
  • Anjing gemuk = 6/577 tahil
  • Anjing kurus = 4/576 tahil.

Dari daftar harga itu diketahui budak gadis remaja paling mahal harganya (1.25 tahil). Di bawahnya harga budak remaja laki-laki (0.5 tahil). Paling murah adalah budak perempuan dewasa (0.08 tahil).

Fakta yang meremukkan nilai kemanusiaan terutama adalah harga budak perempuan dewasa. Berdasar daftar itu, harga seorang budak perempuan dewasa sama dengan harga seekor anak sapi, atau seekor babi, atau seekor kambing dewasa. Bahkan jauh lebih murah dibanding harga seekor ketbau jantan, atau kerbau betina, atau anak kerbau, atau sapi dewasa.

Begitupun harga seorang budak remaja laki-laki (0.5 tahil), ternyata lebih murah dibanding harga seekor kerbau jantan (0.75 tahil).

Tak sepenuhnya salah jika dikatakan bahwa nilai seorang budak dalam masyarakat Batak di masa lalu lebih rendah dibanding  nilai seekor ternak atau hewan. Fakta itu jugalah yang menguras air mata para budak dan keluarganya di Dolok Partangisan.

Konvoi moge sedang melintas di jslur Dolok Partangisan Humbahas (Sumber: TikTok @tanomaribak8188)
Konvoi moge sedang melintas di jslur Dolok Partangisan Humbahas (Sumber: TikTok @tanomaribak8188)

Hasahatan

Suatu ketika Jay Wijayanto, seorang konduktor, aktor, dan organisator sohor, bercerita. Saat merancang helatan Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba (KKPDT) di Balige tahun 2016, dia berencana memasukkan episode kelam pasar budak Dolok Partangisan itu ke dalam koreografi pertunjukan. Tapi para raja-raja adat Batak setempat menolak keras. Alasannya episide Dolok (Rura) Partangisan itu adalah noktah hitam sejarah Batak yang tak selayaknya diungkap ke permukaan. Itu terlalu biadab, sangat memalukan.

Tapi apakah masyarakat Batak benar telah bersih dari noktah hitam sejarah budayanya itu? Sepanjang ingatanku, sampai tahun 1990-an  idiom partangga gogop, "pemilik anak tangga genap" masih hidup di tengah masyarakat Batak di Toba Holbung. Idiom itu merujuk pada keturunan hatoban, budak di masa lalu. 

Itu artinya orang Batak masih tetap melacak dan mencatat siapa saja keturunan budak di dalam masyarakatnya. Kendati statusnya bukan lagi budak, tapi perlakuan adat terhadap mereka masih diskriminatif. Semisal dalam acara-acara adat tidak boleh duduk atau berdiri di barisan depan. 

Dolok Partangisan kiranya bisa menjadi pengingat bagi orang Batak tentang noktah hitam, suatu episode biadab yang menista nilai manusia hingga lebih rendah dari hewan, dalam sejarah Batak. Dolok, juga rura di sana nesti jadi pengingat bahwa perbudakan telah mati dan dikuburkan di situ.

Status budak itu bukan takdir, melainkan konstruksi sosial, bentukan masyarakat sendiri demi pemenuhan kepentingan egoistiknya. Tak ada budak, tapi ada orang yang memperbudak sesamanya, lalu melabelinya sebagai budak, status yang lebih rendah dari hewan.

Sebuah pertobatan sosial, dengan menerima sesama sebagai setara, kiranya lebih dibutuhkan ketimbang menutup-nutupi fakta Dolok Partangisan yang memalukan itu. Janganlah hanya sebatas takut kencing di Dolok Partangisan. Tapi takutlah melekatkan terus-menerus label budak pada sesama orang Batak. (eFTe)

Catatan Kaki:

[1] Basyral Hamidi Harahap, "Gerakan Anti Perbudakan di Mandailing", mandailingonline.com (15/10/2015)
               

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun