Akhir 1970-an itu sudah masuk senjakala opera Batak. Pergeseran perilaku nonton masyarakat ke media televisi dan bioskop murah menyebabkan opera secara perlahan kehilangan massa penontonnya. Lalu mati satu per satu. Serindo sendiri seakan hidup segan mati tak mau.
Aku ingat betul waktu menonton satu pertunjukan opera Batak di balairung Onan Porsea. Hujan turun deras, balairung bocor, malam mulai merangkak. Pemain opera bermain dalam gigil di panggung, dingin oleh air tiris dan udara malam.Â
Penonton segelintir, umumnya tak begitu peduli. Yang muda yang bercinta sibuk saling remas tangan dengan pasangan masing-masing. Aku yang jomlo menatap nanar para pemain di panggung. Tak yakin apakah mereka hanya sedang main peran ataukah sedang memanggungkan kepedihan hidupnya sendiri.
Seandainya kutahu segetir apa hidup para punggawa opera Batak di senjakalanya akhir 1970-an, niscaya aku menitikkan air mata. Tapi aku tidak tahu, sungguh, tidak tahu waktu itu.
Gagas Ruma Opera Kaldera Toba
Hari ini bisa dikatakan opera "klasik" Batak ala Tilhang tinggal kenangan. Beberapa aktivis budaya Batak kini berinisiatif menghidup-hidupkannya. Satu yang menonjol adalah Pusat Latihan Opera Batak (PLOt), Pematang Siantar binaan budayawan Thomson Hutasoit.
Fokus PLOt adalah pengembangan "opera transisional". Itu semacam "bentuk peralihan", antara opera Batak "klasik" dan teater modern. Opera transisional itu sudah dilengkapi naskah tertulis dengan plot baku. Sementara opera Batak "klasik" tak dilengkapi naskah tertulis, sehingga sarat improvisasi.
Kegiatan PLOt, juga beberapa kelompok lain yang sifatnya sporadis, layak diapresiasi dan difasilitasi sebagai upaya penemuan kembali (reinventing) seni tradisi opera Batak. Matinya kelompok-kelompok opera klasik Batak telah menyisakan ruang kosong dalam budaya Batak di Kaldera Toba.
Dalam konteks upaya pengembangan Kaldera Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia, revitalisasi opera Batak menjadi sangat relevan dan urgen. Sejauh ini tak ada unsur seni budaya yang dapat dinikmati pengunjung Kaldera Toba kecuali gondang dan tortor Batak, termasuk tortor boneka sigale-gale dan hoda-hoda (kuda-kudaan). Betapapun itu unik, tapi sulit diharapkan menjadi sebuah pertunjukan kelas dunia.
Seni tradisi opera Batak jelas punya potensi untuk menjadi seni pertunjukan kelas dunia khas Kaldera Toba. Opera Batak punya potensi besar untuk dijual sebagai atraksi wisata seni-budaya. Wisatawan akan datang menonton opera Batak seperti halnya menonton pertunjukan opera di Eropa atau drama musikal di Brodway Amerika.
Untuk mengangkat opera Batak ke tingkat dunia, sedikitnya dua langkah berikut perlu dilakukan.