Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lagu-Lagu Wajib Nasional Menghilang dari Sekolah Dasar?

9 November 2023   07:10 Diperbarui: 9 November 2023   07:12 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sasaran "Merdeka Belajar" di Sekolah Dasar (SD) -- saya batasicpada aras ini -- adalah profil pelajar Pancasila. Karena itu prakteknya di sekolah disebut Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).

Sasarannya membentuk pelajar dengan enam ciri Pancasilais. Beriman, bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia; berkebinekaan global; bergotong-royong; mandiri; bernalar kritis; dan kreatif.

Kurikulum Merdeka, suatu kurikulum yang berpusat pada kebutuhan pelajar, yang memadukan ragam metode ajar dan sumber-sumber belajar, diarahkan untuk pencapaian sasaran itu.

Maka jadilah SD kita hari ini menjadi ajang belajar-mengajar yang menjawab kebutuhan murid, dinamis, variatif, dan menyenangkan. 

Setidaknya begitu menurut paparan Mendikbudrustek, Pak Nadiem Makarim di berbagai kesempatan. Juga menurut cerita-cerita di medol dan medsos.

Walaupun, tentu saja, ada kritik pedas pada Kurikulum Merdeka. Baik dari pengamat dan guru maupun dari orangtua dan murid.

Ada sejumlah murid laki  SD yang mengerutu. Mereka merasa kegiatan belajar teramat padat, membebani, dan menyita waktu. Tak sempat lagi main bola, main layangan, dan nyolong mangga tetangga.

Ah, itu kan konten TikTok. Ya, tapi itu berangkat dari kenyataan.

Sebenarnya, sedikit berempati, kasihan juga murid-murid SD kita.  Demi masa depan NKRI, anak-anak sekecil itu harus berjibaku belajar sepanjang hari di sekolah. 

Yah, kita semangati saja. Semoga mereka pada ujungnya sukses menemukan profil pelajar Pancasila dalam dirinya.

***

Di atas adalah uraian ringkas upaya pembentukan profil pelajar Pancasila masa kini.  

Saya menafsir upaya tersebut sebagai proses pembentukan nasionalisme di kalangan pelajar.

Itu cara sekarang, ya. Kalau dulu kala, bagaimana?

Ya, ada juga. Tapu caranya agak laen -- istilah anak Medan. 

Saya bagikan pengalaman pribadi saja. Saat bersekolah di sebuah SDN kampung, jauh di pelosok Tanah Batak tahun 1960-an. 

Bwginilah cara sekolahku memupuk jiwa nasionalisme dalam diri kami waktu itu.

Setiap pagi sebelum masuk kelas, semua murid (kelas 1-6) berbaris di halaman depan sekolah. Kegiatan pertama adalah senam pagi bersama. Kata guru kami, "Mensana in corpore sano."

Selesai senam, dilanjut dengan upacara penghormatan bendera Merah-Putih. Benar-benar hanya penghormatan: "Kepada Bendera Merah-Putih, hormaaaat, grak!"

Tanpa upacara pengibaran bendera. Sebab anak-anak kelas 6 sudah mengibarkannya pagi-pagi benar. 

Usai hormat bendera, dilanjut menyanyikan lagu wajib nasional. Maka berkumandanglah lagu-lagu wajib nasional  setiap pagi, enam hari dalam seminggu.

Inilah daftar lagu yang kami nyanyikan waktu itu.

Tapi sepanjang ingatanku, upaya memupuk nasionalisme tak kurang-kurang waktu itu:

  • Indonesia Pusaka
  • Bagimu Negeri
  • Berkibarlah Benderaku
  • Maju Tak Gentar
  • Garuda Pancasila
  • Satu Nusa Satu Bangsa
  • Rayuan Pulau Kelapa
  • Dari Sabang Sampai Merauke

Lha, kok gak ada lagu kebangsaan "Indonesia Raya"? Adalah, setiap hari Senin.

Mau tahu bagaimana caranya kami bisa hafal lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu wajib nasional? 

Guru-guru kami -- satu kelas satu guru (pkus guru agama) -- mengajarkannya di kelas. Tanpa notasi. Cuma tulis syair di papan tulis. Lalu guru menyanyikan satu per satu baris. Murid menirukannya. Beres, satu lagu satu jam pelajaran.

Untuk melancarkannya, kami terbiasa mengulang-ulangnya sebubar kelas. Entah itu di jalan pulang, saat menghalau burung pipit di sawah, atau saat duduk di punggung kerbau.

Gak usah tanya bagaimana presisi pitch, nada dan tempo. Yang penting, nawaitu dan semangatnya.

Perkara saat bernyanyi di galaman sekolah ada beberapa murid yang nadanya out of tune, melenting sendiri, atau temponya memburu seolah sedang lomba lari 100 meter, yah, biarkan saja. Itu dianggap sebagai cerminan Bhinneka Tunggal Ika.

Tapi tak hanya lagu kebangsaan dan lagu wajib nasional. Upacara di halaman sekolah selalu ditutup dengan lagu gereja dan doa (HKBP).

Doanya pendek, sangat sahaja. "Metmet ahu on, bahen ias rohakkon. Sasada Ho Jesus, donganku tongtong." Aku ini anak kecil, jadikanlah hatiku bersih. Kau satu-satunya Yesus, temanku selalu.

Kalau lagu-lagu wajib nasional membangun jiwa nasionalisme, maka lagu gereja dan doa untuk membangun religiositas. Religiositas itu menghaluskan nasionalisme.

***

Apakah murid-murid SD di masa "Merdeka Belajar" kini masih menyanyikan lagu-lagu wajib nasional setiap pagi?

Entahlah, atau, saya gak yakin begitu. Kerap kali saya lewat pagi hari di depan beberapa SDN dan SDS di sekitaran Mampang Prapatan. Gak pernah tuh dengar anak-anak menyanyikan lagu-lagu wajib nasional.

Yang ada tahun lalu anak-anak rame pada nyanyiin  "Ojo Dibandingke", niruin Farel Prayoga. Tahun ini nyanyiin "Rungkad", niruin Putri Ariani. Hadeuh ...!  Tapi, ya, asyik juga, sih.

Sewaktu anak-anakku sekolah di SD tahun 2000-an, seingatku jarang juga mendengar mereka menyanyikan lagu-lagu wajib nasional. Komo di rumah, di sekolah saja jarang.

Menyanyikan lagu-lagu wajib nasional itu bisa menumbuhkan rasa nasionalisme. Setidaknya begitulah yang saya rasakan dulu waktu SD.

Menyanyikan lagu-lagu wajib nasional itu, bagiku adalah bagian dari proses emosional mengindonesia. Menumbuhkan benih nasionalisme dalam diri.

"Ini aku, anak Indonesia!" Kira-kira begitu kalau diteriakkan. Bukan sauvinisme, ya. Tapi nasionalisme.

Jika benar tradisi menyanyikan lagu wajib nasional dihapus dari SD, maka satu modus gembira untuk pembangkitan nasionalisme telah hilang.

Akhir-akhir ini saya perhatikan ritual religiositas lebih mewarnai hari-hari murid SD di sekolah. Entah itu membaca Kitab Suci atau berdoa. 

Tentu saja itu penting untuk memupuk iman, ketakwaan kepada Tuhan YME. Tapi tanpa imbangan dari upaya memupuk nasionalisme, religiositas dalam diri murid SD berisiko tergelincir menjadi fanatisme, lalu intoleransi.

Kita Indonesia. Nasionalisme, ya! Religiositas, ya.

Nasionalisme tanpa religiositas bisa tergelincir menjadi ateisme. Religiositas tanpa nasionalisme bisa tergelincir menjadi intoleransi.

Jika fakta dan pandangan di atas tak sesuai realitas lapangan, anggap saya kurang jauh pikniknya. Jadi gak usah dipikir. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun