Tapi apakah masyarakat Batak benar telah bersih dari noktah hitam sejarah budayanya itu? Sepanjang ingatanku, sampai tahun 1990-an  idiom partangga gogop, "pemilik anak tangga genap" masih hidup di tengah masyarakat Batak di Toba Holbung. Idiom itu merujuk pada keturunan hatoban, budak di masa lalu.Â
Itu artinya orang Batak masih tetap melacak dan mencatat siapa saja keturunan budak di dalam masyarakatnya. Kendati statusnya bukan lagi budak, tapi perlakuan adat terhadap mereka masih diskriminatif. Semisal dalam acara-acara adat tidak boleh duduk atau berdiri di barisan depan.Â
Dolok Partangisan kiranya bisa menjadi pengingat bagi orang Batak tentang noktah hitam, suatu episode biadab yang menista nilai manusia hingga lebih rendah dari hewan, dalam sejarah Batak. Dolok, juga rura di sana nesti jadi pengingat bahwa perbudakan telah mati dan dikuburkan di situ.
Status budak itu bukan takdir, melainkan konstruksi sosial, bentukan masyarakat sendiri demi pemenuhan kepentingan egoistiknya. Tak ada budak, tapi ada orang yang memperbudak sesamanya, lalu melabelinya sebagai budak, status yang lebih rendah dari hewan.
Sebuah pertobatan sosial, dengan menerima sesama sebagai setara, kiranya lebih dibutuhkan ketimbang menutup-nutupi fakta Dolok Partangisan yang memalukan itu. Janganlah hanya sebatas takut kencing di Dolok Partangisan. Tapi takutlah melekatkan terus-menerus label budak pada sesama orang Batak. (eFTe)
Catatan Kaki:
[1] Basyral Hamidi Harahap, "Gerakan Anti Perbudakan di Mandailing", mandailingonline.com (15/10/2015)
       Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H