Konteks aktivitasku menulis itu adalah relasi dan interaksi sosial antara "Batak Dalam" dan "Batak Luar". Â Tipologi ini sekadar membedakan antara orang Batak yang tinggal di Tanah Batak ("Batak Dalam") dan yang tinggal di tanah rantau atau luar Tanah Batak ("Batak Luar").
Struktur relasi dan interaksi antara "Batak Dalam" dan "Batak Luar" itu cenderung asimetrik. Hal itu terjadi karena "Batak Luar" umumnya lebih kuat secara sosial (pendidikan), ekonomi (kesejahteraan), dan politik (kekuasaan) dibanding "Batak Dalam". Â Maka ada relatif ketergantungan sosial, ekonomi, dan politik "Batak Dalam" terhadap "Batak Luar".
Contoh gamblangnya adalah program-program pembangunan Kaldera Toba sebagai destinasi prioritas wisata sekarang ini. Â Tanpa peran sosial, ekonomiorang "Batak Luar", yaitu Luhut B. Panjaitan dan jaringannya, hal itu mungkin tak akan pernah jadi kenyataan.
Aku sendiri, putra Batak asli Uluan Toba. Kini adalah seorang "Batak Luar" yang tinggal di Pulau Jawa. Â Dari Jawa, berkat teknologi internet, secara mental aku bisa menekuk ruang dan waktu untuk berkunjung kapan saja ke, dan ke titik mana saja di, Tanah Batak atau Kaldera Toba. Â Mencari dan mengumpul informasi atau data tentang masyarakat dan tanah Batak. Mengolah dan menganalisisnya. Lalu menulis dan mengagihkannya kepada khalayak.
Aku tak menulis hanya kebaikan tetapi juga keburukan kondisi Kaldera Toba. Baik itu tentang geologi dan biologinya maupun tentang budayanya. Prinsipnya hal yang baik dilanjutkan dan dikembangkan. Sedangkan yang buruk dikoreksi demi kebaikan.
Definisi "pulang" (ke kampung halaman) bagi orang "Batak Luar" berbeda-beda. Ada yang pulang memberi tenaga, dana, dan pemikiran. Ada yang pulang dalam rupa dana saja. Dan ada yang pulang dalam bentuk gagasan atau buah pemikiran.
Aku seorang "Batak Luar" yang punya hanya pemikiran. Maka itulah yang kusumbangkan untuk kemajuan Bona ni Pinasa, Kaldera Toba.
Kaldera Toba sebagai Ekologi Manusia
Aku sebenarnya sudah sejak 2015 menulis tentang Batak di Kompasiana. Tapi semua tulisan itu secara keseluruhan kutempatkan di bawah payung "Sosiologi Kebatakan". Sesuai bidang keilmuanku, Sosiologi Pedesaan.
Tapi "kartu kuning" dari UNESCO untuk Geopark Kaldera Toba -- salah satu Geopark Global UNESCO (sejak 2020) -- pada September 2023 yang lalu telah mengubah cara pandangku tentang Tanah Batak.
Tadinya aku melihat Tanah Batak dengan perspektif sosiologi pedesaan. Karena itu aku lebih banyak menyoroti masalah-masalah struktural dan budaya (dalam arti luas) masyarakat Batak Toba di lingkar Danau Toba sana.Â