Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dari Pilihan Ganda ke Soal Esai: Sebuah Lompatan ke Masa Lalu?

21 September 2023   07:01 Diperbarui: 21 September 2023   15:28 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengerjaan soal ujian esai (Sumber: via Rencanamu.id)

Sumpah! Saya gak tahu kalau isu format ujian esai (essay) lagi viral. Kata kompasianer Tunjung EW, dalam artikel "Menghapus Pilihan Ganda menjadi Essai, Lompatan Ide dalam Kurikulum Merdeka?" (K. 19/9/2023), hal itu gara-gara Maudy Ayunda.

Kata Maudy, pesohor cerdas itu, kalau menjadi Mendikbud maka dia akan mengubah model asesmen kinerja akademik dari soal pilihan ganda menjadi esai. Tujuannya agar pelajar Indonesia terlatih berpikir kritis dan argumentatif.

Itu bagus sekali. Tapi kalau cuma itu motifnya, tak perlu lagilah Maudy menjadi Mendikbud. Sebab dalam Kurikulum Merdeka sekarang, model asesmen esai itu sudah diterapkan. Terimakasih Mas Mendikbudristek Nadiem Makarim.

Persoalannya, seperti dipertanyakan Mas Tunjung, apakah perubahan ke soal essai itu semacam lompatan gagasan? Dan apakah implikasinya terhadap pola ajar di sekolah telah diantisipasi?

***

Saya akan menjawab pertanyaan pertama lebih dulu. Bukan jawaban normatif, tapi faktual berdasar pengalaman sendiri sebagai pelajar dan pengajar.

Seingatku, waktu SD dan SMP pada paruh kedua 1960-an sampai paruh pertama 1970-an, saya tak pernah mendapat soal pilihan ganda saat ulangan. Semua soal yang diberikan guru kalau bukan esai, ya, semi-esai alias mengisi "titik-titik". Atau campuran keduanya. 

Soal-soal ulangan pelajaran Bahasa Indonesia/Inggris/Latin, Sejarah, Agama, Civic/Pancasila, Berhitung/Ajabar, Ilmu Hayat/Biologi, Ilmu Ukur, dan Fisika semua bentuk essai/semi-esai.

Karena itu, dulu saya dan teman-teman tidak bisa menjawab soal ulangan dengan modal hitung kancing baju. Benar, salah, benar, salah, benar nah jawabannya "B". Atau A, B, C, D, A nah, jawabannya "A".

Atau karena tak belajar, soal dijawab dengan cara melingkari "B" semua pada soal B-S dan "A" semua pada soal A-B-C-D. Cara itu katanya bisa menghasilkan jawaban benar minimal 50 persen pada soal B-S dan 25 persen pada soal A-B-C-D. Entahlah, saya belum pernah coba.

Barulah setelah di jenjang SMA pada paruh kedua 1970-an, saat berlakunya Kurikulum 1975, saya bertemu dengan tipe soal B-S dan A-B-C-D. Bahkan ada juga soal SEBAB-AKIBAT yang bikin mumet.

Soal SEBAB-AKIBAT itu sangat bagus untuk menguji logika. Tapi, jujurly, bener-bener bikin puyeng. Masalahnya waktu itu tidak ada mata pelajaran "Logika" di SMA.

Ketika menjadi mahasiswa pada awal 1980-an, saya juga masih mengalami model ujian pilihan ganda. Soal macam itu diterapkan pada mata kuliah dasar umum yang pesertanya mbludak sampai ratusan mahasiswa. 

Untuk kelas besar, pilihan ganda memang pilihan alat ukur yang paling efisien dan efektif dibanding esai. Bayangkan bila seorang dosen harus memeriksa jawaban soal esai dari 100 orang mahasiswa. Semua (wajib) tulis tangan. Beuh, otaknya pasti overheating. 

Sampai sini, saya pikir pertanyaan tadi sudah terjawab. Ya, peralihan dari ujian pilihan ganda ke esai itu memang sebuah lompatan gagasan. Tapi bukan lompatan ke depan, melainkan ke belakang. Sebuah lompatan ke masa lalu, ke model ulangan sekolah tahun 1960-an atau sebelumnya.

