"Arga do bona ni pinasa di angka na burju marroha. Sai ingot ma mulak tu huta, mulak tu bona ni pinasa." --Romulus Tobing (Lagu Batak "Arga do Bona ni Pinasa"
Arti kutipan itu lebih-kurang begini. Bagi orang yang berhati baik, kampung halaman sangat berharga. Ingatlah selalu pulang ke kampung, pulang ke kampung halaman.
Orang Batak (Toba) menamsilkan kampung halaman sebagai bona ni pinasa, pohon nangka. Ada filosofinya. Tapi untuk gampangnya bisa diringkas dengan frasa "buah nangka tak lupa pohonnya". Â
"Pohon nangka" itu jadinya semacam pohon silsilah marga-marga, tarombo parmargaon bagi orang Batak.  Di manapun seorang Batak (Toba) berada, tarombo akan membawanya kembali ke kampung halaman. Dan kalau dirunut terus ke atas, maka pada akhirnya dia akan bertemu dengan semua orang Batak pada lembaga "Si Raja Batak".
Itu hanya cara untuk mengatakan sahat-sahat ni solu sai sahatma hu bontean -- kemanapun perahu berlayar pada akhirnya akan pulang ke dermaga awal.
"Pulang" dalam hal ini  bisa dalam arti fisik. Secara lahiriah pulang ke kampung halaman di Tanah Batak sana.  Lalu berbuat sesuatu kebaikan di sana.Â
Tapi "pulang" bisa juga dalam arti psikis. Secara fisik raga di rantau, tapi pikiran pulang kembara ke kampung halaman, memikirkan hal baik yang bisa dilakukan di sana dan membagikannya ke khalayak.
Itulah yang sedang kulakoni dengan menulis tentang Kaldera Toba. Â Aku sedang pulang secara psikis, memikirkan kebaikan untuk Kaldera Toba sebagai Bona ni Pinasa, dan membagikan pemikiran itu kepada khalayak. Barangkali saja ada orang Batak di Bona ni Pinasa sana atau di tano parserahan, tanah rantau yang membacanya dan tergerak melakukan kebaikan di sana.
Itu motif atau alasanku untuk menulis tentang Kaldera Toba.
"Batak Dalam" dan "Batak Luar"
Konteks aktivitasku menulis itu adalah relasi dan interaksi sosial antara "Batak Dalam" dan "Batak Luar". Â Tipologi ini sekadar membedakan antara orang Batak yang tinggal di Tanah Batak ("Batak Dalam") dan yang tinggal di tanah rantau atau luar Tanah Batak ("Batak Luar").
Struktur relasi dan interaksi antara "Batak Dalam" dan "Batak Luar" itu cenderung asimetrik. Hal itu terjadi karena "Batak Luar" umumnya lebih kuat secara sosial (pendidikan), ekonomi (kesejahteraan), dan politik (kekuasaan) dibanding "Batak Dalam". Â Maka ada relatif ketergantungan sosial, ekonomi, dan politik "Batak Dalam" terhadap "Batak Luar".
Contoh gamblangnya adalah program-program pembangunan Kaldera Toba sebagai destinasi prioritas wisata sekarang ini. Â Tanpa peran sosial, ekonomiorang "Batak Luar", yaitu Luhut B. Panjaitan dan jaringannya, hal itu mungkin tak akan pernah jadi kenyataan.
Aku sendiri, putra Batak asli Uluan Toba. Kini adalah seorang "Batak Luar" yang tinggal di Pulau Jawa. Â Dari Jawa, berkat teknologi internet, secara mental aku bisa menekuk ruang dan waktu untuk berkunjung kapan saja ke, dan ke titik mana saja di, Tanah Batak atau Kaldera Toba. Â Mencari dan mengumpul informasi atau data tentang masyarakat dan tanah Batak. Mengolah dan menganalisisnya. Lalu menulis dan mengagihkannya kepada khalayak.
Aku tak menulis hanya kebaikan tetapi juga keburukan kondisi Kaldera Toba. Baik itu tentang geologi dan biologinya maupun tentang budayanya. Prinsipnya hal yang baik dilanjutkan dan dikembangkan. Sedangkan yang buruk dikoreksi demi kebaikan.
Definisi "pulang" (ke kampung halaman) bagi orang "Batak Luar" berbeda-beda. Ada yang pulang memberi tenaga, dana, dan pemikiran. Ada yang pulang dalam rupa dana saja. Dan ada yang pulang dalam bentuk gagasan atau buah pemikiran.
Aku seorang "Batak Luar" yang punya hanya pemikiran. Maka itulah yang kusumbangkan untuk kemajuan Bona ni Pinasa, Kaldera Toba.
Kaldera Toba sebagai Ekologi Manusia
Aku sebenarnya sudah sejak 2015 menulis tentang Batak di Kompasiana. Tapi semua tulisan itu secara keseluruhan kutempatkan di bawah payung "Sosiologi Kebatakan". Sesuai bidang keilmuanku, Sosiologi Pedesaan.
Tapi "kartu kuning" dari UNESCO untuk Geopark Kaldera Toba -- salah satu Geopark Global UNESCO (sejak 2020) -- pada September 2023 yang lalu telah mengubah cara pandangku tentang Tanah Batak.
Tadinya aku melihat Tanah Batak dengan perspektif sosiologi pedesaan. Karena itu aku lebih banyak menyoroti masalah-masalah struktural dan budaya (dalam arti luas) masyarakat Batak Toba di lingkar Danau Toba sana.Â
Status Geopark Kaldera Toba itulah yang mengubah perspektifku. Aku kini melihatnya dengan perspektif ekologi manusia, suatu ajang interaksi manusia dengan lingkungannya.Â
Tiga pilar geopark yaitu geologi, biologi (hayati), dan budaya berinteraksi secara triangular mewujudkan suatu ekologi manusia yang kini disebut Kaldera Toba. Interaksi itu setidaknya dimulai 30,000 tahun lalu, sejak Pulau Samosir timbul ke permukaan dari dasar danau kaldera. Menyusul letusan dahsyat Gunung Toba 74,000 tahun lalu.
Mulanya adalah interaksi antara geologi dan biologi. Ini menghasilkan kekayaan flora dan fauna Kaldera Toba.Â
Manusia Batak mungkin baru hadir di sana 1,000 tahun lalu. Mereka, dengan kekuatan budayanya, mengelola kekayaan geologis dan biologis di sana.Â
Maka jadilah interaksi triangular antara kekayaan geologi, biologi, dan budaya dalam 1,000 tahun terakhir. Itulah suatu proses ko-evolusi antara tiga pilar yang membentuk Kaldera Toba sebagai sebuah ajang ekologi manusia.Â
Kaldera Toba sebagai ekologi manusia berkembang menuju kompleksitas interaksi triangular antara tiga pilarnya. Pilar budaya tampil memimpin di situ. Dia menentukan apakah Kaldera Toba akan menjadi berkah berkelanjutan bagi manusia. Atau sebaliknya menjadikannya lembah derita.
Di satu sisi geologi dan biologi kaldera menghidupi manusia di sana. Tapi di lain sisi ulah manusia yang eksploiratif telah mendorong geologi, berikut hidrologi, memukul balik manusia kaldera lewat bencana tsnah longsor dan banjir bandang.Â
Kompleksitas interaksi triangular antara geologi, biologi, dan budaya itulah yang menjadi fokus kajian ekologi manusia. Sekaligus itu pula yang menjadi fokus tulisan-tulisanku tentang Kaldera Toba.
Bukan kerja pikir yang mudah, tentu saja. Sebagai sosiolog pedesaan, akuxmungkin tak perlu belajar keras lagi ilmu-ilmu sejarah, antropologi, ekonomi, pertanian, dan ekologi pedesaan. Sosiologi pedesaan yang aku pelajari mencakup semua itu.Â
Tapi geologi, hidrologi, dan arkeologi? Aku harus jungkir balik mempelajarinya. Agar tak salah mengerti hasil riset ilmu-ilmu itu, dan tak menyesatkan pembaca dengan informasi keliru.
Begitulah tantangan menulis Kaldera Toba dengan perspektif Ekologi Manusia. Menyerah? Tidaklah. Aku sudah terlalu tua untuk menyerah.
Hasahatan
Suatu repertoar Gondang Batak selalu diakhiri dengan Gondang Hasahatan, gondang penutup. Demikian pula tulisan ini akan kuakhiri dengan kalimat hasahatan.Â
Begini. Orang "Batak Dalam" dalam suka bicara dengan nada sinikal pada orang "Batak Luar". "Kami tak perlu pikiranmu. Kami bisa berpikir sendiri. Kami perlu uangmu untuk membangun bona ni pinasa."
Betulkah? Sudah berapa banyak uang yang dikirim orang "Batak Luar" kepada orang "Batak Dalam" selama ini? Adakah kemajuan sosial-ekonomi yang signifikan di Kaldera Toba kecuali makam dan tugu leluhur yang semakin banyak serta menara gereja yang semakin tinggi?
Uang memang perlu. Tapi jangan pernah meremehkan kekuatan pemikiran. Tanpa disertai pemikiran tentang apa yang sebaiknya dibangun atau dikembangkan di Kaldera Toba, uang itu mungkin hanya berakhir sia-sia dalam bentuk saksang, tanggo-tanggo dan tuak.
Kesia-siaan semacam itulah yang selayaknya dihindari. Maka aku menulis tentang Kaldera Toba.(eFTe)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI