Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kambing Samosir, Plasma Nutfah Asli Kaldera Toba

10 Januari 2024   13:58 Diperbarui: 12 Januari 2024   18:06 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kambing panorusan samosir sedang merumput (Foto: via starfarm.co.id)

Kambing samosir, hewan endemik Pulau Samosir, adalah kekayaan plasma nutfah lokal khas Kaldera Toba.

Kambing mungkin termasuk hewan introduksi yang awal-awal ke lingkungan komunitas Batak di Kaldera Toba. Ruminansia kecil itu tak punya nama lokal dalam Bahasa Batak. Orang Batak tetap menyebutnya "kambing", dilafalkan "hambing" karena aksara dan bahasa Batak tua tak mengenal huruf "k". 

Mungkin usia keberadaan kambing di Kaldera Toba sudah bilangan ratusan tahun. Setidaknya hal itu terindikasi oleh masuknya kosa kata "hambing" ke dalam khasanah umpasa, petitih asli Batak Toba. Semisal umpasa "Songon hambing na gulohon", artinya "Seperti kambing cacingan", menggambarkan orang yang tak bisa diam. Atau umpasa "Manggagat hambing di ari udan", artinya "Kambing merumput saat hujan", menggambarkan perilaku yang tak lazim.

Jika nama suatu hewan sudah masuk dalam khasanah umpasa Batak, maka itu menandakan hewan itu sudah menjadi bagian dari budaya Batak sejak lama. Lazimnya hanya hal-hal yang sudah mendarah-daging diangkat ke dalam umpasa.

Eksis ratusan tahun secara turun-temurun di wilayah Samosir, kambing samosir itu sudah mengalami perubahan morfologis sebagai bentuk adaptasi ekologi.

Tubuhnya yang cenderung ramping merupakan adaptasi terhadap alam perbukitan berbatu-batu di Samosir. Warna bulu putihnya, juga kuku dan tanduk yang cenderung berwarna coklat, diperkirakan sebagai adaptasi terhadap terik matahari terutama di siang hari.

Karena karakteristik khas lokalnya, Kementerian Pertanian kemudian telah menetapkan kambing samosir sebagai plasma nutfah— substansi hayati pembawa sifat keturunan—atau "sumber kekayaan genetik lokal Indonesia" (Keputusan Menteri Pertanian Nomor 40 Tahun 2017).

Resmi dinamai "kambing hatorusan samosir," kambing tersebut menjadi satu dari 10 galur kambing yang telah ditetapkan sebagai sumber kekayaan genetik lokal." 

Merujuk sifat endemik lokalnya, kambing Samosir itu juga kerap disebut "kambing puti(h)" atau "kambing batak". Dia menjadi hewan yang merepresentasikan Samosir dan Batak sekaligus. 

Profil kambing panorusan samosir (Foto: Gunawan Sitanggang/sinartani.com)
Profil kambing panorusan samosir (Foto: Gunawan Sitanggang/sinartani.com)

Kambing Gunung Toba

Kambing hatorusan (titisan) samosir secara informal pantas juga dilabel "Kambing Gunung Toba" karena dua alasan. Pertama, kambing samosir itu memang endemik kawasan kaldera Gunung Toba. Kendatipun gunungnya sudah terperosok ke dasar kaldera 74,000 tahun lalu.

Kedua, kambing samosir itu sehari-hari memang merumput bebas di lereng-lereng perbukitan dan gunung (Pusukbuhit) Samosir. Kuku kambing itu sudah beradaptasi dengan lereng curam berbatu, sehingga dia mampu mendaki dan menelusuri lereng-lereng tersebut dengan relatif aman.

Kehadiran kambing-kambing putih itu di lereng-lereng hijau Kaldera Toba adalah suatu pemandangan eksotis. Terlebih bila mereka hadir di sama bersama lembu-lembu yang juga berwarna putih.

Secara genetik kambing panorusan samosir bersifat unik, kendati memiliki kedekatan dengan kambing marica, kambing benggala, kambing jawarandu, kambing kacang, dan kambing muara. Kambing muara adalah hewan endemik lembah Muara di sisi selatan Kaldera Toba. [1]

Tapi secara morfologis kambing samosir tampil dengan kekhasan sendiri. Bulunya putih, pendek dan halus, kadang ada belang hitam. Tanduk dan kukunya kecoklatan. Kepala kecil, ramping dengan garis muka lurus. Telinga tegak kesamping, tanduk tegak ke atas. Ekor pendek, kecil, dan tegak. [2]

Ukuran tubuh kambing samosir tergolong kecil. Panjang tubuhmya 52-57 cm, tinggi 48-50 cm, dan bobotnya 20-26 kg. Ukuran tubuh betina lebih besar dibanding jantan.

