Itu menimbulkan pertanyaan di benakku. Usia 17 tahun kan usia superhuman. Cowok seusia itu bahkan tahan begadang 3 hari 3 malam mengejar cinta gebetannya. Mosok ngejar bola 90 menit aja kok kram.
Apa sih kerja pelatih fisik Indonesia U-17 itu? Coba lihat pemain Ekuador. Gak ada itu kram. Mereka tetap bugar sampai akhir laga. Tak terlihat dampak jet lag. Seakan penwrbangan dari Ekuador ke Indonesia itu semacam penerbangan dari Ngurah Rai ke Juanda.
Tapi dengan semua kekurangan yang harus segera dibenahi, aku harus menyeduh secangkir kopi lagi untuk merayakan sukses Indonesia meredam Ekuador lewat strategi galasinnya.
Coach Bima Sakti, you're so brilliant with the "galasin" strategy.
Ingatlah selalu, kesertaan Timnas Indonesia U-17 di Piala Dunia ini bukan untuk cari pengalaman. Terlalu mewah itu kalau untuk cari pengalaman saja. Indonesia U-17 berlaga untuk menjadi pemenang.Â
Itulah mentalitas yang harus ditanamkan kepada garuda-garuda belia itu. Masa depan sepakbola kita.
Akhirnya, kepada garuda-garuda muda, aku harus bilang: "Terimakasih. Kalian hebat menahan Ekuador. Kalian pasti bisa lebih hebat menekuk Panama. Dan pasti bisa sangat hebat menaklukkan Maroko.
Bermainlah dengan indah dan sederhana. Tak perlu itu aksi meliuk-liuk sampai kesrimpet kaki sendiri. Kurangi passing lambung karena tubuh kita relatif pendek.Â
Permintaanku, tolong jangan bikin jantung lansia ini ambrol lagi ke skrotum. (eFTe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H