Hatoban, budak terakhir di Tanah Batak dibebaskan oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1934 di Samosir. Itulah tonggak waktu formal berakhirnya era perbudakan dalam masyarakat Batak. Bahwa setelah tahun itu masih ada kasus perbudakan, mestinya itu berlangsung secara tersamar.
Jauh sebelum pemerintah kolonial Belanda menaklukkan tanah Batak, dan melarang perbudakan sejak tahun 1876, upaya-upaya penghapusan perbudakan sudah dilakukan oleh dua pihak yang berseberangan. Raja Sisingamangaraja XI dan Zending Protestan.Â
Sisingamangaraja XII yang menjadi Pendeta Raja Tanah Batak tahun 1876-1907 dikenal anti perbudakan. Sikap itu diwarisi dari leluhurnya, Sisingamangaraja I -- meraja sekitar tahun 1540-1550 -- yang juga anti-perbudakan.
Dikisahkan jika Sisingamangaraja XII berkeliling Tanah Batak, maka semua hatoban, budak  yang terdapat di kampung-kampung yang disinggahinya harus dibebaskan pada saat itu juga. Hal sedemikian itu terjadi sepanjang masa kekuasaannya.
Sikap anti-perbudakan juga ditunjukkan oleh para pendeta Zending Protestan (Reinische Missionsgesellschaft) dari Jerman sudah melakukan upaya penghapusan perbudakan dalam masyarakat Batak. Tokoh utamanya adalah Pendeta L.I. Nommensen, digelari Apostel Batak, yang mengawali karya penginjilannya di Hutadame, Silindung tahun 1864.Â
Seiring dengan keberhasilan Kristenisasi oleh Nommensen di Silindung, tradisi perbudakan juga berangsur dilenyapkan dari masyarakat Batak Silindung. Sebab perbudakan terlarang dalam agama Kristen Protestan yang disebarkan Zending Jerman.
Fakta penghapusan perbudakan di Silindung itu kemudian tersebar ke daerah Humbang, Toba Holbung, dan Samosir. Hal itu menarik minat orang Batak, khususnya lapisan bawah yang rentan menjadi budak, pindah ke Silindung. Di situ mereka dibaptis menjadi Kristen dan, karena itu, menjadi setara dengan para keturunan raja-raja di dalam Gereja.
Seseorang bisa jatuh nasibnya menjadi budak dalam masyarakat Batak karena berbagai alasan berikut:
- Tawanan perang. Dahulu kerap terjadi perang antar kampung. Raja dari kampung pemenang akan membawa sejumlah warga tawanan dari kampung yang kalah untuk dijadikan hatoban, budak.
- Utang tak terlunasi. Seorang suami dari keluarga miskin berutang kepada orang kaya. Sebagai jaminan maka anak perempuan atau anak lakinya diserahkan kepada pemberi utang untuk dijadikan budak. Umumnya utang tak terlunasi sehingga anaknya menjadi budak selamanya.
- Taruhan judi. Kerap terjadi para suami berjudi dengan taruhan istri. Jika seorang suami kalah, maka dia menyerahkan istrinya untuk menjadi budak bagi pemenang.
- Penculikan. Seseorang diculik dari kampungnya untuk dijadiksn budak atau diperjual-belikan di pasar budak lokal.
- Solusi kemiskinan. Kemiskinan yang teramat sangat pada keluarga lapis bawah masyarakat Batak tempo dulu menjadi alasan bagi keluarga untuk menjual anak remajanya menjadi budak. Disamping mendapat uang, jumlah tanggungan keluarga juga berkurang.
- Keturunan. Jika para budak saling-menikan antara mereka, msks anak-anak yang dilahirkannya otomatis menjadi budak.
Oleh pemiliknya, raja atau orang kaya, budak itu adalah hak milik, suatu properti penanda status sosial. Semakin banyak jumlah budaknya, semakin terpandang dia dalam komunitasnya.
Karena merupakan properti, maka pemilik dapat saja memperlakukan budaknya sesuka hatinya. Kalau dia menganggap budaknya kucing, maka akan diikat pada kehetnya dan ditambatkan di samping perapian atau tungku. Untuk minta makan, maka budak itu akan mengeong pada pemiliknya.Â
Atau kalau dianggap anjing, maka budak akan diikat pada lehernya dan ditambatkan di bawah tangga rumah. Dia dijadikan sebagai penjaga rumah di situ.