"Sensasi macam apa lagi ini?" Pertanyaan itu terbetik di benakku saat membaca berita penemuan "Piramida Toba". Â
Dikabarkan bahwa Prof. Danny Hilman Natawidjaya, peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN telah mengenali sebuah gundukan bukit di Tanah Batak sana sebagai "piramida".
Saya langsung teringat akan situs megalitikum Gunung Padang, Cianjur, Tanah Pasundan.  Dalam kurun 2011-2013,  Prof. Danny, ketua Tim Terpadu Riset Mandiri mengklaim situs itu sebagai  "Piramida Nusantara". Padahal sejak lama, tak seorangpun arkeologpun menyebutnya piramida. Â
Bahkan Nicholaas J. Krom, orang pertama yang mengidentifikasi dan melaporkan keberadaan situs itu (Rapporten van de Oudheid kundige Dienst, 2014)Â tak pernah menyebutnya piramida. Â Arkeolog, antara lain Lufti Yondri (Balai Arkeologi Bandung), juga menegaskan Gunung Padang hanyalah situs megalitikum dari masa 117-45 SM. [1]
Sampai sekarang. Prof. Danny dan timnya tak kunjung berhasil membuktikan bahwa Gunung Padang itu sebuah piramida. Ujung-ujungnya justru memunculkan spekulasi-spekulasi irrasional. Ada yang bilang situs itu petilasan Raja Sulaiman. Bahkan ada yang menyimpulkan Gunung Padang itu adalah kota Atlantis yang hilang.Â
Sementara keberadaan piramida Gunung Padang belum juga terbukti, Prof. Danny tiba-tiba mengumumkan penemuan "Piramida Toba" di Bakkara, Humbang-Hasundutan, Tanah Batak. Padahal belum ada riset mendalam, khususnya riset arkeologis, yang mendukung klaimnya itu.
Setelah ketakjelasan soal piramida Gunung Padang, lantas haruskah saya percaya klaim "Piramida Toba"? Bahkan sebelum itu, Prof. Danny sempat juga berpikir  Gunung Sadaurip, Garut dan Gunung Lalakon, Bandung adalah piramida juga.
Saya memilih berpikir skeptis untuk merespon klaim Prof. Danny tentang "Piramida Toba". Â Tidak menerima dan percaya begitu saja. Karena alasan terkait teba kajian geologi, disiplin ilmu Prof. Danny dan pengtahuan empiris saya sebagai sosiolog yang mempelajari orang Batak Toba.
Piramida di Luar Teba Kajian Geologi
Obyek piramida itu, sebagai artefak budaya lampau, sejatinya adalah obyek kajian Arkeologi. Ilmu ini khusus mempelajari budaya manusia tempo dulu melalui kajian atas benda-benda atau artefak budaya tinggalan masa lalu. Contohnya, riset piramida Giza di Mesir.
Sejak kelahirannya tahun 1820 -- waktu itu masih fokus pada tinggalan prasejarah -- arkelogi diperlengkapi dengan teori, metode, dan teknik riset yang mumpuni untuk mengungkap sejarah budaya manusia, umumnya terpendam di dalam tanah. Contohnya penemuan candi Borobudur dan manusia Sangiran (Meganthropus paleojavanicus).
Dalam prakteknya, arkeologi tidak sendiri. Dia disokong oleh sejumlah ilmu bantu antara lain sejarah, antropologi (termasuk palaeoantropologi dan bioantropologi), geologi, geografi, arsitektur, fisika, metalurgi, dan filologi.
Jadi jika bicara tentang peran disiplin ilmu dan kompetensi saintis, seorang geolog seperti Prof. Danny semestinya tidak memimpin riset peninggalan budaya lampau. Itu tugas arkeolog. Geolog hanya membantu khususnya mengungkap lapisan-lapisan pembentuk bumi sebagai acuan relatif umur temuan arkeologis.
Arkeologlah yang punya kompetensi riset peninggalan sejarah atau kebudayaan manusia. Sedangkan kompetensi geolog adalah kajian batuan lapisan-lapisan bumi serta proses-proses pembentukannya. Termasuk eksplorasi isi bumi, semisal sumberdaya mineral dan dan bangun-bangun fisik di bawah tanah.
Memang tidak tabu bagi seorang geolog untuk mengungkapkan temuan-temuan material yang terpendam di bawah permukaan bumi. Semisal obyek-obyek arkeologis, katakanlah struktur bangunan piramida. Tapi peran disiplinernya sampai di situ saja. Riset lanjutan harus diserahkan kepada arkeolog.
Pembedaan fungsi sains menurut disiplinnya itu membuat saya lebih bisa menerima klaim arkeolog ketimbang geolog tentang suatu obyek yang diduga tinggalan budaya. Jika seorang geolog mengajukan klaim yang bersifat arkeologis tentang suatu artefak di bawah tanah, maka saya akan menerimanya lebih sebagai klaim pseudo-sains. Klaim yang lebih mengedepankan sensasi ketimbang esensi.Â
Begitupun tentang  "Piramida Toba" . Saya memilih bersikap skeptis terhadap klaim geolog Prof. Danny tentang "temuan" itu. Penyematan nama "piramida" itu sendiri sudah membuat saya harus ragu. Acuan arkeologis tentang piramida adalah piramida-piramida Mesir yang berisi makam firaun dan harta benda. Bagaimana mungkin seorang geolog mengklaim gundukan bukit sebagai piramida tanpa dasar studi arkeologis yang tuntas?
Dari berbagai pemberitaan dapat disimpulkan bahwa Prof. Danny tiba pada klaim "piramida" itu karena penasaran. Dalam kajian geologinya dia menemukan material berstruktur piramid yang pembentukannya tak bisa dijelaskan ilmu geologi. Dalam arti bangun itu diduga bukan bentukan alami (geomorfologis), melainkan hasil kerja manusia.
Ada dua kemungkinan di sini. Pertama, proses pembentukan rupa bumi serupa "piramida" itu berada di luar teba riset geologi. Tapi Prof. Danny berusaha mendaya-gunakan disiplin ilmunya untuk mengungkap keberadaan "piramida" tersebut. Mungkin dia berupaya mengembangkan teori dan metode geologi baru untuk mengungkap keberadaan struktur-struktur non-geomorfologis di bumi.
Kedua, Prof. Danny mungkin seorang geolog yang punya minat khusus  terhadap bangun-bangun piramidal di bawah dan di atas tanah. Bahkan minat itu terkesan obsesif jika mengingat kasus Gunung Sadaurip, Gunung Lalako, dan Gunung Padang di Jawa Barat. Barangkali Prof. Danny punya obsesi menemukan sesuatu yang bisa menjadikan Indonesia pusat diskusi sejarah bumi dan manusia.Â
Jadi, sementara Prof. Danny berupaya membuktikan keberadaan "piramida-piramida"-nya, saya memilih untuk menanggapinya secara skeptis. Pengetahuan saya sebagai orang Batak Toba asli, juga sebagai peneliti sosiologi yang  sedang mengkaji sistem sosial masyarakat Batak Toba, tidak mengukuhkan klaim tentang keberadaan "Piramida Toba".
Hipotesis Situs Perkampungan Tua Batak Toba
Dibanding  klaim-klaim prematur Prof. Danny, saya lebih bisa menerima pendapat Prof. Harry Truman Simanjuntak, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Prof. Harry tegas menolak kemungkinan "Piramida Toba" itu sebuah piramida selayaknya piramida di Mesir. Â
Menurut Prof. Harry  tidak ada teori maupun hasil riset yang mendukung kemungkinan munculnya bangunan dengan struktur piramida dalam masyarakat Batak. Sebab jika kebudayaan etnik Batak Toba diletakkan dalam konteks kebudayaan ragam etnik di Asia Tenggara, maka mustahil tiba-tiba orang Batak muncul sendiri dengan suatu budaya piramida.  Budaya semacam itu, menurut teori dan riset arkeologi sejauh ini, tidak ditemukan di Asia Tenggara. [2]
Tambahan lagi, dalam naskah-naskah kuno Batak Toba juga tak ada disebut-sebut atau diindikasikan soal bangunan dengan struktur piramida. Â Karena itu terlalu kecil kemungkinan gundukan bukit A di Bakkara itu adalah sebuah bangunan piramida kuno.
Prof. Harry menyampaikan hipotesis bahwa Bukit A Bakkara itu adslah bekas perkampungan tua yang telah lama ditingggalkan karena sesuatu alasan.Â
Agaknya hipotesis itu merujuk juga pada temuan Gua Harimau, situs pemukiman dan makam prasejarah di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Selain berdasar pengamatannya sendiri tentang struktur perkampungan tua orang Batak Toba.
Hipotesis Prof. Harry sebenarnya sedikit-banyak sudah mendapat dukungan bukti juga dari hasil riset pendahuluan tim arkeologi BRIN Â (2021). Â Tim tersebut sudah melakukan penggalian pendahuluan di Bukit A Bakkara. Â Hasilnya mereka menemukan kerangka manusia, lumpang batu, gerabah, dan mata uang koin masa Belanda. [3]
Temuan awal tim arkeolog BRIN itu mendukung hipotesis bahwa Bukit A Bakkara adalah situs parhutaan, perkampungan tua orang Batak. Â Temuan lumpang batu mengindikasikan budaya pertanian padi yang telah dilakoni pemukimnya waktu itu. Pecahan gerabah itu mungkin bagian dari periuk tanah liat atau kendi air yang lazim digunakan orang Batak tempo dulu.Â
Temuan kerangka manusia adalah indikasi adanya pekuburan warga kampung di situ di masa lalu. Â Dalam masyarakat Batak Toba, lazim pekuburan mengambil tempat di lereng atau puncak bukit. Â Sampai sekarang juga warga Desa Marbun Toruan, yang terletak di kaki Bukit A, menggunaka area dekat bukit itu sebagai tanah kuburan.Â
Menariknya ada temuan uang koin zaman Belanda.  Bakkara benar-benar takluk kepada Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1907, menyusul tewasnya Raja Sisingamangaraja XII pada tahun itu. Sisingamangaraja XII adalah Pendeta Raja Batak yang bertahta di Lumbanraja  (Desa Simamora sekarang), lembah Bakkara. Temuan koin itu mengindikasikan huta di Bukit A itu masih eksis pada dekade pertama tahun 1900-an.
Dalam artikel terdahulu saya juga sudah mengajukan hipotesa bahwa Bukit A Bakkara itu adalah situs perkampungan tua. Komunitas-komunitas Batak tua adalah komunitas lembah pesawah. Â Mereka mengolah tanah lembah menjadi sawah. Sementara pemukiman ditempatkan di tempat yang lebih tinggi yaitu lereng perbukitan. Â (Baca: Â Penemuan Piramida Toba, Realita atau Imajinasi?, kompasiana.com, 2/10/2023).
Karena pemukiman berada di lahan miring, maka lazim orang Batak tempo dulu membangun teras-teras yang terbuat dari bebatuan alam yang terserak di kaki bukit. Hasilnya pertapakan kampung membentuk struktur punden berundak mengikuti kontur dan kemiringan bukit.Â
Mengelilingi kampung itu lazim dibangun parik, tembok pelindung yang antara lain terbuat dari susunan batu alam. Di atas tembok itu biasanya ditanam bambu duri untuk mempertebal benteng pertahanan. Hal itu mengingat di masa lalu kerap terjadi perang antar kampung.
Struktur kampung asli seperti itu, sepanjang pengamatan saya di sejumlah perkampungan asli Batak, lazim ditemukan di Pulau Samosir dan sekeliling pantai luar Danau Toba. Â
Penempatan pemukiman di lereng bukit punya alasannya sendiri. Pertama, agar tanah lembah sepenuhnya dapat digunakan sebagai sawah. Kedua, fungsi pertahanan, agar lebih mudah memantau dan mengalahkan musuh dari ketinggian. Ketiga, menghindari terpaan angin lembah yang kencang.