***

Ilustrasi pengerjaan soal ujian esai (Sumber: via Rencanamu.id)
Ilustrasi pengerjaan soal ujian esai (Sumber: via Rencanamu.id)

Di perguruan tinggi, saya mengalami ujian esai setelah masuk penjurusan kuliah, tahun kedua dan seterusnya. Lazim diberlakukan untuk mata kuliah keahlian (MKK) yang jumlah pesertanya kecil, sekitar 30-40 orang. 

Pada hakikatnya ujian esai itu semacam penulisan ringkasan makalah. Jawaban satu pertanyaan essai sejatinya bisa saja menjadi satu makalah kecil (5-10 halaman).

Tapi lazimnya selalu diberi batasan panjang jawaban. Misalnya maksimal setengah halaman kuarto. Itu lazim diakali dengan memperkecil ukuran tulisan. Tapi harus jelas dan terbaca. Kalau tidak, maka dianggap salah.

Dengan membatasi panjang jawaban maka peserta ujian esai dituntut menjawab soal secara sistematis. Harus logis dan argumentatif, langsung pada intinya. Pilihan kata dan struktur kalimat karena itu harus efisien dan efektif.

Jawaban yang ringkas dan sistematis, dan tentu saja benar, hanya mungkin diberikan oleh peserta ujian yang benar-benar menguasai materi ujian.

Jika tak menguasai materi, maka jawaban biasanya menjadi "karangan bebas". Panjang-lebar, bertele-tele. Harapannya, paling tidak ada nyantol satu kata kunci. Atau setidaknya mendapat sekadar "upah nulis" dari dosen.

Saya lebih memahami seluk-beluk soal esai itu kemudian hari ketika sempat menjadi dosen. Pada posisi penguji, saya tersadarkan bahwa menyusun soal esai itu jauh lebih sukar ketimbang menjawabnya.

Jadi kalau siswa/mahasiswa bilang menjawab soal esai itu sulit,l maka ketahuilah, wahai anak muda, bahwa guru/dosenmu mengalami kesulitan lebih besar saat membuat soal itu.

Berdasarkan pengalamanku, sekurangnya ada tiga alasan mengapa begitu sulit menyusun soal essai.

Pertama, guru/dosen harus memastikan soal esai itu ada jawabannya dan dapat dijawab oleh siswa/mahasiswa dengan benar. 

Sebuah soal esai yang tidak ada jawabannya atau tidak dapat dijawab mayoritas siswa/mahasiswa pastilah soal yang buruk. Sebab bukan pertanyaan namanya kalau tak bisa dijawab.

Karena itu guru/dosen pertama-tama harus berempati. Dia harus menempatkan diri sebagai siswa/mahasiswa yang memiliki pengetahuan terbatas, lalu mencoba menjawab sendiri soal yang dibikinnya. 

Kedua, guru/dosen harus memastikan realibilitas soal esai. Soal itu harus mampu mengukur secara tepat tingkat kualitas dan kuantitas pengetahuan, pemahaman, dan dayaterap siswa/mahasiswa atas suatu konsep atau teori.

Itu jelas tak mudah. Sebab guru/dosen harus bisa merumuskan satu pertanyaan yang jawabannya akan menyarikan, misalnya, satu topik pelajaran.

Ketiga, soal esai harus dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang efisien dan efektif. Tidak boleh ambigu, untuk menghindari siswa/mahasiswa misleading lalu nglantur salah jawab. 

Implikasinya, guru/dosen harus memiliki kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Mampu menyusun kalimat dan paragraf dengan struktur yang logis.

Jika tiga alasan, atau bisa disebut kriteria soal essai, di atas tak terpenuhi, maka besar kemungkinan soal esai akan gagal menjadi alat ukur kemampuan akademis. 

***

Lantas apa implikasi pemberlakuan soal esai dalam asesmen kemampuan akademis?

Perubahan pola ajar di sekolah/kampus. Itu tak bisa ditawar.

Pola ajar instruktif, searah dari pengajar (guru/dosen) ke pelajar (siswa/mahasiswa), garus diubah menjadi komunikatif, dua atau multi arah antara pengajar dan pelajar, sesama pelajar, dan dengan stakeholder lain (orangtua, tokoh, dan lain-lain).

Harus berubah karena pola ajar instruktif cenderung menghasilkan pengetahuan hafalan saja pada murid. Materi ajar diterima secara apa adanya; begitu saja, tanpa respon kritis yang busa mengantar pada pemahaman dan penerapan. Soal-soal ujian akan dijawab persis menurut apa "kata guru" atau "kata buku wajib".

Sebaliknya pola ajar komunikatif cenderung tiba pada pemahaman bersama, antara pengajar dan pelajar serta pihak lainnya. Pemahaman itu menjadi syarat untuk bisa menerapjan suatu pengetahuan. Entah itu untuk menjelaskan atau menganalisis fakta, atau menghasilkan pengetahuan atau temuan baru.

Kenapa bisa begitu. Ya, karena pendekatan komunikasi menempatkan pengajar dan pelajar pada posisi setara, sesama subyek pendidikan. Relasi setara itu memungkinkan pelajar untuk bersikap kritis pada materi yang diberikan pengajar. Sikap kritis menjadi pangkal kreativitas, dan kreativitad adalah dasar inovasi. 

Dari hasil menyimak implementasi kebijakan Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka, saya menangkap kesan adanya pergeseran pendekatan ajar dari instruksi ke komunikasi. Merdeka Belajar, juga Kampus Merdeka, membuka ruang luas bagi siswa/mahasiswa untuk mengekspresikan diri dan mengeksplor berbagai sumber belajar untuk meningkatkan kompetensinya. Antara lain melalui diskusi, debat, proyek, eksplorasi, dan ekskursi sosial.

Sebenarnya bisa ditetapkan satu pola ajar dalam Merdeka Belajar begini: 80 persen komunikasi, 20 persen instruksi. Dengan begitu, sejak awal siswa/mahasiswa sudah tersosialisasi menjadi pribadi yang terbuka, kritis, dan solutif.

Intinya, pola ajar komunikatif akan memfasilitasi siswa/mahasiswa menjadi orang yang logis, selain juga etis, tentu saja. Dengan kemampuan berpikir logis itulah siswa/mahasiswa dapat menjawab soal-soal esai dengan baik dan benar. 

Untuk mengasah logika, juga etika dan estetik, itu penting saya pikir untuk mempertimbangkan tiga hal ini dalam proses ajar.

Pertama, menetapkan wajib baca buku sastra tertentu untuk mengasah logika, etika, dan estetika berbahasa, sekaligus penanaman nilai-nilai dasar profil pelajar Pancasila.

Di Brazil misalnya novel A Escavra Isaura (Bernardo Guimaraes), kisah sejarah perbudakan, menjadi buku wajib baca di sekolah. Lalu novel The Adventure of Huckleberry Finn (Mark Twain) menjadi bacaan wajib di sekolah-sekokah AS pasca Perang Dunia II. 

Di Indonesia Kemendikbudristek disarankan menentukan juga buku-buku sastra wajib baca di sekolah. Apakah Si Doel Anak Betawi (A.D. Modjoindo) misalnya, atau Burung-Burung Manyar (YB Mangunwijaya), atau Bumi Manusia (Pramudya Ananta Toer)?

Kedua, khusus untuk mengasah logika, sekaligus kemampuan narasi dan argumentasi, baiklah jika siswa/mahasiswa diwajibkan membaca berita-berita aktual dan menuliskan pandangan kritisnya tentang fakta yang diungkap dalamsatu paragraf ringkas. 

Ketiga, kelas debat. Sekarang siswa/mahasiswa banyak terpapar oleh siaran-siaran debat yang "debat kusir", sarat dengan sesat pikir (logical fallacy) dan makian di televisi dan siniar. Itu menjadi bahan ajar buruk. Baiklah jika di sekolah/ksmpus diadakan kelas debat yang selaras kaidah-kaudah ligika dan etika. 

Lihatlah, betapa perubahan dari ujian pilihan ganda ke soal esai berimplikasi serius. Perlu perubahan mendasar dalam sistem atau pola ajar. Seakan itu sebuah revolusi pendidikan. 

Dan, betul, itu adalah sebuah revolusi kecil. Sebuah lompatan ke nasa lalu, tapi pada taraf yang lebih tinggi. (eFTe)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun