Sebagai spot wisata alam, Pulau Simamora memang sangat eksotis. Berdiri di puncak kubah pulau itu menjadikan diri sungguh kecil di tengah keagungan alam. Sekeliling pulau itu, berselang perairan jernih, adalah lembah kembar Tipang dan Bakkara yang permai.Â
Lalu perbukitan tinggi dengan dinding curam, khas dinding Kaldera Toba. Memandang ke timur, melalui mulut teluk berbentuk lagoon itu, tampaklah siluet Pulau Sibandang yang indah.
Tapi menurut hematku, menjadikan Pulau Simamora sebagai destinasi wisata alam semata, plus bumi perkemahan, bukanlah pilihan yang cukup bijak. Kegiatan wisata semacam itu dengan cepat akan merusak vegetasi rendah (rerumputan) di pulau, sehingga dengan cepat akan berubah menjadi kubah gundul. Semacam gurun di tengah danau.
Selain itu kegiatan mardoton oleh nelayan setempat juga akan terganggu oleh hilir-mudik perahu wisatawan. Itu bisa merusak ekosistem perairan, sehingga populasi ikan di situ lari ke tempat lain.
Saya cenderung mengusulkan wisata geokultural di Pulau Simamora itu. Pulau itu adalah eksemplar ideal untuk menjelaskan interaksi manusia Batak dengan alam kaldera. Tambahan lagi, Pulau Simamora itu situs geologis asli produk letusan Gunung Toba 74,000 tahun lalu.
Untuk mewujudkan wisata geokuktural itu, beberapa hal berikut perlu dipersiapkan.
Pertama, membangun narasi (story telling) holistik (sejarah geologi, hayati, budaya, ekonomi) Pulau Sinamora.
Kedua, menyiapkan singkapan batuan hasil formasi geologis di Pulau Simamora, untuk menjelaskan proses terbentuknya pulau itu.
Ketiga, mengintegrasikan dan merevitalisasi tradisi mardoton dan pengandangan kerbau secara berenang sebagai aktivitas wisata budaya di Pulau Simamora.Â
Keempat, konservasi pohon-pohon mangga Toba du Pulau Simamora sebagai potensi agrowisata khas Kaldera Toba.Â
Kelima, menyiapkan dan membekali warga muda Tipang sebagai pemandu wisata geokultural Pulau Simamora.