Sasagun dan kopi bukan sajian biasa pada ramah-tamah Natal dan Tahun Baru bagi orang Batak Toba.
Dua sajian itu adalah penciri ekologi budaya Batak Toba sebagai komunitas agraris di Kaldera Toba. Sasagun, sagon tepung beras, adalah produk olahan dari padi sawah, inti budaya orang Batak Toba sebagai manusia lembah.Â
Sedangkan minuman kopi adalah produk olahan dari biji kopi, hasil porlak, kebun tanaman tahunan yang menjadi lapis kedua agroekologi Kaldera Toba.
Dua jenis sajian itu, sasagun dan kopi, adalah penciri budaya agraris masyarat Batak Toba. Keduanya dipasangkan sekali setahun, pada momen Natal dan Tahun Baru.Â
Hal itu dilakukan sebagai bagian dari ungkapan syukur dan kegembiraan atas karunia kelahiran Yesus Kristus Sang Penebus dan harapan berkah di tahun yang baru.
Keanekaragaman hayati, khususnya tumbuhan, di Kaldera Toba tentu lebih luas dari sekadar padi dan kopi. Masih ada bawang merah dan bawang Batak (Allium schoenoprasum) yang diusahakan di sawah dan huma. Ada mangga Toba dan andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) di porlak, kebun. Juga haminjon, kemenyan di hutan.
Tapi padi dan kopi memiliki keistimewaan tersendiri karena mewakili sejarah atau asal-usul keragaman hayati di Kaldera Toba.Â
Padi mewakili tanaman asli di lembah-lembah sekeliling kaldera. Sedangkan kopi mewakili tanaman introduksi dari luar kaldera.Â
Jika produk olahan padi dan kopi dipasangkan, maka keduanya mencerminkan integrasi "yang asli" dan "yang pendatang" dalam budaya makan komunitas agraris Batak Toba.
SasagunÂ
Belum diketahui sejak kapan orang Batak mengenal budidaya tanaman padi. Mungkin saja sudah seusia kehadiran komunitas Batak pertama di lembah Sianjurmula-mula, di kaki Gunung Pusukbuhit di sisi barat kaldera.Â
Dalam kosmologi Batak disebutkan Boru Deakparujar, pencipta Tanah Batak, mendapatkan benih aneka tumbuhan dan bibit aneka hewan dari Dewata Mulajadi Nabolon. Lalu salah seorang putri Guru Tateabulan, generasi kedua Batak, diberi nama Boru Pareme, Dewi Padi. Itu mengindikasikan padi sudah dibudidayakan sejak generasi pertama Batak.
Tapi biarlah para arkeolog, dengan spesialisasi arkeologi pertanian, kelak menyingkap artefak tinggalan leluhur Batak untuk  memastikan usia budidaya padi dalam ekologi budaya Batak.Â
Untuk sementara ini disimpulkan saja padi itu adalah inti budaya asli Batak. Artinya padi sudah menjadi penciri utama agroekologi Batak di Kaldera Toba sejak awal.
Belum diketahui juga ragam varietas padi lokal yang dibudayakan orang Batak sejak, katakanlah, abad ke-13. Tapi sekurangnya sampai tahun 1980-an padi varietas lokal, yaitu padi dalam (umur panjang) dataran tinggi, masih meraja di lembah-lembah lingkar Kaldera Toba.
Seturut pengalamanku sebagai anak petani di Panatapan (pseudonim) Uluan Toba, warga kampungku tahun 1980-an masih menanam padi varietas lokal.Â
Di sawah ditanam varietas-varietas Sihamansan, Siperak (gabahnya berekor), dan Sirambe. Sedangkan di huma, lahan kering, ditanam antara lain varietas-varietas Siarias dan Sisidung yang berasnya aromatik.
Dalam masyarakat Batak Toba, produk olahan gabah/beras tak semata sasagun. Ada juga ombus-ombus atau lepat, kini oleh-oleh khas Siborong-borong. Atau tipa-tipa, emping beras, oleh-oleh khas Porsea. Serta dolung-dolung, kue putu bundar dibungkus daun bambu, oleh-oleh khas Parapat.
Tapi memang tak ada yang lebih fenomenal dibanding sasagun. Jenis kue kering berbentuk tepung gongseng ini telah menjadi penanda budaya untuk perayaan Natal dan Tahun Baru bagi orang Batak Toba. Dua hari besar itu dipersepsikan tidak sah apabila tak ada sajian sasagun di dalam rumah. Â
Pembuatan kue sasagun itu semacam ritual tersendiri bagi orang Batak. Prosesnya dimulai dua atau satu hari sebelum hari Natal tiba. Di kampungku dulu para perempuan, gadis-gadis dan ibu-ibu, mengawali pembuatannya dengan merendam beras selama 5 jam. Kemudian beras itu ditumbuk di lumpang kayu dan diayak menjadi tepung. Lazim dilakukan secara bersama, tolong-menolong khas komunitas agraris.
Tepung beras itu kemudian dicampur dengan kelapa parut serta gula enau -- gula ini opsional. Campuran itu lalu disangrai (tanpa minyak) dalam wajan, dengan nyala api sedang, sampai kering berwarna kecoklatan.Â
Itulah kue tepung sasagun, khas Batak Toba. Kue yang disiapkan untuk dinikmati anggota keluarga dan tetamu pada hari Natal dan/sampai Tahun Baru.Â
Kue itu harus dinikmati dalam diam. Sebab jika memakannya sambil bercakap, ada risiko tersedak, lalu batuk menyemburkan sasagun keluar dari rongga mulut. Malanglah wajah orang yang duduk di hadapannya.
