Tambahan pemerintah kolonial punya semacam utang budi kepada zending. Zendinglah, atau Pendeta Nommensen, yang mengundang tentara Belanda menaklukkan Tanah Batak . Semasa Perang Batak (1878-1907),  pihak zending termasuk Nommensen sendiri  menjadi "penunjuk jalan" bagi tentara Belanda. Â
Peristiwa itu mengikuti skenario "Injil di depan, bedil di belakang". Â Kampung-kampung yang warganya mau dikristenkan, selamat. Sedangkan kampung-kampung yang warganya tak mau dikristenkan, dan itu berarti pengikut setia Sisingamangaraja XII, dibumi-hanguskan tentara Belanda. [2]
Pihak zending RMG sendiri juga resisten. Sebab ada cita-cita RMG untuk menjadikan Tanah Batak sebagai wilayah eksklusif Gereja Protestan Lutheran. Â Kedatangan misi Katolik dinilai akan membuyarkan cita-cita itu.
Tapi Mgr. Brans pantang menyerah. Dia berargumen bahwa peraturan kolonial yang melarang zending dan misi di satu daerah yang sama tidaklah adil. Sebab dalam kasus Tanah Batak, masih banyak orang Batak belum beragama samawi. Tambahan lagi, pada tahun 1922 sejumlah tokoh Batak telah menyurati Mgr. Brans, Â mohon agar misi Katolik berkarya Tanah Batak.
Setelah melalui perjuangan penuh liku, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda luluh. Pada 12 Agustus 1933 Gubernur Jenderal Hindia Belanda memberi izin bagi Misionaris Kapusin berkarya di Tapanuli atau Tanah Batak. Â Lalu pada 8 Februari 1934 keluar izin bagi pastor untuk menetap di Balige.Â
Balige, jantung Tanah Batak, sengaja dipilih sebagai pos misi Katolik karena lokasinya yang sangat strategis. Berkat pembangunan Terusan Wilhelmina (Tano Ponggol) di Pangururan (1907-1913) dan jalan raya ruas Tarutung-Parapat tahun 1917-1920, Balige telah menjadi kota yang paling terbuka ke delapan penjuru angin Tanah Batak.
Secara sosial-ekonomi, Balige pada paruh pertama 1930-an sudah menjadi kota termaju di Tanah Batak. Zending sudah mendirikan rumah sakit HKBP (1918) di sana. Sekolah-sekolah zending juga berdiri melengkapi sekolah-sekolah pemerintah. Kota ini juga dikembangkan Belanda menjadi pusat industri tenun terbesar di Sumatera. Pasar Balige terbilang paling ramai waktu itu di lingkar Danau Toba. Pelabuhannya ramai oleh perahu-perahu rakyat dari kampung-kampung di Samosir dan sisi luar danau.
Mukjizat 'Penjala Ikan' di Danau Toba
Dalam suka-cita menyambut izin tersebut, Mgr. Brans langsung menugaskan Pastor Sybrandus van Rossum, OFMCap (31 tahun) untuk karya misioner ke Tanah Batak. Pastor Rossum, waktu itu masih bertugas di Medan. Dia segera berkunjung ke Balige pada akhir September sampai awal November 1934 untuk penjajagan. Di sana dia mengontrak sebuah rumah di tepi pantai Danau Toba untuk tempat tinggalnya.
Pastor Rossum baru benar-benar datang ke Balige, untuk selanjutnya menetap di situ, pada 5 Desember 1934. Dia tiba menjelang senja, bertepatan hujan lebat mengguyur Balige.
Sambil menunggu hujan reda, di dalam rumah Pastor Rossum merenungkan misinya. Â Dia sudah membaca surat perutusan dari Mgr. Brans. Terngiang kata-kata uskupnya itu.
“Pastor Sybrandus, berbuatlah yang terbaik. Saya tugaskan engkau mentobatkan semua orang Batak di Toba. Carilah kontak dengan mereka di mana dan kapan engkau bisa. Carilah hubungan pada pagi hari, siang hari dan malam. Carilah hubungan seperlunya pada tengah malam. Pergilah senantiasa akan tetapi tidak boleh makan banyak biaya. Salam, Uskupmu."