Jika diperhatikan, Bukit A Bakkara itu berada di dinding lembah sebelah barat, dekat ke pantai  pantai.  Di seberangnya, dinding lembah sebelah timur, terletak Istana Raja Sisingamangaraja.  Jika seseorang berdiri di puncak Bukit A, maka pandangannya akan terbuka bebas ke perairan Danau Toba di sebelah kiri dan ke jalan masuk lembah Bakkara di sebelah kanan. Â
Fakta itu menimbulkan pertanyaan apakah keberadaan kampung di Bukit A itu dulu adalah bagian dari sistem pertahanan "kerajaan" Sisingamangaraja? Satu tempat untuk memata-matai gerakan musuh?
Bukit A itu berada di perkampungan marga Marbun (Banjarnahor), salah satu dari enam marga di Bakkara yang disebut "Si Onom Ompu" (Bakkara, Simanullang, Sinambela, Marbun, Sihite, Simamora). Â Keenam marga ini adalah pendukung Sisingamangaraja yang wajib hadir dalam setiap penobatan Raja Sisingamangaraja.
Serahkan Bukit A Bakkara kepada Arkeolog
Saya pikir ucapan terimakasih patut disampaikan kepada Prof. Danny yang telah mengangkat isu "Piramida Toba" itu. Sebenarnya itu temuan "tak sengaja" ketika dia dan timnya berada di Bakkara (2021) untuk riset jalur gempa. Harus diakui bahwa label "piramida" itu telah berhasil menarik minat berbagai pihak. Â Termasuk para peneliti arkeologi.
Tapi saya sangat masygul karena BRIN tidak berperan secara ketat memastikan pembagian kerja yang distingtif antara disiplin-disiplin sains. Harusnya BRIN mencegah datu disiplin ilmu mengokupasi domein riset disiplin ilmu lain. Seperti dalam kasus "piramida" ini, Geologi mengokupadi domein riset Arkeologi.
Saran saya, agar isu "Piramida Toba" ini tidak berkembang menuju kondisi "anarkis" seperti Gunung Padang, sebaiknya BRIN segera membentuk Tim Peneliti Arkeologi Terpadu untuk mengungkap lebih jauh ikhwal keberadaan situs tersebut.
Sangat mungkin Bukit A Bakkara itu adalah bekas perkampungan tua Batak Toba. Barangkali perkampungan kelompok marga Marbun generasi pertama. Â
Penting diungkap alasan mengapa kampung tua itu ditinggalkan. Â Apakah karena tertimpa tanah dan batu longsor dari puncak tebing? Atau karena termasuk kampung pendukung garis keras Sisingamangaraja XII sehingga dibumi-hanguskan pasukan Belanda saat menyerang Bakkara tahun 1894? Atau karena sebab-sebab lain?
Sekalipun Bukit A Bakkara bukan piramida, hanya situs perkampungan tua, nilainya sangatlah besar untuk pengungkapan sejarah masyarakat Batak Toba.  Hal itu mengingat Bakkara sampai awal 1900-an adalah pusat "pemerintahan"  dinasti Sisingamangaraja. Raja Sisingamangaraja XII diketahui  punya cita-cita menyatukan seluruh Tanah Batak di bawah kerajaannya. (eFTe)
Catatan Kaki:
[1] Irfan Teguh. "Gunung Padang Bukanlah Piramida", tirto.id - 18 Apr 2018 14:00 WIB.
[2] Â "Adu Gagasan 2 Peneliti di Temuan Piramid Toba, Singgung Leluhur", CNN Indonesia. 09 Okt 2023 07:49 WIB.
[3] Â Raja M. Sinaga, "Peneliti Temukan 7 Kerangka Manusia di Sekitar Piramida Dekat Danau Toba", detikSumut, 06 Okt 2023 20:00 WIB.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H