Jawaban yang ringkas dan sistematis, dan tentu saja benar, hanya mungkin diberikan oleh peserta ujian yang benar-benar menguasai materi ujian.
Jika tak menguasai materi, maka jawaban biasanya menjadi "karangan bebas". Panjang-lebar, bertele-tele. Harapannya, paling tidak ada nyantol satu kata kunci. Atau setidaknya mendapat sekadar "upah nulis" dari dosen.
Saya lebih memahami seluk-beluk soal esai itu kemudian hari ketika sempat menjadi dosen. Pada posisi penguji, saya tersadarkan bahwa menyusun soal esai itu jauh lebih sukar ketimbang menjawabnya.
Jadi kalau siswa/mahasiswa bilang menjawab soal esai itu sulit,l maka ketahuilah, wahai anak muda, bahwa guru/dosenmu mengalami kesulitan lebih besar saat membuat soal itu.
Berdasarkan pengalamanku, sekurangnya ada tiga alasan mengapa begitu sulit menyusun soal essai.
Pertama, guru/dosen harus memastikan soal esai itu ada jawabannya dan dapat dijawab oleh siswa/mahasiswa dengan benar.Â
Sebuah soal esai yang tidak ada jawabannya atau tidak dapat dijawab mayoritas siswa/mahasiswa pastilah soal yang buruk. Sebab bukan pertanyaan namanya kalau tak bisa dijawab.
Karena itu guru/dosen pertama-tama harus berempati. Dia harus menempatkan diri sebagai siswa/mahasiswa yang memiliki pengetahuan terbatas, lalu mencoba menjawab sendiri soal yang dibikinnya.Â
Kedua, guru/dosen harus memastikan realibilitas soal esai. Soal itu harus mampu mengukur secara tepat tingkat kualitas dan kuantitas pengetahuan, pemahaman, dan dayaterap siswa/mahasiswa atas suatu konsep atau teori.
Itu jelas tak mudah. Sebab guru/dosen harus bisa merumuskan satu pertanyaan yang jawabannya akan menyarikan, misalnya, satu topik pelajaran.
Ketiga, soal esai harus dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang efisien dan efektif. Tidak boleh ambigu, untuk menghindari siswa/mahasiswa misleading lalu nglantur salah jawab.Â