Tapi bagi keluarga pemilik kebun kopi, bubuk kopi bisa diperoleh dengan cara mengolah sendiri. Kakek dan nenekku di Panatapan kerap melakukannya. Kopi merah ranum dipetik dari kebun di belakang rumah. Lalu ditumbuk di lumpang kayu untuk melepas kulitnya. Setelah itu dijemur beberapa hari di bawah terik matahari. Selanjutnya, setelah kering, biji kopi ditumbuk lagi sampai didapatkan biji kopi bersih.Â
Tahap selanjutnya, biji kopi disangrai sampai berwarna coklat. Didinginkan dulu, baru kemudian ditumbuk di lumpang sampai hancur menjadi bubuk. Bubuk itu lalu diayak dan diperolehlah bubuk kopi murni siap seduh. Itulah bubuk kopi sejati yang diolah dengan cara kampung.
Simbol Budaya Agraris
Dalam kerangka interpretivisme, atau khususnya "lukisan mendalam" (thick description) ala Clifford Geertz, Â sepiring sasagun dan secangkir kopi yang tersaji saat ramah-tamah Natal dan Tahun Baru adalah simbolisme kultur agraris orang Batak Toba. Ada sesuatu yang dinyatakan dengan sajian itu.
Di satu sisi sasagun adalah simbol keteguhan orang Batak mempertahankan inti budayanya yaitu tradisi budidaya padi. Tradisi yang sudah berlangsung (mungkin) selama satu milenium.
Di lain sisi secangkir kopi adalah simbol keterbukaan petani Batak Toba terhadap inovasi baru di bidang pertanian. Baik itu inovasi teknologi budidaya semacam pupuk, pestisida, pola tanam, dan benih varietas unggul baru. Maupun inovasi berupa jenis tanaman (komoditas) baru seperti kopi, kakao, dan nilam.
Sajian sasagun dan kopi pada hari Natal dan Tahun Baru bagi orang Batak dengan demikian bukanlah sekadar penganan biasa. Keduanya adalah pernyataan nilai budaya agraris dalam perayaan Natal dan Tahun Baru.Â
Makan sasagun adalah simbolisme keteguhan pada tradisi pertanian padi warisan leluhur. Mengingatkan kelahiran Yesus Kristus pada Malam Natal juga tak menghilangkan tradisi tetapi memperbaruinya.
Minum secangkir kopi adalah simbolisme keterbukaan orang Batak pada pembaruan demi hamajuon, kemajuan. Seperti halnya adopsi tanaman kopi yang mempersyaratkan penguasaan pengetahuan baru.Â
Sasagun dan kopi dengan demikian menjadi pengingat  bagi orang Batak Toba untuk senantiasa menjaga keseimbangan dan sinergi antara "yang lama" dan "yang baru", antara "tradisi" dan "modernitas". Sesuatu yang selalu diingatkan kembali dalam momen gathering and sharing keluarga besar Batak saat peralihan dari tahun lama ke tahun baru.Â
Betul "revolusi biskuit" (KGB, Khong Guan Biskuit) dan "revolusi sirop" (Markisa) sampai batas tertentu bisa mensubstitusi sasagun dan kopi. Tapi "revolusi" itu tidak pernah bisa melenyapkankannya sama sekali.Â