Padahal, sejujurnya, aku kebat-kebit menyaksikan area penalti Indonesia ditusuki terus-menerus oleh pemain-pemain enerjik Ekuador dari sayap kiri-kanan dan jantung pertahanan. Terutama oleh Obando, Sanchez, dan Bermudez.
Hei, adik-adik Indonesia U-17, pade kemane aje. Itu striker dan penyerang Ekuador kok pada berdiri bebas di depan kotak penalti, sih? Emang boleh tanpa kawalan, gitu?
Maju terus pantang mundur, sih, boleh-boleh aja. Tapi itu kan model Bung Tomo tempur lawan Belanda di Surabaya. Kalau main sepakbola di Stadion Gelora Bung Tomo, ya kudu mundur-maju.
Kasihan Dik Ikram, kiper perkasa itu. Dia harus jungkir-balik banting-tulang menyelamatkan gawangnya dari tembakan-tembakan Ekuador. Untung Ikram hebat. He is man of the match tadi malam.
Kecemasanku berbuah sial. Sebuah umpan silang dari sudut pertahanan Indonesia disambut Obando, yang berdiri santuy tanpa kawalan di depan gawang, dengan tandukan jitu ke sudut kanan gawang Ikram.Â
Gol! Skor 1 - 1. Hadeuh! Jantung lansiaku serasa runtuh ke skrotum.
Ingin aku Ikram mendadak menjadi Pangeran Mlaar yang bisa memelarkan tangannya untuk menepis bola. Tapi itu imajinasi lebay. Ekpresi rasa kecewa yang perih.
Oh ya, untuk kamu Generasi YZ yang tahunya cuma manga dan anime, Pangeran Mlaar itu karakter komik nasional di zaman bapakmu suka bolos sekolah. Disebut Mlaar karena tubuhnya bisa melar macam karet sesuai kebutuhan.
Babak pertama berakhir dengan skor 1 - 1. Sama kuat.
Memasuki babak kedua aku sudah menduga skenarionya. Ekuador akan menggempur habis-habisan sampai tetes keringat terakhir. Sebaliknya Indonesia akan bertahan mati-matian sampai kaki kram.
Benar saja!