Sementara itu sebuah badan aras nasional, yaitu Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) -- berstatus Badan Layanan Umum Kementerian Parekraf -- Â sudah beroperasi pula di Kaldera Toba sejak 2016. Orientasi BPODT adalah eksploitasi potensi ekonomi wisata kaldera. Ini kontradiktif dengan orientasi konservasi pada BPGKT.
Proyek inti BPODT itu adalah pengembangan Resort Kaldera Toba seluas 281 ha (HPL) di Sibisa. Proyek ini telah memicu sengketa agraria dengan masyarakat adat Sigapiton, komunitas lembah di bawah resort itu. BPODT disebut telah merampas tanah adat Sigapiton, selain juga mengancam kelestarian hutan sumber air milik desa itu.
Konstelasi kekuatan sosial-ekonomi di atas Kaldera Toba kini menunjukkan ketimpangan. Di satu pihak ada BPODT dan jaringan korporasi pariwisata yang gencar berinvestasi untuk eksploitasi potensi bisnis wisata Kaldera Toba. Pihak ini otonom dan sangat kuat dari segi kuasa dan kapital.
Di lain pihak ada BPGKT yang berjuang untuk konservasi dan pengembangan sosio-budaya dan ekonomi lokal. Pihak ini tidak otonom dan sangat lemah dari segi kuasa dan kapital.Â
Jika ketimpangan kuasa dan  kapital antara entitas eksploitatif (BPODT serta korporasi wisata) dan entitas konservatif (BPGKT serta masyarakat sipil) tak segera dikoreksi maka, tidak bisa lain, Kaldera Toba akan bergerak menuju tragedi kepemilikan bersama.
Namun ada satu cara yang sudah tersedia di depan mata untuk mencegah hal itu terjadi. Itulah penguatan BPGKT serta masyarakat sipil untuk konservasi dan pengembangan keragaman geologis, biologis, dan budaya kaldera. Â
Dengan cara itu, perimbangan kekuatan eksploitasi dan konservasi bisa tercapai. Sehingga besar harapan Kaldera Toba tidak terdeteriorisasi menjadi rura partangisan, lembah ratapan. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H