Secangkir Kopi
Kopi adalah tanaman tahunan yang diperkenalkan Pemerintah Hindia Belanda kepada orang Batak Toba tahun 1930-an. Dibanding karet (Silindung) dan teh (Parsoburan), maka kopi terbilang tanaman introduksi paling sukses di Kakdera Toba dan sekitarnya.
Sudah pasti kebun kopi rakyat yang paling menonjol perkembangannya terdapat di daerah Humbang. Desa Lintong Nihuta tampil sebagai lokasi porlak, kebun kopi arabika terbaik seantero Kaldera Toba. Reputasi kopi Lintong kini sudah mendunia, sama seperti kopi Mandheling (Mandailing) di selatan dan kopi Gayo di utara (Aceh).
Kopi dengan cepat diadopsi orang Batak di lingkar Kaldera Toba sebagai tanaman kebun. Â Mulai dari skala beberapa are sampai 1-2 hektar. Kebun kopi lazimnya di belakang rumah. Tapi bisa juga di tepi hutan.
Varietas kopi yang diusahakan bervariasi antara arabika dan robusta. Paling fenomenal adalah arabika Sigararutang, kopi unggul dengan rasa istimewa yang dikembangkan di Lintongnihuta.Â
Dinamai Sigararutang karena produktivitasnya tinggi dan pasarnya sangat bagus, sehingga uang hasil penjualannya lebih dari cukup untuk garar, bayar utang.
Kopi kemudian tampil sebagai "juru selamat" ekonomi keluarga Batak di saat paceklik. Â Pertanaman padi sawah di Kaldera Toba dulu hanya sekali setahun. Pada bulan-bulan menunggu panen dan menunggu tanam, penghasilan dari kebun kopi adalah penyokong ekonomi keluarga.
Mengikut adopsi tanaman kopi, orang Batak dengan cepat punya kebiasaan baru yaitu minum kopi pagi dan atau sore hari di rumah atau kedai. Kopi menjadi minuman populer bagi orang Batak. Tamu di rumah lazim disuguhi kopi.
Bagi keluarga yang tak punya kebun kopi, toko penggilingan kopi di pasar adalah satu-satunya sumber kopi bubuk. Lazimnya kopi bubuk dibeli sekali seminggu -- pada hari pasar mingguan.
Tapi bagi keluarga pemilik kebun kopi, bubuk kopi bisa diperoleh dengan cara mengolah sendiri. Kakek dan nenekku di Panatapan kerap melakukannya. Kopi merah ranum dipetik dari kebun di belakang rumah. Lalu ditumbuk di lumpang kayu untuk melepas kulitnya. Setelah itu dijemur beberapa hari di bawah terik matahari. Selanjutnya, setelah kering, biji kopi ditumbuk lagi sampai didapatkan biji kopi bersih.Â
Tahap selanjutnya, biji kopi disangrai sampai berwarna coklat. Didinginkan dulu, baru kemudian ditumbuk di lumpang sampai hancur menjadi bubuk. Bubuk itu lalu diayak dan diperolehlah bubuk kopi murni siap seduh. Itulah bubuk kopi sejati yang diolah dengan cara kampung.
Simbol Budaya Agraris
Dalam kerangka interpretivisme, atau khususnya "lukisan mendalam" (thick description) ala Clifford Geertz, Â sepiring sasagun dan secangkir kopi yang tersaji saat ramah-tamah Natal dan Tahun Baru adalah simbolisme kultur agraris orang Batak Toba. Ada sesuatu yang dinyatakan dengan sajian itu.
Di satu sisi sasagun adalah simbol keteguhan orang Batak mempertahankan inti budayanya yaitu tradisi budidaya padi. Tradisi yang sudah berlangsung (mungkin) selama satu milenium.
Di lain sisi secangkir kopi adalah simbol keterbukaan petani Batak Toba terhadap inovasi baru di bidang pertanian. Baik itu inovasi teknologi budidaya semacam pupuk, pestisida, pola tanam, dan benih varietas unggul baru. Maupun inovasi berupa jenis tanaman (komoditas) baru seperti kopi, kakao, dan nilam.
Sajian sasagun dan kopi pada hari Natal dan Tahun Baru bagi orang Batak dengan demikian bukanlah sekadar penganan biasa. Keduanya adalah pernyataan nilai budaya agraris dalam perayaan Natal dan Tahun Baru.Â
Makan sasagun adalah simbolisme keteguhan pada tradisi pertanian padi warisan leluhur. Mengingatkan kelahiran Yesus Kristus pada Malam Natal juga tak menghilangkan tradisi tetapi memperbaruinya.
Minum secangkir kopi adalah simbolisme keterbukaan orang Batak pada pembaruan demi hamajuon, kemajuan. Seperti halnya adopsi tanaman kopi yang mempersyaratkan penguasaan pengetahuan baru.Â
Sasagun dan kopi dengan demikian menjadi pengingat  bagi orang Batak Toba untuk senantiasa menjaga keseimbangan dan sinergi antara "yang lama" dan "yang baru", antara "tradisi" dan "modernitas". Sesuatu yang selalu diingatkan kembali dalam momen gathering and sharing keluarga besar Batak saat peralihan dari tahun lama ke tahun baru.Â
Betul "revolusi biskuit" (KGB, Khong Guan Biskuit) dan "revolusi sirop" (Markisa) sampai batas tertentu bisa mensubstitusi sasagun dan kopi. Tapi "revolusi" itu tidak pernah bisa melenyapkankannya sama sekali.Â
Ya, tidak akan pernah. Sasagun dan kopi selamanya adalah pengingat budaya agraris bagi orang Batak di Kaldera Toba. Pengingat yang disajikan di ruang makan keluarga-keluarga sekali setahun, sepanjang hari-hari perayaan Natal dan Tahun Baru.Â
Selamat Natal dan Tahun Baru. Horas jala gabe. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H