Hal serupa terjadi juga dalam kasus Rempang Eco City. Tak tertutup kemungkinan kelak akan terjadi juga jika, misalnya, ada proyek Galang Eco City. Warga Rempang yang baru direlokasi ke sana, bila demikian akhir kisah, akan digusur ke laut mana lagi?
Tidakkah lebih bijak, juga manusiawi, bila rancang-bangun Rempang Eco City dikoreksi dengan cara mengintegrasikan 16 kampung tua, kemudian direvitalisasi, ke dalam kawasan pengembangan itu?Â
Sekurangnya ada lima alasan untuk mengambil kebijakan semacam itu, Pak Presiden.
Pertama, penting untuk memastikan suatu proyek pembangunan kawasan ekonomi tidak berdampak disintegrasi sosial, dengan cara mempertahankan dan memberi fungsi baru (revitalisasi) pemukiman-pemukiman asli warga. Bukannya mengusir warga ke luar kawasan, sehingga justru menimbulkan disintegrasi atau bahkan polarisasi sosial.Â
Integrasi desa itu bisa dengan cara meningkatkan kualitas desa yang ada tanpa memindahkannya. Bisa pula, kalau tak mungkin dipertahankan lokasinya, direplikasi di tempat baru tapi masih di kawasan sebentang. Dalam kasus Rempang, ya, tetap di pulau Rempang. Pilihan-pilihan itu diterapkan lewat komunikasi dengan komunitas setempat.
Kedua, penting bagi setiap "tuan tanah" aktor gentrifikasi yang mengusung konsep"eco(logy" seperti Rempang Eco City itu konsisten pada definisi ekology (atau ekosistem) yang tak hanya menyangkut lingkungan fisik tapi juga lingkungan sosial.
Pak Meninves bilang Rempang Eco City itu menerapkan konsep "green industry". Bahasa Indonesianya industri ramah lingkungan. Tak hanya lingkungan fisik, tapi juga sosial. Jadi tolong diingatkan juga Pak Meninves, bahwa tak ada industri ramah lingkungan mengusir penduduk asli.
Ketiga, integrasi kampung-kampung asli di Rempang Eco City tak akan menjatuhkan nilai proyek itu di mata investor. Justru sebaliknya akan menjadi nilai tambah bagi kawasan karena bisa menjadikan kampung asli sebagai bagian dari supporting system. Perusahaan yang berinvestasi di kawasan ramah lingkungan sosial (dan fisik) semacam itu justru akan mendapat apresiasi di pasar modal. Harga sahamnya bisa naik.
Keempat, sudah terlalu lama di negeri merdeka ini penduduk asli diperlakukan sebagai obyek, bukan subyek pembangunan. Jika warga asli diintegrasikan status dan perannya sebagai subyek Rempang Eco City, niscaya proyek ini akan menjadi success story pembangunan ramah sosial yang bakal mendulang penghargaan dunia.
Kelima, menghilangkan suatu kampung asli yang sudah berusia ratusan tahun layak dipertimbangkan sebagai "kejahatan budaya", penggelapan sejarah dan artefak budaya sebuah etnis ataupun sub-etnis nusantara.
Jadi, seperti seorang presiden negara adikuasa yang konon memegang tombol bom nuklir, Pak Presiden kini juga sejatinya sedang memegang tombol "kiamat" warga Rempang.Â