Gentrifikasi dengan demikian merujuk pada gejala kehadiran para "tuan tanah" baru yang memegang hak penguasaan atas suatu kawasan yang diproyeksikan sebagai bagiian dari pengembangan kota dan industri. Secara spesifik di Indonesia "tuan tanah" baru itu adalah perusahaan-perusahaan pengelola kawasan ekonomi terpadu dan pengembang (developer) perumahan, perkantoran, dan kota mandiri.
Gejala gentrifikasi oleh "tuan tanah" baru itu sangat mudah dikenali. Lazimnya tampil dalam format kawasan (industri, perdagangan, wisata. Di Jakarta misalnya ada Kawasan Berikat Nusantara dan Kawasan Industri Pulogadung. Di Cikarang ada Kawasan Industri Jababeka dan Kota Mandiri Delta Mas. Di Tangerang ada BSD City dan di Bogor ada Sentul City.Â
Dalam kasus Rempang kini, "tuan tanah" baru itu adalah BP Batam yang memegang Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Rempang dan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang memegang HGU di atas HPL Rempang. BP Batam hadir di Rempang tahun 1973 sedangkan MEG tahun 2004. Di bawah panji Proyek Strategis Nasional (2023), keduanya bekerjasama mengembangkan Kawasan Ekonomi Terpadu Rempang Eco City seluas 7.572 ha (HPL dalam proses) -- 46 persen dari total luas pulau (16.583 ha).
Rempang Eco City kini sedang mempersiapkan karpet merah menyambut kedatangan investor kakap dari China, Xin Yi Group yang akan membangun industri hilir pengolahan pasir kuarsa dan silika menjadi kaca. Disebutkan Xin Yi akan menanam investasi sebesar Rp 381 triliun secara bertahap sampai 2080. Investasi ini diperkirakan akan menyerap 306.000 tenaga kerja.
Demi kedatangan Xin Yi itulah pemerintah kini melancarkan kuasanya untuk memastikan 7.572 ha tanah Rempang clean and clear. Jelas status hukum penguasaan tanahnya, dan bersih dari klaim pihak lain atau sengketa pertanahan. Tahap pertama harus dikosongkan 2.300 ha, termasuk 4 kampung di dalamnya. Â Untuk itulah 7.500 jiwa warga Rempang harus digusur atau, istilah eufemis, direlokasi ke Pulau Galang.
Gentrifikasi di Rempang, seperti juga di tempat lain di negeri ini, dapat disebut sebagai bentuk kolonialisme formal di tanah merdeka. Dikatakan formal karena dilakukan dengan dasar hukum kuat, berupa undang-undang terkait pertanahan dan terkait investasi domestik dan asing. Atas dasar itu, warga Rempang yang sejatinya tinggal di tanah merdeka harus menyingkir.Â
Sebab Tanah Rempang kini bukan lagi "tanah merdeka". Hak atas tanah negara itu, semula dipegang Kementerian LHK, kini sudah diserahkan ke entitas BP Batam (HPL) dan MEG (HGU). Warga asli yang leluhurnya sudah tinggal di sana sejak NKRI belum lahir, tak punya hak apapun. Status mukim mereka ilegal, tak ada sertifikat atau dasar hukum lainnya.Â
Padahal dulu, awal 1970-an sejak Kawasan Barelang (Batam-Rempang-Galang) dicanangkan, sebenarnya bisa saja KLHK mengeluarkan 16 kampung asli Rempang dari kawasan "hutan negara". Tapi itu tak dilakukan karena konsep dasarnya adalah "kolonialisme". Walau watak kolonialis itu disamarkan dengan istilah pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi nasional atau hub ekonomi global. Demi menyaingi Singapura dan Malaysia, katanya.
***
Rempang belum kiamat bagi warga asli di 16 kampung tua. Masih bisa menghitung hari sampai 28 September 2023. Masih cukup panjang waktu bagi Pak Presiden RI untuk memberi pengakuan pada hak mukim penduduk asli Rempang.
Mohon izin memberi sedikit masukan, Pak Presiden. Jiwa "kolonialisme" yang menggerakkan langkah para "tuan tanah" baru di negeri ini telah menciptakan kawasan-kawasan yang terlarang bagi penduduk asli. Rancang-bangun kawasan-kawasan industri dan kota-kota mandiri selalu menggusur penduduk asli ke wilayah periferal. Sekalipun itu istilahnya relokasi berdasar skim ganti untung.Â