Tingkat reproduksi kambing samosir tergolong tinggi. Selang waktu beranak kambing indukan sekitar 283 hari dengan laju reproduksi 1.6 ekor per tahun. Artinya indukan berpotensi melahirkan anak 1-2 ekor per tahun.

Tapi potensi melahirkan yang terbilang tinggi itu tak diikuti dengan peningkatan populasi kambing samosir. Jumlahnya jusru cenderung berkurang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015 jumlahnya tercatat masih 9,733 ekor. Tapi pada tahun 2020 tinggal 5,651 ekor. [2,3]

Di daerah Kabupaten Samosir—kecamatan Harian, Nainggolan, Onan Runggu, Palipi, Pangururan, Ronggur Nihuta, Sianjur Mulamula, Simanindo, Sitiotio— kambing panorusan itu diternakkan secara tradisional. Pagi dilepas bebas ke padang rumput, tegalan, atau sawah bera, sorenya dijemput masuk kandang di kolong rumah. Atau ada juga yang ditambatkan di pinggir sawah atau kebun untukcmerumput di situ.

Menu hijauan pakan kambing samosir itu tergolong variatif. Lazimnya kambing, untuk kesempurnaan gizi, kambing samosir memakan ragam jenis dedaunan. Semisal tunas padi, jerami, ilalang, rumput teki, babadotan, lamtoro, kelor, tarum, putri malu, kaliandra, daun gamal, dan daun beringin.

Namun ada indikasi luasan areal penggembalaan kambing Samosir cenderung menyempit. Tahun 2011 tercatat masih ada 11,324 ha. Tapi tahun 2018 tersisa tinggal 6,120 ha saja. [3] Penciutan areal penggembalaan ini diduga menjadi salah satu faktor penyebab pengurangan populasi kambing Samosir. 

Kambing panorusan samosir sedang merumput (Foto: via starfarm.co.id)
Kambing panorusan samosir sedang merumput (Foto: via starfarm.co.id)

Ternak Religi dan Adat

Sejak ratusan tahun lalu kambing samosir telah memiliki fungsi penting dalam kegiatan religi asli dan adat Batak. Itu pula alasan mengapa jenis kambing ini dipelihara dan dilestarikan orang Batak di Samosir atau Kaldera Toba umumnya.

Dalam kegiatan religi asli, semisal Ugamo Malim, kambing samosir digunakan sebagai hewan kurban, persembahan kepada Mulajadi Nabolon. Juga persembahan kepada para malim, nabi-nabi Ugamo Malim yaitu Tuhan Simarimbulubosi, Raja Uti, Sisingamangaraja, dan Boru Saniangnaga.

Persembahan semacam itu lazim dilakukan untuk berbagai tujuan. Misalnya dalam rangka mengucap syukur kepada Mulajadi Nabolon dan para malimnya. Juga untuk permohonan rejeki, pengobatan orang sakit, dan ritual tolak bala.

Kambing samosir juga lazim disembelih untuk keperluan acara adat. Semisal adat pernikahan, pembangunan rumah tinggal, dan pembangunan makam/tugu leluhur. Daging kambing itu dimakan sebagai lauk makan bersama. Lalu bagian-bagian tubuh tertentu (rahang/kepala, leher, rusuk, pangkal paha, dan panggul) untuk jambar, pengakuan atas status-status sosial adat.

Daging kambing itu, untuk keperluan ritual dan adat, dimasak tanpa darah. Tak ada saksang kambing, tapi gulai kambing dengan bumbu-bumbu Batak.

Cara masak seperti itu merujuk pada pantangan makan darah hewan pada penganut agama asli seperti komunitas Parmalim. Dalam pesta adat, komunitas ini disebut sebagai parsubang, pantang makan namargota, daging yang dimasak dengan darahnya.

Kambing samosir yang digunakan sebagai hewan ritual agama (kurban) dan adat (konsumsi) haruslah jantan. Warna bulunya harus putih menyeluruh, simbol kesuci-munian. Bahkan warna tanduk dan kukunya tidak boleh hitam. Minimal warnanya kecoklatan, paling baik coklat muda. Kambing seperti itulah yang disebut hambing puti, kambing putih sempurna.

Karena ritual agama dan adat mempersyaratkan kambing jantan putih, maka permintaan akan jenis itu tinggi. Harganya juga jauh lebih mahal, dibanding jantan yang tak putih sempurna atau betina. Konsekuensinya juga, populasi kambing samosir putih semakin kecil. 

Preferensi pada kambing jantan putih itu menyebabkan eksistensi pejantan pada kondisi kritis. Pada tahun 2015 misalnya dari total 9,733 ekor kambing samosir, hanya 646 ekor jantan (9,087 ekor betina). 

Walaupun seekor pejantan bisa membuahi lebih dari dua atau tiga ekor betina, perbandingan 1 ekor pejantan per 14 ekor betina terbilang berlebihan. Proses kawin akan berjalan lambat. Mungkin ini juga termasuk penyebab menurunnya populasi kambing samosir.

Kambing panorusan samosir di padang penggembalaan (Foto: sinartani.com. 17/06/2019)
Kambing panorusan samosir di padang penggembalaan (Foto: sinartani.com. 17/06/2019)

Pengembangan dan Pelestarian

Sekali kambing samosir sudah ditetapkan sebagai plasma nutfah khas lokal, maka konsekuensi pengembangan dan pelestarian mengikut di belakang.

Terdapat dua masalah pokok peternakan kambing panorusan samosir secara in situ, di daerah Samosir sendiri.

Pertama, penurunan populasi kambing samosir di daerah Samosir karena faktor penyusutan areal penggembalaan atau keterbatasan daya dukung lingkungan.

Sebagai solusinya dapat dipertimbangkan dua langkah berikut:

  • Perubahan cara peternakan kambing dari pola ekstensif (pelepasan) ke pola intensif (pengandangan), disertai pengembangan budidaya pakan ternak kambing.
  • Integrasi pengembangan peternakan kambing dan pengembangan pertanian pangan. Hasil sampingan dan limbah pertanian dapat dimanfaatkan untuk pakan kambing. Antara lain jerami, tunas padi, daun jagung, daun kacang-kacangan, menir, dan dedak.

Kedua, tingkat fertilitas riil kambing betina yang kurang optimal karena jumlah pejantan yang terlalu sedikit.

Solusi jangka pendek untuk masalah itu adalah:

  • Program inseminasi buatan untuk kambing samosir.
  • Peningkatan jumlah kambing pejantan melalui usaha pembibitan ternak disertai usaha rekayasa budaya, khususnya penggunaan kambing betina untuk kegiatan adat.

Ketiga, pemurnian genetik kambing panorusan samosir. Arahnya untuk mendapatkan kambing samosir yang bulunya putih total dan tanduk serta kukunya coklat muda ke arah keputih-putihan. Dengan demikian tak ada lagi kambing samosir yang punya noktah bulu hitam.

Mungkin bisa diupayakan juga rekayasa genetik, semisal cloning, untuk mendapatkan kambing samosir dengan genetik murni. Hal itu sudah coba dilakuksn pada tedong bonga. kerbau bulai Toraja. Tentu perlu peran balai penelitian ternak BRIN di sini.

Keempat, pengembangan kuliner kambing samosir, sebagai alternatif untuk kuliner berbasis ternak babi. Misalnya pengembangan kuliner gulai kambing, sate kambing, dan sop kepala kambing yang sejauh ini tak lazim di Samosir.

Pengembangan kuliner semacam itu bisa mendorong pertumbuhan wisata halal. Pada gilirannya hal itu dapat meningkatkan permintaan daging kambing. Lalu di ujungnya mendorong peningkatan pembibitan dan peternakan kambing samosir.

Pada dasarnya upaya-upaya pengembangan dan pelestarian kambing panorusan samosir itu terpusat pada empat hal. Pembibitan yang baik, budidaya yang baik, pakan yang baik, dan kesehatan kambing yang baik.

Sudah jelas pula institusi yang bertanggungjawab untuk pengembangan dan pelestarian kambing samosir itu. Dinas Peternakan setempat dan Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba (BPGKT). 

Secara khusus BPGKT harus disebut karena badan ini bertanggungjawab pada konservasi keragaman hayati dan pengembangan ekonomi komunitas Geopark Kaldera Toba. Konservasi kambing samosir dan penguatan peternak kambing termasuk di situ. (eFTe)

***

Catatan Kaki:

[1] Aron Batubara dkk. "Karakterisasi Molekuler Enam Subpopulasi Kambing Lokal Indonesia berdasarkan Analisis Sekuen Daerah D-loop DNA Mitokondria", Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner No. 16 Th 2011.

[2] "Kambing Samosir, Plasma Nutfah Tano Batak," sinartani.com, 3/5/2019.

[3] Khairiah dkk., "Sumber Daya Genetik Kambing Panorusan Samosir," Bulletin Plasma Nutfah 26(2), 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun