Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Piala Dunia U-17: Strategi Galasin Indonesia Meredam Ekuador

11 November 2023   16:13 Diperbarui: 12 November 2023   17:25 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laga Grup A Piala Dunia U17 2023 antara Indonesia vs Ekuador di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, Jumat (10/11/2023).(SUCI RAHAYU/KOMPAS.COM)

Indonesia U-17 kalah dalam segalanya dari Ekuador U-17, kecuali dalam hal kualitas kiper dan jumlah gol.

Tadi malam, tepat pukul 19.00 WIB, aku duduk manis menonton laga perdana Indonesia U-17 di ajang Piala Dunia. Tanpa ditemani kopi dan kekacangan. Sebab aku takut kesedak biji dikotil kacang kalau Indonesia dibombardir.

Maklum, Ekuador U-17 itu bukan tim kaleng biskuit Kong Fe Lix. Tampang balok sangar, isi remah rangginang. Dia peringkat 2 Piala Conmebol U-17 Amerika Selatan. Brasil aja, peringkat 1, gak mampu menaklukkannya.

Indonesia U-17? Nah, harus diakui dengan rendah hati, tim kita ikut ajang Piala Dunia ini lewat tiket "Tuan Rumah". Dus, bukan karena perjuangan tim tapi karena upaya keren PSSI dan pemerintah.

Tapi ingat, keikut-sertaan itu prosedural, ya. Bukan hasil terabasan kolutif tak etis lewat perubahan aturan FIFA.

Karena itu aku sadar dirilah. Proses pembentukan dan penyiapan Indonesia U-17 itu jauh dari ideal. Cuma pemusatan latihan dan laga ujicoba melawan tim-tim U-17 lokal di Jerman. Tapi, ikut gaya Jawa, ini juga sudah untung.

Karena itu aku sampai terlonjak dari sofa saat gawang Ekuador dibibol Kaka dengan teknik tendangan bebek nyocor. What? Emejing!Skor 1-0 untuk Indonesia?

Bajingan dikau, Dik Kaka! Kau tumbuhkan seketika harapan di hatiku. 

"Bah, jago juga timku ini!" sorakku dalam hati. Maka kuseduh untukku itu secangkir kopi. Itu nunut nasihat Mas Jokpin (Joko Pinurbo): Keberhasilan sekecil apapun, layak dirayakan dengan secangkir kopi.

Sisa pertandingan setelah gol dunia Indonesia itu gue pantengin dengan debar jantung yang semakin berdebur. "Sialan ini kopi, keras banget." Aku mengkambing-hitamkan kopi perayaan itu.

Padahal, sejujurnya, aku kebat-kebit menyaksikan area penalti Indonesia ditusuki terus-menerus oleh pemain-pemain enerjik Ekuador dari sayap kiri-kanan dan jantung pertahanan. Terutama oleh Obando, Sanchez, dan Bermudez.

Hei, adik-adik Indonesia U-17, pade kemane aje. Itu striker dan penyerang Ekuador kok pada berdiri bebas di depan kotak penalti, sih? Emang boleh tanpa kawalan, gitu?

Maju terus pantang mundur, sih, boleh-boleh aja. Tapi itu kan model Bung Tomo tempur lawan Belanda di Surabaya. Kalau main sepakbola di Stadion Gelora Bung Tomo, ya kudu mundur-maju.

Kasihan Dik Ikram, kiper perkasa itu. Dia harus jungkir-balik banting-tulang menyelamatkan gawangnya dari tembakan-tembakan Ekuador. Untung Ikram hebat. He is man of the match tadi malam.

Kecemasanku berbuah sial. Sebuah umpan silang dari sudut pertahanan Indonesia disambut Obando, yang berdiri santuy tanpa kawalan di depan gawang, dengan tandukan jitu ke sudut kanan gawang Ikram. 

Gol! Skor 1 - 1. Hadeuh! Jantung lansiaku serasa runtuh ke skrotum.

Ingin aku Ikram mendadak menjadi Pangeran Mlaar yang bisa memelarkan tangannya untuk menepis bola. Tapi itu imajinasi lebay. Ekpresi rasa kecewa yang perih.

Oh ya, untuk kamu Generasi YZ yang tahunya cuma manga dan anime, Pangeran Mlaar itu karakter komik nasional di zaman bapakmu suka bolos sekolah. Disebut Mlaar karena tubuhnya bisa melar macam karet sesuai kebutuhan.

Babak pertama berakhir dengan skor 1 - 1. Sama kuat.

Memasuki babak kedua aku sudah menduga skenarionya. Ekuador akan menggempur habis-habisan sampai tetes keringat terakhir. Sebaliknya Indonesia akan bertahan mati-matian sampai kaki kram.

Benar saja!

Ekuador menguasai bola dan lapangan lewat formasi serang 4-2-3-1 dan benteng 4-5-1 yang dimainkan bolak-balik dengan kecepatan tinggi. Strategi itu jitu mengepung Indonesia di kotak pertahanannya sendiri. Juga ampuh mengusir Indonesia dari zona pertanan Ekuador.

Indonesia? 

Inilah yang tak diduga oleh pelatih dan pemain Ekuador. Di benak mereka, pasti membayangkan Indonesia akan memainkan strategi "parkir bus".

Itu sebabnya Ekuador ngotot melakukan serangan kilat dari sayap kiri dan kanan untuk mengirim bola ke belakang garis pertahanan Indonesia. Dengan maksud gundul atau sikil strikernya siap menceploskan bola ke gawang Ikram. 

Tapi Ekuador kecele. Indonesia gak "parkir bus". Tapi menjalankan strategi pragmatis "galasin", gobak sodor. Ini semacam formasi yang sangat cair, kombinasi lentur zona marking dan man to man marking. Formasinya berubah-ubah dengan cepat, sehingga menit ini 5-4-1, menit itu 5-5-0, kemudian 4-4-2, atau bahkan 8-1-1. 

Strategi "galasin" itu out of the box. Di luar text book sepakbola modern. Tak heran jika para pemain Ekuador kebingungan, tak kunjung berhasil membobol gawang Indonesia.

Strategi galasin itu begitu ampuh meredam ketajaman serangan Ekuador. Sehingga Ikram bisa memperkirakan sudut, arah dan kecepatan tembakan bola ke gawangnya. Hasilnya, tembakan-tembakan Ekuador bisa diantisipasi dengan tepat.

Target strategi galasin itu simpel. Jangan sampai satu bola pun lolos ke gawang Indonesia. Amankan gawang. Jaga ketat 4 kuadran daerah pertahanan. Kawal ketat pemain Ekuador di tiap garis pertahanan. Jangan sampai meloloskan bola lewat garis gawang.

Di situ skill pemain menjadi urusan nomor dua. Nomor satu adalah mentalitas, semangat juang. Karena itu pelatih Bima Sakti tak memberi arahan teknis lagi di babak kedua. Terlebih di injury time 13 menit. Cukup memberi tamparan semangat ke pipi dan bahu pemain.

Dan gila! It works, kawan!

Garuda-garuda muda itu ke-malaikat-an sampai bertumbangan karena kram. Ya, hanya kaki kram yang bisa menghentikan mereka.

Itu menimbulkan pertanyaan di benakku. Usia 17 tahun kan usia superhuman. Cowok seusia itu bahkan tahan begadang 3 hari 3 malam mengejar cinta gebetannya. Mosok ngejar bola 90 menit aja kok kram.

Apa sih kerja pelatih fisik Indonesia U-17 itu? Coba lihat pemain Ekuador. Gak ada itu kram. Mereka tetap bugar sampai akhir laga. Tak terlihat dampak jet lag. Seakan penwrbangan dari Ekuador ke Indonesia itu semacam penerbangan dari Ngurah Rai ke Juanda.

Tapi dengan semua kekurangan yang harus segera dibenahi, aku harus menyeduh secangkir kopi lagi untuk merayakan sukses Indonesia meredam Ekuador lewat strategi galasinnya.

Coach Bima Sakti, you're so brilliant with the "galasin" strategy.

Ingatlah selalu, kesertaan Timnas Indonesia U-17 di Piala Dunia ini bukan untuk cari pengalaman. Terlalu mewah itu kalau untuk cari pengalaman saja. Indonesia U-17 berlaga untuk menjadi pemenang. 

Itulah mentalitas yang harus ditanamkan kepada garuda-garuda belia itu. Masa depan sepakbola kita.

Akhirnya, kepada garuda-garuda muda, aku harus bilang: "Terimakasih. Kalian hebat menahan Ekuador. Kalian pasti bisa lebih hebat menekuk Panama. Dan pasti bisa sangat hebat menaklukkan Maroko.

Bermainlah dengan indah dan sederhana. Tak perlu itu aksi meliuk-liuk sampai kesrimpet kaki sendiri. Kurangi passing lambung karena tubuh kita relatif pendek. 

Permintaanku, tolong jangan bikin jantung lansia ini ambrol lagi ke skrotum. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun