Karena pemukiman berada di lahan miring, maka lazim orang Batak tempo dulu membangun teras-teras yang terbuat dari bebatuan alam yang terserak di kaki bukit. Hasilnya pertapakan kampung membentuk struktur punden berundak mengikuti kontur dan kemiringan bukit.Â
Mengelilingi kampung itu lazim dibangun parik, tembok pelindung yang antara lain terbuat dari susunan batu alam. Di atas tembok itu biasanya ditanam bambu duri untuk mempertebal benteng pertahanan. Hal itu mengingat di masa lalu kerap terjadi perang antar kampung.
Struktur kampung asli seperti itu, sepanjang pengamatan saya di sejumlah perkampungan asli Batak, lazim ditemukan di Pulau Samosir dan sekeliling pantai luar Danau Toba. Â
Penempatan pemukiman di lereng bukit punya alasannya sendiri. Pertama, agar tanah lembah sepenuhnya dapat digunakan sebagai sawah. Kedua, fungsi pertahanan, agar lebih mudah memantau dan mengalahkan musuh dari ketinggian. Ketiga, menghindari terpaan angin lembah yang kencang.
Jika diperhatikan, Bukit A Bakkara itu berada di dinding lembah sebelah barat, dekat ke pantai  pantai.  Di seberangnya, dinding lembah sebelah timur, terletak Istana Raja Sisingamangaraja.  Jika seseorang berdiri di puncak Bukit A, maka pandangannya akan terbuka bebas ke perairan Danau Toba di sebelah kiri dan ke jalan masuk lembah Bakkara di sebelah kanan. Â
Fakta itu menimbulkan pertanyaan apakah keberadaan kampung di Bukit A itu dulu adalah bagian dari sistem pertahanan "kerajaan" Sisingamangaraja? Satu tempat untuk memata-matai gerakan musuh?
Bukit A itu berada di perkampungan marga Marbun (Banjarnahor), salah satu dari enam marga di Bakkara yang disebut "Si Onom Ompu" (Bakkara, Simanullang, Sinambela, Marbun, Sihite, Simamora). Â Keenam marga ini adalah pendukung Sisingamangaraja yang wajib hadir dalam setiap penobatan Raja Sisingamangaraja.
Serahkan Bukit A Bakkara kepada Arkeolog
Saya pikir ucapan terimakasih patut disampaikan kepada Prof. Danny yang telah mengangkat isu "Piramida Toba" itu. Sebenarnya itu temuan "tak sengaja" ketika dia dan timnya berada di Bakkara (2021) untuk riset jalur gempa. Harus diakui bahwa label "piramida" itu telah berhasil menarik minat berbagai pihak. Â Termasuk para peneliti arkeologi.
Tapi saya sangat masygul karena BRIN tidak berperan secara ketat memastikan pembagian kerja yang distingtif antara disiplin-disiplin sains. Harusnya BRIN mencegah datu disiplin ilmu mengokupasi domein riset disiplin ilmu lain. Seperti dalam kasus "piramida" ini, Geologi mengokupadi domein riset Arkeologi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!