Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kaldera Toba Menuju Tragedi Kepemilikan Bersama?

5 Desember 2023   05:58 Diperbarui: 5 Desember 2023   18:11 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi permukiman Desa Simangulampe, Baktiraja Humbang Hasundutan, Sumut pada 2 Desember 2023, sehari setelah terjangan banjir bandang dan longsor (Foto: Kantor SAR Medan via hariansib.com)

"Tak perlu menunggu Gunung Toba meletus lagi untuk menghancurkan Kaldera Toba. Cukup dengan ulah manusia mengeksploitasi tanpa merawatnya. Maka Kaldera Toba akan menjadi lembah kematian." -Felix Tani.

Tahun 1996 atas prakarsa Bapedal, aku bergabung ke dalam satu tim penelitian masalah pencemaran di Danau Toba. Isu utama waktu itu adalah tingginya volume polutan air danau di satu sisi. Sementara di sisi lain terjadi penurunan ekstrem debit air pada sungai-sungai yang bermuara ke danau, sehingga danau mengalami pendangkalan terutama di musim kemarau.

Dua soal itu, kenaikan volume polutan dan penurunan volume air masuk, berakibat peningkatan konsentrasi polutan di badan danau. Salah satu indikasinya adalah perluasan area tutupan eceng gondok di garis pantai, tersebab tingginya kandungan hara di danau.

Itu masalah serius. Waktu itu Danau Kerinci (Jambi) dan Danau Tempe (Sulsel) hampir hilang di bawah tutupan eceng gondok. Kalau pencemaran tak dikendalikan, tak mustahil pula Danau Toba akan mengalami nasib serupa.

Waktu itu kami mengunjungi  lima lokasi di pantai luar dan dalam Danau Kaldera Toba Tongging di utara, Pangururan di barat, Balige di selatan, dan Ajibata serta Simanindo di timur.  Hanya untuk meriset sumber-sumber polutan dan tutupan eceng gondok sebagai bukti dampaknya. Lima lokasi itu sampel saja.

Berdasar hasil riset, kami mengajukan dua rekomendasi solutif waktu itu.

Karamba jaring apung di perairan Danau Kaldera Toba (Foto: tubasmedia.com)
Karamba jaring apung di perairan Danau Kaldera Toba (Foto: tubasmedia.com)

Pertama, pada aras kebijakan, kami mengusulkan gagasan Penghargaan Kalpataru untuk tingkat kota kecamatan.  

Faktanya kota-kota kecamatan lingkar danau adalah sumber polutan.  Limbah pertanian, peternakan, jasa bengkel, industri kecil, dan rumah tangga dari kota dan desa sekitarnya mengalir begitu saja  ke danau lewat sungai. Kalpataru mungkin bisa mendorong pemerintah setempat untuk mengendalikan pencemaran.

Kedua, pada aras komunitas, kami menyarankan penggunaan eceng gondok sebagai pakan tambahan untuk ternak babi. 

Saran itu bermaksud menekan tutupan eceng gondok di garis pantai danau. Bersama Dinas Peternakan, kami membikin percontohan di Balige. Kami membeli dua ekor anakan babi untuk dipiara seorang warga setempat. Dia baru tahu babi ternyata mau makan racikan eceng gondok.

Tempus fugit, waktu berlalu.  Beberapa tahun setelah kegiatan riset itu, Kalpataru dihapuskan. Proyek percontohan "babi makan eceng gondok" juga tak ada lagi kabarnya. Kami yakin dua ekor babi itu sudah berubah menjadi saksang, cincang bumbu darah khas Batak.

Kematian ratusan ton ikan budidaya jaring apung di Danau Toba tahun 2018 (Foto: via tirto.id)
Kematian ratusan ton ikan budidaya jaring apung di Danau Toba tahun 2018 (Foto: via tirto.id)

***

Setelah riset tahun 1996 itu, aku tak begitu intens mengikuti perkembangan isu lingkungan Kaldera Toba. Walau tak sepenuhnya abai, sih. Sesekali masih baca dan dengar berita joroknya air danau, matinya ratusan ton ikan di jaring apung, penggundulan hutan, erosi dan banjir badang, dan penurunan tinggi permukaan danau.

Sampai tiba tahun 2014. Aku baca berita Kaldera Toba ditetapkan sebagai Geopark Nasional Kaldera Toba. Lalu seiring itu upaya menjadikan Kaldera Toba sebagai Geopark Global UNESCO -- yang sudah dirintis sejak awal 2010-an -- juga semakin intensif.

Rupanya penetapan geopark nasional, dan pengupayaan status geopark global, itu adalah langkah-langkah pengendalian degradasi lingkungan Kaldera Toba. Status geopark dijadikan instrumen pengendalian dampak-dampak lingkungan.

Lantas aku coba pelajari draft naskah Master Plan Kaldera Toba 2018-2030. Sejumlah gejala degradasi lingkungan diungkap di situ. 

Pertama, peningkatan dan perluasan erosi permukaan tanah. Sekitar 42 persen dari kawasan Kaldera Toba adalah lereng perbukitan dengan kemiringan >15 persen, curam dan terjal dan, karena itu, rawan erosi.

Disebutkan 97 persen tanah kaldera adalah jenis rawan erosi -- 58 persennya tergolong sangat rentan. Seperti litosol, regosol, podsolik coklat, dan tanah hutan coklat. Jenis-jenis tanah ini gampang tergerus aliran permukaan (run off) saat turun hujan lebat.

Tingkat erosi tinggi itu berdampak ganda. Di satu sisi mengupas lapisan atas tanah (top soil), sehingga menambah luas areal lahan kritis di daerah tangkapan air (DTA) Kaldera Toba. 

Sekitar 38 persen luas areal tergolong lahan kritis (belukar, rumput ilalang, dan gundul). Di lain sisi dia meningkatkan sedimentasi danau sehingga terjadi pendangkalan.

Kedua, peningkatan kerusakan lahan dan hutan. Penebangan liar dan konsesi hak pengusahaan hutan yang tak terkendali telah menyebabkan pengurangan luasan hutan di Kaldera Toba.  Idealnya luas hutan sekitar 144,000 ha (51 persen dari luas DTA), faktanya tinggal sekitar 58,000 ha (15 persen areal DTA, data satelit 2012). 

Sekali hutan ditebang, maka pemulihannya cenderung kalah oleh erosi. Bekas hutan justru berubah menjadi belukar dan padang ilalang.  Pada musim kemarau, belukar dan ilalang rentan terbakar, sehingga areal berubah menjadi lahan gundul. Erosi mengikis tanah, menyisakan batuan yang mustahil ditumbuhi tanaman.

Kondisi itu diperparah pula dengan munculnya usaha Galian C, penambangan batu di dinding kaldera bahkan sampai puncaknya..

Pada gilirannya kondisi tanah kritis itu bisa berujung pada tanah longsor dan banjir badang. Hal itu baru saja terjadi misalnya di Simangulampe, Bakkara - Baktiraja, Humbang Hasundutan.  Sebelumnya terjadi di desa Sabulan, sebelah barat Baktiraja.

Ketiga, peningkatan pencemaran air dari limbah peternakan, pertanian, perikanan jaring apung, dan rumah tangga.  Akibatnya air danau mengalami pengayaan kadar hara (eutrofikasi),  semisal mineral dan nutrisi, juga nitrogen dan fosfor.  Kondisi inilah yang memicu perluasan tutupan eceng gondok di Danau Toba. 

Peningkatan pencemaran itu sudah menimbulkan pukulan balik.  Ratusan ton ikan telah mati di area budidaya karamba jaring apung alam beberapa tahun terakhir. Arus bawah air telah mengangkat endapan limbah pakan ikan (pelet) ke permukaan, sehingga ikan mati sesak nafas karena kekurangan oksigen.

Apa yang sedang terjadi di Kaldera Toba adalah semacam gejala tragedi kepemilikan bersama (tragedy of the commons, Garret Hardin). Semua pihak merasa paling berhak untuk mengeksploitasi dan mendapat manfaat terbesar dari Kaldera Toba.  Tapi tak ada pihak yang merasa paling wajib memelihara kelestarian Kaldera Toba.  

Jika diminta untuk memperbaiki kerusakan lingkungan kaldera, atau memeliharanya, maka pihak-pihak pemanfaat itu akan marsitugan-tuganan, saling lempar tanggung-jawab. Begitu terjadi terus-menerus sehingga tidak ada yang bertanggung-jawab dan, sementara itu, mutu lingkungan Kaldera Toba semakin memburuk.

Kondisi permukiman Desa Simangulampe, Baktiraja Humbang Hasundutan, Sumut pada 2 Desember 2023, sehari setelah terjangan banjir bandang dan longsor (Foto: Kantor SAR Medan via hariansib.com)
Kondisi permukiman Desa Simangulampe, Baktiraja Humbang Hasundutan, Sumut pada 2 Desember 2023, sehari setelah terjangan banjir bandang dan longsor (Foto: Kantor SAR Medan via hariansib.com)

***

Jika tiga jenis degradasi lingkungan di atas tak dikendalikan, maka cepat atau lambat Kaldera Toba akan menuju kerusakan parah (deteriorisasi).  Keragaman geologis dan biologisnya terancam hilang.  Air danau menjadi toksik. Daya dukung Kaldera Toba sebagai ekologi manusia merosot. 

Semua kualitas dunia pada Kaldera Toba akan hilang. Keindahan bentang alam, kekayaan geologis, kekayaan hayati, dan keunikan budaya-budaya kebatakan akan hilang. 

Singkat kata, Kaldera Toba akan berubah menjadi semacam rura partangisan,  lembah penderitaan atau lembah orang-orang mati.

Pemerintah dan masyarakat sipil pecinta Kaldera Toba tak ingin hal itu terjadi. Karena itu dibentuk tim untuk merealisasikan gagasan Kaldera Toba sebagai geopark global. Targetnya status geopark menjadi instrumen konservasi ekologi manusia Kaldera Toba. 

Konservasi tersebut mencakup tiga pilar geopark sebagai ekologi manusia. Keragaman geologis, biologis, dan budaya lokal.Termasuk di dalamnya pengembangan ekonomi masyarakat setempat.

Ketika Kaldera Toba diresmikan sebagai geopark nasional (2014) dan, kemudian, geopark global UNESCO (2020), harapan peningkatan upaya konservasi Kaldera Toba rasanya sudah di depan pintu. Tapi itu rupanya hanya ibarat pungguk merindu bulan.

Ternyata Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba (BPGKT) yang dibentuk untuk menjalankan pengelolaan dan pengembangan kawasan kaldera tak punya gigi. Padahal badan itu dibentuk untuk memimpin tanggungjawab konservasi Kaldera Toba yang selama ini alpa.

Masalahnya badan aras propinsi itu -- dibentuk berdasar Pergub Sumut -- tidak otonom dan tak punya anggaran khusus. Dia cuma dicangkokkan pada Dinas Pariwisata danKebudayaan (Disparbud) Sumut. Akibatnya BPGKT tidak bisa menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) sendiri. Karena itu dia tak punya program kerja definitif berikut anggarannya.

Jadi sejak dibentuk atau sepanjang 2020-2023 badan itu praktis tak melakukan program aksi yang berdampak signifikan. Baik itu konservasi geologis, biologis, dan budaya maupun pengembangan ekonomi rakyat. Degradasi lingkungan kaldera tetap berlangsung di depan mata.

Tak heran bila pada  September 2023 yang lalu GKT mendapat "kartu kuning", peringatan keras dari UNESCO. Sejumlah rekomendasi program aksi konservasi dan pengembangan ekologi manusia kaldera diberikan. Juga rekomendasi reorganisasi BPGKT. Jika itu tak dijalankan maka status "geopark global" akan dicabut dari Kaldera Toba. Itu "kartu merah".

Sudah tiga bulan berlalu sejak "kartu kuning" diberikan. Tapi Pemda Sumut dan BPGKT masih adem-ayem, business as usual. Belum ada tanda-tanda reorganisasi BPGKT. Jangan kata inisiatif pelaksanaan program-program aksi yang direkomendasikan UNESCO.

Sementara itu sebuah badan aras nasional, yaitu Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) -- berstatus Badan Layanan Umum Kementerian Parekraf --  sudah beroperasi pula di Kaldera Toba sejak 2016. Orientasi BPODT adalah eksploitasi potensi ekonomi wisata kaldera. Ini kontradiktif dengan orientasi konservasi pada BPGKT.

Proyek inti BPODT itu adalah pengembangan Resort Kaldera Toba seluas 281 ha (HPL) di Sibisa. Proyek ini telah memicu sengketa agraria dengan masyarakat adat Sigapiton, komunitas lembah di bawah resort itu. BPODT disebut telah merampas tanah adat Sigapiton, selain juga mengancam kelestarian hutan sumber air milik desa itu.

Konstelasi kekuatan sosial-ekonomi di atas Kaldera Toba kini menunjukkan ketimpangan. Di satu pihak ada BPODT dan jaringan korporasi pariwisata yang gencar berinvestasi untuk eksploitasi potensi bisnis wisata Kaldera Toba. Pihak ini otonom dan sangat kuat dari segi kuasa dan kapital.

Di lain pihak ada BPGKT yang berjuang untuk konservasi dan pengembangan sosio-budaya dan ekonomi lokal. Pihak ini tidak otonom dan sangat lemah dari segi kuasa dan kapital. 

Jika ketimpangan kuasa dan  kapital antara entitas eksploitatif (BPODT serta korporasi wisata) dan entitas konservatif (BPGKT serta masyarakat sipil) tak segera dikoreksi maka, tidak bisa lain, Kaldera Toba akan bergerak menuju tragedi kepemilikan bersama.

Namun ada satu cara yang sudah tersedia di depan mata untuk mencegah hal itu terjadi. Itulah penguatan BPGKT serta masyarakat sipil untuk konservasi dan pengembangan keragaman geologis, biologis, dan budaya kaldera.  

Dengan cara itu, perimbangan kekuatan eksploitasi dan konservasi bisa tercapai. Sehingga besar harapan Kaldera Toba tidak terdeteriorisasi menjadi rura partangisan, lembah ratapan. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun